“Aku ingin menikah dengannya. Hanya dengannya.”
Aira berucap lirih, bahkan air matanya pun ikut berbicara mengungakapkan isi
hatinya. Kepada teh Riri, gadis berhijab biru itu mengadu.
“Tapi kenapa Aira?” tanya teh Riri dengan nada
setengah kecewa.
Sesaat Aira terdiam. Di hadapannya saat ini ada
sosok yang telah dianggapnya sahabat, kakak, bahkan ibu bagi Aira, yang
dihormati serta dikasihinya. Namun Aira sadar telah membuat teh Riri bersedih
karenanya. Dengan pandangan sedalam lautan terdalam sehingga Aira berharap teh
Riri mampu menyelami perasaannya, mengerti dan memahami maksud hatinya, Aira
mencoba menjawab.
“Dia akan menjadi imam
yang baik bagiku, ia dapat membimbingku, ia dapat mengajariku banyak hal, ilmu
agama utamanya, ia dapat memberikan aku cinta karena Allah sehingga ia tak akan
menyia-yiakanku, ia akan senantiasa membersamaiku,” dengan keyakinan yang kuat
Aira bertutur mengutarakan apa yang dia harapkan akan sosok calon pendamping
impiannya.
“Ahh, sudahlah. Aku tidak
dapat berkata apa-apa lagi saat ini kepadamu Aira. Kamu sudah mempunyai
pilihanmu sendiri.” kata teh Riri yang sebenarnya masih meragukan keinginan
Aira yang akankah mampu membuatnya bahagia kelak bersama orang yang
diharapkannya itu.
Pria shaleh impian Aira adalah M. Arsya
Abdulullah, seorang dai muda. Teh Riri percaya selama ini Aira telah berusaha
menjaga hati dan pikirannya tentang segala hal mengenai Arsya namun cinta
memang sulit untuk disembunyikan. Teh Riri sebenarnya telah menerima beberapa
biodata ta’aruf untuk Aira, namun selama ini Aira selalu menolak tanpa alasan
yang cukup jelas.
Setelah didesak oleh teh Riri mengenai alasan
sebenarnya akan penolakan-penolakan yang sering ia lakukan kepada lelaki yang
datang hendak meminangnya, padahal Aira sendiri sudah cukup siap untuk menikah
dari segala sisi, barulah saat ini Aira jujur. Bahkan yang membuat teh Riri
terkejut adalah sebegitu dalamnya perasaan yang ia simpan rapat-rapat selama
ini.
“Teteh, bantu aku!” Aira
menggenggam tangan teh Riri
“Tanpa kamu pinta adikku,”
ucap teh Riri lembut, membalas genggaman Aira dengan kasih sayang.
Segera setelah itu, teh Riri bersama suaminya
janji bertemu dengan Arsya untuk membicarakan perihal ‘proposal taaruf’. Arsya
merespon baik pertemuan itu, dia hanya meminta waktu untuk melakukan shalat
istikharah. Aira dan Arsya memang sudah saling mengenal, mereka tergabung dalam
sebuah lembaga yang bergerak di bidang dakwah. Arsya memang cukup terkejut
mendapatkan tawaran taaruf dari teh Riri dan suami terlebih setelah diketahui
bahwa wanita yang berniat bertaaruf dengannya adalah Aira. Arsya mengatakan
dengan jujur bahwa ia merasa terhormat dan mengatakan bahwa Aira adalah wanita
salehah.
Otak manusia memang sering kali diisi oleh
kekhwatiran-kekhawatiran. Awalnya Teh Riri dan suami juga Aira mengira bahwa
jalan ini akan sulit untuk ditempuh karena masih saja di zaman ini sebagian
orang beranggapan buruk terhadap wanita yang mengajukan dirinya. Padahal
bukankah hal serupa pernah dilakukan oleh Ibunda Khadijah melalui Maisaroh yang
mengutarakan niatnya kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
***
Alhamdulillah, semuanya berjalan lancar. Dari proses ta’aruf,
lamaran, sampai pernikahan dilakukan dalam waktu yang cukup singkat hanya 1
bulan. Kedua insan itupun telah resmi menjadi sepasang suami-istri. Walimatul
‘urys yang dilakukan secara sederhana menjadi waktu ribuan doa dihadiahkan dari
saudara, sahabat dan rekan-rekan mereka. Ini sudah menjadi takdirnya, di mana
cinta keduanya yang tersembunyi pada akhirnya disatukan oleh Allah subhanahu
wata’ala dalam ikatan suci.
“Maafkan aku,’ kata Arsya
kepada wanita di hadapannya yang tak lain dan tak bukan adalah istrinya, Aira.
“Maaf untuk apa Kak?” Aira
tak mengerti, sepertinya tidak ada hal yang harus dimaafkan atau diminta maaf.
Sejak tadi pagi, mulai dari acara ijab-qabul, walimatul ‘ursy, sampai
malam ini semuanya berjalan lancar tanpa kendala berarti. Namun, Aira mendapati
suaminya berwajah sendu seolah ada kekosongan dalam hatinya saat ini. Apakah
ada yang salah pada dirinya ? Aira membatin.
“Maafkan aku karena
sebelum menikah denganmu. Aku pernah jatuh cinta pada seorang wanita dan
sepertinya aku tak kan mampu menghilangkan perasaanku ini.” Aira terkejut,
seketika riak wajahnya berubah muram dari awalnya berbinar terang. Pengakuan
pria yang teramat dicintainya telah membuat angan-angannya akan malam spesial
ini menjadi kelabu.
“Kalau begitu kenapa kamu
menerimaku? dan kalau boleh aku tahu siapa wanita itu? ” tanya Aira dengan
beribu kecewa dan mata yang berkaca-kaca. Mendapat pertanyaan itu Arsya terdiam
sesaat, lalu menjawab
“Wanita itu adalah
dirimu.” Arsya tersenyum. Tapi tidak dengan Aira yang malah menangis
terisak-isak. Hal ini membuat Arsya merasa bersalah dan segera menenangkan
cinta pertamanya itu.
“Kenapa kamu menangis
sayang, maafkan aku yang telah membuatmu jadi seperti ini.” Arsya menghapus air
mata yang menetes di pipi merah Aira. Dan dengan masih terisak Aira berkata,
“Aku menangis bukan karena sedih tapi karena sangat bahagia.”
“Aku mengatakan hal ini
seperti kisah Fatimah dan Ali saat malam pengantin mereka. Tapi itu pulalah
yang terjadi pada diriku Aira. Aku mencintaimu mungkin jauh sebelum kamu
mencintaiku. Saat di mana cinta kita tersembunyi namun bersuara dalam doa
sehingga Allah subhanahu wata’ala mempersatukan kita dan aku berharap kau
pengantinku sampai di surga.”
Mereka berdua pun tak mampu menahan haru, lalu
tenggelam dalam rasa syukur yang teramat dalam kepada Allah subhanahu
wata’ala yang telah menjaga cinta mereka. Kesucian cinta di antara mereka
telah berbalas menjadi kebahagiaan sesungguhnya. Cinta dalam bingkai pernikahan
akan menjadi lukisan terindah dari Allah subhanhu wata’ala melebihi pemandangan apa pun yang mampu
digambarkan oleh pelukis mana pun.
Kisah cinta antara Aira
dan Arsya seakan melukis pelajaran berharga dalam kanvas hikmah kehidupan. Bagi
akhwat yang mempunyai rasa cinta serius, bolehlah diungkapkan melalui jalur
syar’i. Ibunda Khadijah saja, berani mengutarakan cintanya, melalui jalur
Maisarah. Tidak ada yang menuduh Khadijah kurang menjaga ‘iffah (kesucian)
atas keputusan yang tidak umum tersebut. Kalau memang tidak berani
mengungkapkan dengan jalur halal, simpanlah dalam lubuk kesucian hati.
Barangkali, cintamu dan cintanya akan bertemu melalui doa yang terijabah,
sebagaimana cinta Ali dan Fatimah. Wallahu a’lam.
(By: Mestifarah)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !