“Sungguh ironis. Ada akhwat yang paham agama, malah mencari jodohnya lewat jalur independen (suka-suka dia) dengan berkedok ‘ta’aruf’ sedangkan akwat lainnya berusaha menjalani ta’aruf tapi...,” Ais menggantung ucapannya.
“Tapi apa?” Tanya Habib kepada istrinya yang terlihat berat melanjutkan perkataannya. “Digantung seperti jemuran sama ikhwan-ikhwan yang punya standar tinggi.” Ais mendesah resah. Seorang temannya meminta bantuan untuk ditaarufkan, bukan sesuatu yang mudah baginya dan suami. Bahkan sudah beberapa kali Ais dan Habib membantu teman-teman mereka untuk bertaaruf, hal itu sangat sulit.
Ikhwan saat ini dengan terang-terangan akan menguraikan kriteria akhwat idaman yang diinginkan, seperti: ‘Kalau bisa kulitnya tidak hitam seperti saya, tinggi semampai lebih baik, saya suka yang berat badannya ideal, dan lain sebagainya.’ Dan ketika tidak menemukan apa yang mereka cari maka dengan berbagai alasan ikhwan-ikhwan itu menolak sehalus mungkin.
Ada juga yang berdalil bahwa kriteria pertama dalam memilih seorang perempuan untuk dijadikan istri adalah kecantikannya, dengan justifikasi hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: " تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ "
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata, “(Biasanya) wanita dinikahi karena empat hal; (kerena) harta, nasab, cantik dan agamanya. Maka beruntunglah yang mencari agamanya.” (HR. Muslim).
Jadi –menurutnya- wajar bila seorang laki-laki akan mencari istri yang kelak enak dilihat karena akan setiap saat memandangnya. Tapi sayangnya ikhwan-ikhwan itu lupa berkaca diri dan melupakan bahwa pilihan terbaik adalah yang berdasarkan agamanya.
Sedangkan lain lagi dengan akhwat-akhwat yang lebih memilih ‘bersabar’ sambil menyeleksi ikhwan mana yang akan dipilihnya. Mereka akan mencari yang ‘setidaknya’ sesuai dengan standar mereka sampai akhirnya mereka tersadar bahwa usia mereka telah mendekati kepala 3.
Semakin hari hal itu bertambah sulit bagi mereka. Pada awalnya mereka hanya ingin menadapat calon yang menerima mereka apa adanya, tetapi sulit bagi akhwat-akhwat itu yang bisa menerima ikhwan apa adanya, terlebih lagi yang hidupnya pas-pasan.
“Aku berniat mentaarufkan Syifa dengan teman kantorku Hakim. Bagaimana menurutmu ?” Tanya Habib kepada Ais yang masih merenung. “Hakim temanmu yang S2 di Kairo ?” Ais balik bertanya, Habib mengangguk. “Tidak mungkin!” “Kenapa? sepertinya mereka sekufu.” “Dari beberapa sisi ‘ya’ tapi Syifa telah memilih jalannya sendiri”
Habib tak mengerti, sejauh yang ia tahu Syifa adalah sahabat istrinya yang bisa dikatakan akhwat militan mantan aktivis kampus dan saat ini berprofesi sebagai seorang guru. Sedangkan temannya Hakim telah cukup siap untuk menikah.
Habib berpikir keras sebelum menanyakan apa maksud dari ucapan istrinya tadi. Sampai akhirnya terbesit dalam pikirannya, “Apa teman kamu itu sedang berpacaran dengan seseorang?” Ais memandang suaminya dengan tatapan sedih seolah membenarkan apa yang dipikirkan suaminya.
“Pantas tadi kamu bilang ‘ada akhwat yang paham malah mencari jodohnya lewat jalur independen’ jadi maksud kamu itu dia?” Ais masih tidak ingin menjawab pertanyaan suaminya. Karena sejujurnya entah kenapa hatinya terluka. Mungkin karena kecewa pada sahabatnya itu.
“Menurutmu, jika ada seorang laki-laki bertemu janji dengan seorang perempuan di suatu tempat untuk membicarakan masa depan ‘mereka’ di tempat umum dan untuk menghindari fitnah mereka membawa seorang ponakan mereka yang usianya kurang dari 10 tahun untuk ikut menemani. Apa itu ahsan (baik) ?”
“Kenapa kamu menanyakan pertanyaan yang kamu sendiri tahu dan sangat paham jawabannya?” Habib malah balik bertanya kepada Ais.
“Apa ketika ada seorang akhwat dan ikhwan yang menjalin komunikasi intens di WA atau BBM membicarakan soal hati dan perasaan mereka masing-masing sambil merancang masa depan, mereka telah melakukan sebuah kesalahan?” Ais kembali bertanya. Dan kali ini pertanyaan itu dijawab oleh Habib yang merasakan kesedihan istrinya.
“Ais, di luar sana banyak sekali perempuan dan laki-laki yang menjalin hubungan secara terang-terangan dan mendeklariskan hubungan mereka dengan berpacaran, bertunangan bahkan berhubungan dengan berdalil taaruf. Mereka semua itu tahu bahwa apa yang dilakukan adalah perbuatan dosa karena telah mendekati zina atau bahkan telah berzina akan tetapi hawa nafsu menguasai keduanya dengan mengatasnamakan cinta dan kepentingan, sehingga hal itu dianggap biasa dan wajar.”
“Bukan saja dari orang-orang yang ‘tahu’ dan ‘sadar’ bahwa hubungan diluar pernikahan itu adalah haram bahkan orang-orang atau akwat-akhwat dan ikhwan-ikhan yang juga mengerti dan sangat paham dari kebanyakan orang yang juga melakukan hal yang sama juga banyak, di antaranya juga mungkin teman-teman kita, mereka yang dikatakan akhwat dan ikhwan aktifis dakwah dan militan.” Ais menyimak perkataan dan penjelasan suaminya dengan seksama hingga tanpa sadar air matanya menetes karena keprihatinannya. Habib menghapus air mata istrinya dengan lembut dan membelai kepala istrinya itu.
“Sayang, Lah Tahzan! Bersyukurlah pada Allah subhanahu wata’ala karena kita mengawali pernikahan ini dengan penjagaan Allah subhanahu wata’ala sehingga dari mulai niat, proses dan akhirnya insyaallah barakah dan semoga kita dapat membantu teman-teman kita yang lain untuk turun serta berjalan di jalan ini.”
***
Jodoh adalah misteri Illahi yang rahasianya hanya dapat kita ungkap dengan ikhtiar memperbaiki diri dan memantapkan hati karena hakikatnya jodoh adalah cerminan diri kita sebagaimana Firman Allah subhanahu wata’ala bahwa perempuan-perempuan baik akan mendapatkan laki-laki baik dan perempuan-perempuan penzina akan mendapatkan laki-laki penzina (QS. An-Nur [24] :26).
Jadi, belum tentu hubungan yang dijalin bertahun-tahun antar seorang perempuan dan laki-laki dengan legitimasi berpacaran akan berjodoh satu sama lain sampai ke pelaminan. Begitupun sebaliknya mungkin orang yang baru kita kenal adalah jodoh kita sebenarnya sehingga dibutuhkan ikhtiar untuk mencintainya.
Mengungkap siapa jodoh kita, siapa seseorang yang akan menjadi pendamping hidup kita, siapa yang akan senantiasa setia bersama-sama, siapa yang akan menjadi ibu atau bapak bagi anak-anak kita kelak ? siapa ? adalah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari setiap insan yang merindukan belahan jiwanya hingga terkadang berbagai cara dicoba. Tapi banyak diantara kita yang terjebak dalam memilih jalan untuk menemukan jodoh kita.
Berpacaran, TTM-an (Teman Tapi Mesra), bertunangan, dan lain sebagianya adalah jalan yang paling banyak ditempuh oleh kita. Padahal sebelumnya kita telah sama-sama sepakat bahwa jodoh adalah misteri Ilahi tapi mengapa kita meraih anugrah Allah subhanahu wata’ala berupa jodoh itu dengan jalan-jalan yang telah jelas keharamannya? dan menuntut bahwa pasangan kita kelak adalah jodoh dunia akhirat.
Bertaaruf adalah salah satu jalan yang dianjurkan dalam Islam, yaitu suatu proses saling mengenal satu sama lain dengan atau melalui seorang perantara sebagai penengah yang akan menyampaikan pertukaran informasi antara kedua belah pihak. Perantara disini bisa dikatakan seperti makcoblang yang akan ikut bertanggung jawab atas kedua belah pihak untuk menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat untuk tidak dilanggar seperti berdua-berduaan, bersentuhan dan lain-lain.
Taaruf bukan pacaran. Prosesnya berjalan singkat dan terbuka artinya kejujuran akan memulai ini semua dengan sama-sama berniat menikah karena Allah maka dari proses sampai akhir harus dapat saling menjaga, bukan saja secara fisik tapi juga menjaga hati dari desiran setan yang akan menggelincirkan niat mereka. Taaruf juga diiringi istikharah yaitu meminta kepada Allah subhanahu wata’ala untuk diberikan petunjuk jodoh kita sebenarnya.
Apa yang dilakukan Fathimah binti Qais kiranya bisa dicontoh bagi yang serius hendak menikah. Waktu itu ada dua orang yang tertarik dengannya yaitu: Abu Jahm dan Mu`wiyah. Untuk menepis keraguan, akhirnya dia berkonsultasi kepada Rasulullah mengenai profil keduanya. Belaiau pun menjawab, “Adapun Mu`awiyah adalah orang faqir. Ia tidak mempunyai harta. Sedangkan Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya[maksudnya adalah kasar suka memukul istri].” (HR. Bukhari, Muslim).
Rasulullah ternyata tidak merekomendasikan keduanya, tetapi justru mengajukan Usamah bin Zaid yang dianggap kompeten menjadi suaminya. Akhirnya benar, memang Usamahlah yang tepat dengan Fathimah binti Qais. Di sini Qais tidak melakukan upaya independen, tapi melibatkan orang terbaik untuk membantu dirinya memilih pasangan yan terbaik.
Pernikahan adalah ikatan suci yang janjinya diabadikan dihadapan Allah subhanahu wata’ala maka sudah sepatutnya bagi kita menjaga niat-proses-sampai akhirnya nanti dengan tanpa mengotorinya oleh hal-hal yang haram.
Jika kita mengawali pernikahan dengan jalan yang salah, kita patut khawatir bahwa mungkin saja orang di samping kita saat ini –orang yang kita cintai- sebagai pasangan atau suami atau istri kita adalah musuh di akhirat kelak dan hanya jodoh kita di dunia ini saja. Karena kelak di mana Hari Pembalasan digelar, boleh jadi mereka menjadi musuh-musuh yaitu bagi orang-orang yang di dunia kita saling mencintai tapi karena bukan Allah subhanahu wata’ala maka saling membenci.
Sebagai penutup, untuk para ikhwan, betapapun ada hadits: “(Biasanya) wanita dinikahi karena empat hal; (kerena) harta, nasab, cantik dan agamanya. Maka beruntunglah yang mencari agamanya.” (HR. Muslim), maka di situ yang menjadi titik tekan adalah agamanya. Bukan berarti menafikan yang lain, tapi kalau sudah mendapat agama yang baik, tapi masih terlalu pilih-pilih mendapatkan calon sempurna, maka sangat bertolak belakang dengan spirit Islam.
Bagi para akhwat yang terlalu suka pilih-pilih, perhatikan hadits berikut:
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Tirmidzi).
Pada hadits tersebut, kriteria pasangan yang perlu dicari oleh seorang perempuan adalah: agama dan akhlaknya. Jika sudah ada yang berakhlak dan beragama bagus, kemudian ditolak karena ingin mencari yang sempurna, maka hal itu akan menjadi fitnah bagi dirinya sendiri. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !