DI SEPULUH akhir bulan Ramadhan biasanya kaum muslimin berbondong-bondong ke masjid untuk menjalankan ibadah i`tikaf(berdiam di masjid melaksanakan amalan tertentu). Salah satu motif yang bisa dibaca melalui nash-nash al-Quran dan al-Hadist ialah mencari Malam Kemuliaan yang bernilai seribu bulan. Malam itu biasa disebut lailatul qadr. Bagi siapa saja yang mendapatkan malam kemuliaan itu maka dosa-dosanya akan diampuni dan akan mendapat pahala yang amat besar disisi Allah.
Para pencari 'Malam Kemuliaan' itu diibaratkan sebagai 'Pemburu'. Objek yang diburu ialah: Lailatul Qadar(malam yang lebih baik dari seribu bulan). Alat Pemburuanya ialah: I`tikaf. Tempat Pemburuanya ialah: Masjid. Sekarang, yang perlu dipertanyakan ialah, apakah kalau semua unsur sudah terpenuhi dari Pemburu, objek yang diburu, Tempat pemburuan dan alat pemburuan, maka secara otomatis akan mendapatkan 'Malam Kemuliaan'? Tentu saja tidak. Memang ke empat unsur di atas sangat inti tapi masih memerlukan bantuan penunjang lainya seperti; Ikhlas, persiapan matang, antusias tinggi, keyakinan kuat, khusyu` dan fokus.
Banyak dijumpai kesalahkaprahan dalam masalah ini. Ada yang terlalu percaya diri hingga yakin bahwa setelah i`tikaf pasti mendapatkan Lailatul Qadar. Padahal persiapan kurang matang, dan hanya berfokus pada pahala. Lailatul Qadar adalah anugerah agung yang hanya dihadiahkan Allah kepada hamba-hambanya yang antusias, ikhlas, khusyu`dan sudah mendapatkan rekomendasi takwa. Tak ada satupun yang tahu siapa yang akan mendapatkannya melainkan yang diberitahu langsung oleh Allah sendiri. Bentuknya sangat abstrak. Kita bisa melihat orang mendapatkanya melalui indikasi-indikasi positif yang dipancarkanya setelah puasa Ramadhan usai. Jika ia semakin baik dan terus membaik maka insyaAllah ia mendapatkanya.
Lebih jauh kita mempertanyakan. Apakah Lailatul Qadar yang menjadi objek yang diburu itu merupakan tujuan disyariatkan puasa Ramadhan? Tentu saja tidak. Tujuan puasa itu secara eksplisit ialah mencetak insan-insan bertaqwa. Jadi Lailatul Qadar hanya semacam stimulus untuk menggiatkan kembali etos amalan ibadah hamba menuju tujuan inti yaitu taqwa. Bukan berarti kita tidak boleh mengharap pahala. Setiap pahala hanya dipandang sebagai sarana bukan tujuan.
Seandainya Malam Kemuliaan itu tidak kita dapatkan apakah kita akan berhenti beribadah? Pasti kita menjawab tidak. Karena tujuan diciptakan manusia ialah untuk beribadah kepada Allah. Diganjar atau tidak itu urusan Allah. Tugas kita hanya melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Yang jelas, Allah tidak akan menyia-nyiakan amalan orang-orang yang berbuat baik.
Cara pandang kita mengenai 'Malam Kemuliaan'(Lailatul Qadar) sangat berpengaruh pada sikap dan tingkah laku kita selanjutnya. Pemburuan 'Malam Kemulian' harus senantiasa diiringi dengan kesadaran tujuan inti yaitu taqwa. Bila tidak pemburuanya akan bernilai sia-sia. Kesalahpahaman ini hanya akan melahirkan 'insan-insan pragmatis' yang kan selalu terjauhkan dari tujuan subtansial.
Pada intinya pemburuan Malam Kemuliaan adalah proses efektif dan kondusif yang membantu seseorang untuk memperoleh derajat taqwa. Bila taqwa telah didapat maka akan tercipta hubungan harmonis antara Allah, manusia dan alam. Keharmonisan dan keserasian hubungan itu memang hanya akan didapat oleh insan Muttaqin(Orang-orang bertaqwa). Semoga pemburuan Malam Kemulian ini dapat mengantar kita ke derajat taqwa.
[by Mahmud Budi Setiawan on Wednesday, September 1, 2010 at 9:16am]
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !