Bulan
Ramadhan baru saja berakhir. Tiba saatnya kita berjumpa dengan bulan Syawwâl. Banyak
orang bahagia dan bersukacita menyambut bulan Syawal. Kebahagiaan itu menyebar
ke segenap lapisan umat Islam. Berbagai sikap pun bermunculan. Ada yang
menyambutnya dengan kembang api, petasan dan semacamnya sebagai wujud perayaan.
Ada juga yang sibuk dengan pekerjaan sehingga tak begitu menikmati kesukacitaan
bulan `Idul Fitri. Ada juga yang merayakan sukacitanya dalam bentuk kebudayaan,
seperti: takbir keliling dan halal bi halal (yang biasa disebut dengan lahir
batin). Terlepas dari berbagai macam penyikapan terkait dengan datangnya bulan
syawal, jarang sekali ditemui satu sikap yang menunjukkan kesedihan lantaran
ditinggal Ramadhan.
Tidak seperti yang terjadi pada masa sahabat
dan ulama salaf, yang merasa sedih ketika ditinggal bulan Ramadhan. Bahkan Imam
Abu Hamid Al-Ghozali dalam kitab Ihyâ Ulûmiddîn, menyebutkan riwayat
dari Wahib bin Al-Warod yang menceritakan: ketika beliau melihat orang yang
tertawa ketika hari raya `Idul Fitri, beliau berkomentar: “Kalau memang mereka
telah diampuni dosa-dosanya, maka bukan seperti ini perilaku orang yang syukur.
Kalau belum diampuni dosa-dosanya, bukan seperti ini perilaku orang yang takut”.
Setidaknya riwayat tersebut membuat kita bisa mengontrol diri untuk tidak larut
dalam euforia `Idul Fitri. Bahkan
membuat kita termotivasi untuk menyongsong amalan-amalan pada
bulan-bulan selanjutnya.
Khusus
pada bulan Syawwâl, ada amalan yang biasa ditunaikan oleh orang-orang Islam
setelah merayakan hari raya `Idul Fitri, yaitu: puasa enam hari di bulan Syawwâl.
Puasa ini secara normatif terdapat dalam hadits Nabi shalallahu `alaihi
wasallam sebagaimana berikut:
« مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا
مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ ». رواه مسلم
“Barangsiapa puasa (pada bulan)Ramadhan
kemudian diikuti (puasa) enam hari pada bulan Syawwâl adalah seperti puasa
setahun (penuh)”[Hr. Muslim].
Hadits ini secara jelas menginformasikan ke seganap muslim bahwa siapa saja
yang telah berpuasa Ramadhan, kemudian diikuti dengan puasa Syawwâl, maka
seperti puasa setahun penuh. Hadits ini secara umum dipahami sebagai keutamaan
puasa pada bulan Syawwâl.
Secara umum kebanyakan orang melihat puasa ini
dari segi ganjaran yang begitu luar biasa bagaikan puasa setahun penuh. Apa ada
yang salah dengan pemahaman seperti ini? Tentu saja tidak. Memang secara tegas
hadits tersebut menyebutkan keutamaan puasa enam hari di bulan Syawwâl. Tapi
dengan terfokus pada pahalah, kadang-kadang orang terlalaikan dengan perkara
yang sangat penting dari hadits tersebut, yaitu: kontinuitas amal atau
kebersinambungan amal. Padahal jelas-jelas Rasulullah menegaskan dalam hadits
riwayat Bukhari dan Muslim yang artinya: “amal yang paling dicintai
oleh Allah ialah yang paling dawam(rutin, kontinu) meskipun sedikit”.
Kalau
fokus kita sebagai muslim -ketika memahami hadits tersebut- pada kata: ‘Tsumma
Atba`ahu(Kemudian diikuti atau diiringi), maka kesadaran kita mengenai
kebersinambungan amal semakin terasah dengan baik. Betapapun besarnya pahala
puasa di bulan Syawwâl sejatinya mengingatkan kita agar tidak putus dalam
beramal. Tidak menjadikan tumpuan amal hanya pada bulan Ramadhan saja. Sehingga
kesadaran utama bukan lagi pada pahala, tetapi pada puasa-puasa selanjutnya
yang juga disyari`atkan untuk dikerjakan seperti: puasa Senin dan Kamis, puasa
Daud, puasa ayyâmu al-bidh(tiap bulan pada tanggal 13, 14 dan 15
hijriyah). Artinya apa? Amalan-amalan yang sudah biasa dilakukan di bulan
Ramadhan tidak akan terputus hingga datang Ramadhan berikutnya. Kesadaran ini
bukan saja berlaku pada amalan puasa saja, kalau dalam Ramadhan orang terbiasa
Tarawih, di luar Ramadhan masih ada shalat Malam. Begitu juga dengan amal-amal
yang lainnya.
Pemahaman yang benar terhadap hadits tersebut
membimbing kita menjadi insan muttaqin sebagaimana tujuan disyari`atkannya
berpuasa di bulan Ramadhan. Kata kuncinya sederhana: istiqamah beramal baik
dalam dan di luar bulan Ramadhan. Keistiqamahan inilah yang bisa dijadikan
sebagai standar bagi sukses tidaknya muslim dalam menunaikan ibadah selama
bulan Ramadhan. Memang sederhana, tapi susah terlaksana. Hanya orang-orang yang
berbekal taqwa yang mampu tetap kontinu beramal di tengah godaan dunia yang
semakin dahsyat. Hidup di dunia hanyalah sementara. Memang ada ruang untuk
bersendagurau menikmati dunia. Namun yang penting disadari terkait dengan
hakikat dunia ialah porsi untu melampiaskan harus lebih kecil dibanding porsi
untuk mengontrol diri. Itulah ajaran puasa.
Wallahu a`lam bis showab.
Suengko, Senin 28 Juli 2014(1 Syawal
1535)/18:40
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !