Sewaktu aku masih kecil,
sekitar kelas 3 MI (Madrasah Ibtidaiyah), ada dua kucing yang aku pelihara
bersama adikku. Kucing itu bersaudara kandung. Yang satu berwarna putih
berkelamin betina; sedangkan yang satunya berwarna hitam berkelamin jantan.
Kucing jantan aku beri nama Pucuk Hayya, dan yang betina diberi bana Pucuk
Hayyi.
Seingatku, kucing itu ku
pelihara sampai besar. Setiap kali minta makan, maka dengan mimik memelas dan
terlihat sopan Pucuk Hayya dan Pucuk Hayyi seolah memintah makan. Nasi dicampur
ikan asin menjadi menu andalan kedua kucing tersebut. Sering kami bercengkrama
dengan keduanya. Tak jarang juga tidur bersama, bahkan menidurkan si kucing.
Suka duka tentu ada selama
bersama kucing. Sukanya, ada yang bisa diajak main dan bercanda. Dukanya, kalau
menggondol ikan tanpa izin dan buang air sembarangan. Kalau sudah begitu, ibu
biasanya agak marah dan menyuruhku membuang keduanya. Terlepas dari suka
dukanya, yang jelas adanya Pucuk Hayya dan Pucuk Hayyi turut mewarnai
perjalanan masa kecilku.
Entah seperti apa pada
akhirnya, kedua kucing itu tidak diketahui rimbanya. Yang satu mungkin sudah
bunting, dan yang lain mungkin sudah kawin. Rupanya keduanya sudah memasuki
musim kawin.
Selain keduanya, ada
banyak kucing yang silih berganti ku pelihara. Namun, ketika sudah besar mereka
mencari jalannya sendiri. Pemeliharaan kucing ini mungkin tidak lepas dari
kebiasaan bibiku yang tuna rungu. Dia sangat hobi memelihara kucing. Bahkan
seringkali dia membantu hewan-hewan yang sedang terluka seperti anak ayam yang
kaki sebelahnya dimakan tikus; anak burung yang jatuh dari sarang dan lain
sebagainya.
Bibiku ini betul-betul
sangat sayang kepada kucing. Termasuk Pucuk Hayya dan Pucuk Hayyi seringkali
diberi makan olehnya. Bahkan sampai sekarang pun (2017) dia masih memelihara
ayam dan kucing. Di balik keterbatasannya, dia siap menampung hewan yang
mengalami kesusahan dan penderitaan.
Kisah Pucuk Hayyi dan
Pucuk Hayya berikut bibiku yang gemar memelihara kucing, dengan maksud
mengangkat kembali bagaimana Islam begitu mengajarkan kasih sayang hingga
kepada binatang. Hewan pun menurut ajaran Islam memiliki hak untuk disayangi
dan diberikan hak-haknya.
Berkaitan dengan kucing,
aku juga ingat sahabat Rasullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang
bernama Abdurrahman bin Sakhrin. Beliau lebih dikenal dengan gelarnya, yaitu:
Abu Hurairah (Bapaknya Kucing). Menurut cerita yang populer, dia digelari
demikian karena ada kucing kecil yang selalu ikut kemana pun dia pergi. Beliau
begitu sayang padanya, memberi makan dan minum. Bisa jadi bukan hanya satu
kucing yang dipelihara.
Itu adalah salah satu
contoh dari sahabat yang memberi teladan yang baik kepada generasi masa
sekarang agar sayang binatang. Bagi siapa saja yang tidak sayang hewan, bahkan
menyiksanya, ingat hadits berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عُذِّبَتْ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ
سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ لَا هِيَ أَطْعَمَتْهَا
وَلَا سَقَتْهَا إِذْ حَبَسَتْهَا وَلَا هِيَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ
الْأَرْضِ
“Ada seorang wanita yang
di’adzab karena seekor kucing yang ia belenggu sampai ia mati, lalu tempat
(wanita)itu dipenuhi dengan api. Ketika dalam belenggu itu, kucing itu tak
diberinya makan dan minum, ia juga tak membiarkan kucing itu makan dari
serangga bumi” (HR. Bukhari, Muslim).
Ingat, ada loh
seorang wanita yang masuk surga gara-gara menyiksa kucing. Sebaliknya, di
riwayat lain, juga ada pelacur yang bisa masuk surga gara-gara memberi minum anjing yang kehausan. Semua berlandaskan rasa kasing sayang. Percikan
kasih dari Sang Rahman dan Rahim yang seharusnya diteladani oleh
setiap hamba-Nya.
Berbicara masalah kucing,
aku juga jadi teringat mengenai kisah Buya Hamka dan Si Kuning (kucing
kesayangan beliau). Dalam buku yang berjudul: Ayah; Kisah Buya Hamka
yang ditulis anak kelima Buya Hamka (Irfan) halaman 215-227 diceritakan bahwa
Hamka memelihara anak kucing berwarna kuning hingga dewasa. Si Kuning begitu
disayanginya. Diberi makan layak, diberi minum susu dan lain sebagainya.
Uniknya, Si Kuning seolah
tahu budi. Salah satu kebiasaan baiknya adalah selalu mengikuti Buya Hamka
pergi ke masjid. Si Kuning selalu berada di depan Buya ketika berangkat ke
Masjid Al-Azhar. Sesampainya di masjid biasanya Si Kuning berhenti menunggu
sampai keluar kembali.
Usiau kucing itu ditaksir
Irfan mencapai 25 tahun. Sepeninggal Hamka, Si Kuning tidak diketahui rimbanya.
Cuma pada suatu saat kembali dengan kondisi kurus, kemudian diberi makan layak.
Ketika mendengar adzan, ia langsung bergerak ke arah menuju masjid, kemudian setelah
itu tak tahu kemana. Saat di dalam masjid bakda Shalat Jum’at ada murid Buya yang membisiki Irfan, bahwa ia telah melihat
Si Kuning berziarah di makam Buya Hamka.
Ma syaallah, hewan
pun begitu tahu budi, sayang dan kangen kepada sosok yang menyayanginya.
Kepergian Buya seolah membuatnya sedih, dan membuatnya menyusul kewafatannya.
Lalu bagaimana dengan aku, kamu, Anda, kita, kami, kalian? Masihkah terpancar
rasa kasih sayang pada binatang walau hanya sedikit? Atau justru hobi
menyiksa binatang? Na’udzibillah min dzalik.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !