Home » , , » Aku Hanya Ingin Menikah Dengannya

Aku Hanya Ingin Menikah Dengannya

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 25 Februari 2017 | 18.46

“Aku ingin menikah dengannya. Hanya dengannya.” Aira berucap lirih, bahkan air matanya pun ikut berbicara mengungakapkan isi hatinya. Kepada teh Riri, gadis berhijab biru itu mengadu.

“Tapi kenapa Aira?” tanya teh Riri dengan nada setengah kecewa.
Sesaat Aira terdiam. Di hadapannya saat ini ada sosok yang telah dianggapnya sahabat, kakak, bahkan ibu bagi Aira, yang dihormati serta dikasihinya. Namun Aira sadar telah membuat teh Riri bersedih karenanya. Dengan pandangan sedalam lautan terdalam sehingga Aira berharap teh Riri mampu menyelami perasaannya, mengerti dan memahami maksud hatinya, Aira mencoba menjawab.
            “Dia akan menjadi imam yang baik bagiku, ia dapat membimbingku, ia dapat mengajariku banyak hal, ilmu agama utamanya, ia dapat memberikan aku cinta karena Allah sehingga ia tak akan menyia-yiakanku, ia akan senantiasa membersamaiku,” dengan keyakinan yang kuat Aira bertutur mengutarakan apa yang dia harapkan akan sosok calon pendamping impiannya.
            “Ahh, sudahlah. Aku tidak dapat berkata apa-apa lagi saat ini kepadamu Aira. Kamu sudah mempunyai pilihanmu sendiri.” kata teh Riri yang sebenarnya masih meragukan keinginan Aira yang akankah mampu membuatnya bahagia kelak bersama orang yang diharapkannya itu.
Pria shaleh impian Aira adalah M. Arsya Abdulullah, seorang dai muda. Teh Riri percaya selama ini Aira telah berusaha menjaga hati dan pikirannya tentang segala hal mengenai Arsya namun cinta memang sulit untuk disembunyikan. Teh Riri sebenarnya telah menerima beberapa biodata ta’aruf untuk Aira, namun selama ini Aira selalu menolak tanpa alasan yang cukup jelas.
Setelah didesak oleh teh Riri mengenai alasan sebenarnya akan penolakan-penolakan yang sering ia lakukan kepada lelaki yang datang hendak meminangnya, padahal Aira sendiri sudah cukup siap untuk menikah dari segala sisi, barulah saat ini Aira jujur. Bahkan yang membuat teh Riri terkejut adalah sebegitu dalamnya perasaan yang ia simpan rapat-rapat selama ini.
            “Teteh, bantu aku!” Aira menggenggam tangan teh Riri
            “Tanpa kamu pinta adikku,” ucap teh Riri lembut, membalas genggaman Aira dengan kasih sayang.

Segera setelah itu, teh Riri bersama suaminya janji bertemu dengan Arsya untuk membicarakan perihal ‘proposal taaruf’. Arsya merespon baik pertemuan itu, dia hanya meminta waktu untuk melakukan shalat istikharah. Aira dan Arsya memang sudah saling mengenal, mereka tergabung dalam sebuah lembaga yang bergerak di bidang dakwah. Arsya memang cukup terkejut mendapatkan tawaran taaruf dari teh Riri dan suami terlebih setelah diketahui bahwa wanita yang berniat bertaaruf dengannya adalah Aira. Arsya mengatakan dengan jujur bahwa ia merasa terhormat dan mengatakan bahwa Aira adalah wanita salehah.
Otak manusia memang sering kali diisi oleh kekhwatiran-kekhawatiran. Awalnya Teh Riri dan suami juga Aira mengira bahwa jalan ini akan sulit untuk ditempuh karena masih saja di zaman ini sebagian orang beranggapan buruk terhadap wanita yang mengajukan dirinya. Padahal bukankah hal serupa pernah dilakukan oleh Ibunda Khadijah melalui Maisaroh yang mengutarakan niatnya kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
***
Alhamdulillah, semuanya berjalan lancar. Dari proses ta’aruf, lamaran, sampai pernikahan dilakukan dalam waktu yang cukup singkat hanya 1 bulan. Kedua insan itupun telah resmi menjadi sepasang suami-istri. Walimatul ‘urys yang dilakukan secara sederhana menjadi waktu ribuan doa dihadiahkan dari saudara, sahabat dan rekan-rekan mereka. Ini sudah menjadi takdirnya, di mana cinta keduanya yang tersembunyi pada akhirnya disatukan oleh Allah subhanahu wata’ala dalam ikatan suci.
            “Maafkan aku,’ kata Arsya kepada wanita di hadapannya yang tak lain dan tak bukan adalah istrinya, Aira.
            “Maaf untuk apa Kak?” Aira tak mengerti, sepertinya tidak ada hal yang harus dimaafkan atau diminta maaf. Sejak tadi pagi, mulai dari acara ijab-qabul, walimatul ‘ursy, sampai malam ini semuanya berjalan lancar tanpa kendala berarti. Namun, Aira mendapati suaminya berwajah sendu seolah ada kekosongan dalam hatinya saat ini. Apakah ada yang salah pada dirinya ? Aira membatin.
            “Maafkan aku karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah jatuh cinta pada seorang wanita dan sepertinya aku tak kan mampu menghilangkan perasaanku ini.” Aira terkejut, seketika riak wajahnya berubah muram dari awalnya berbinar terang. Pengakuan pria yang teramat dicintainya telah membuat angan-angannya akan malam spesial ini menjadi kelabu.
            “Kalau begitu kenapa kamu menerimaku? dan kalau boleh aku tahu siapa wanita itu? ” tanya Aira dengan beribu kecewa dan mata yang berkaca-kaca. Mendapat pertanyaan itu Arsya terdiam sesaat, lalu menjawab
            “Wanita itu adalah dirimu.” Arsya tersenyum. Tapi tidak dengan Aira yang malah menangis terisak-isak. Hal ini membuat Arsya merasa bersalah dan segera menenangkan cinta pertamanya itu.
            “Kenapa kamu menangis sayang, maafkan aku yang telah membuatmu jadi seperti ini.” Arsya menghapus air mata yang menetes di pipi merah Aira. Dan dengan masih terisak Aira berkata, “Aku menangis bukan karena sedih tapi karena sangat bahagia.”
            “Aku mengatakan hal ini seperti kisah Fatimah dan Ali saat malam pengantin mereka. Tapi itu pulalah yang terjadi pada diriku Aira. Aku mencintaimu mungkin jauh sebelum kamu mencintaiku. Saat di mana cinta kita tersembunyi namun bersuara dalam doa sehingga Allah subhanahu wata’ala  mempersatukan kita dan aku berharap kau pengantinku sampai di surga.”
Mereka berdua pun tak mampu menahan haru, lalu tenggelam dalam rasa syukur yang teramat dalam kepada Allah subhanahu wata’ala yang telah menjaga cinta mereka. Kesucian cinta di antara mereka telah berbalas menjadi kebahagiaan sesungguhnya. Cinta dalam bingkai pernikahan akan menjadi lukisan terindah dari Allah subhanhu wata’ala  melebihi pemandangan apa pun yang mampu digambarkan oleh pelukis mana pun.
            Kisah cinta antara Aira dan Arsya seakan melukis pelajaran berharga dalam kanvas hikmah kehidupan. Bagi akhwat yang mempunyai rasa cinta serius, bolehlah diungkapkan melalui jalur syar’i. Ibunda Khadijah saja, berani mengutarakan cintanya, melalui jalur Maisarah. Tidak ada yang menuduh Khadijah kurang menjaga ‘iffah (kesucian) atas keputusan yang tidak umum tersebut. Kalau memang tidak berani mengungkapkan dengan jalur halal, simpanlah dalam lubuk kesucian hati. Barangkali, cintamu dan cintanya akan bertemu melalui doa yang terijabah, sebagaimana cinta Ali dan Fatimah. Wallahu a’lam.

(By: Mestifarah)
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan