Home » » Ramadhan Always

Ramadhan Always

Written By Amoe Hirata on Senin, 21 Juli 2014 | 17.53

            Suatu saat Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam menaiki mimbar.  Tanpa diduga sebelumnya oleh para sahabat, tiba-tiba beliau mengucapkan kata, ‘âmîn, âmîn, âmîn’.
          Mendengar ucapan itu, seketika seluruh sahabat yang hadir dalam masjid heran lantas ada yang langsung bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, anda sedang mengamini apa?”. Rasulullah pun menjawab: “Baru saja Jibril mendatangiku seraya berkata, ‘Wahai Muhammad! Rugilah orang (ketika) kamu disebut di sisinya lalu ia tidak bershalawat padamu. Katakanlah ‘âmîn’!. Aku pun berkata: ‘âmîn’. Lalu ia melanjutkan, ‘Rugilah orang (yang mendapat kesempatan) menjumpai bulan Ramadhan, tapi tidak diampuni. Katakanlah ‘âmîn’!. Aku pun berkata: ‘âmîn’. Kemudian ia menambahkan, ‘Rugilah orang yang masih mendapati kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya (hidup), tapi tidak membuatnya masuk surga. Katakanlah ‘âmîn’!. Aku pun menjawab ‘âmîn’(Hr. Turmudzi dan Ahmad).
                   Berkaitan dengan berakhirnya bulan Ramadhan, pada hadits tersebut ada kata-kata Jibril yang perlu dicermati dengan baik, yaitu: “Rugilah orang yang menjumpai bulan Ramadhan, sedangkan dosanya tak terampuni”. Kata-kata Jibril ini, bisa dijadikan sebagai evaluasi bagi siapa saja yang telah keluar dari bulan suci Ramadhan: apakah termasuk bagian dari orang yang beruntung atau merugi? Para sahabat begitu sedih ketika Ramadhan telah berakhir. Meraka takut masuk dalam kategori orang merugi yang amalnya tak diterima dan dosanya tak terampuni. Mereka pun tetap istiqamah baik di dalam maupun di luar bulan Ramadhan. Mereka memiliki kebiasaan menarik. Enam bulan sebelum Ramadhan, mereka gunakan untuk mempersiapkan diri sembari berdoa agar diperjumpakan dengan Ramadhan, sedangkan enam bulan setelahnya mereka gunakan untuk berdoa agar amalan di bulan Ramadhan diterima sembari tetap beramal. Ini sebagai gambaran seolah-olah bagi mereka sepanjang tahun adalah Ramadhan.
            Salah satu tanda yang bisa dijadikan ukuran untuk menilai rugi tidaknya orang yang keluar dari Ramadhan ialah: ‘keistiqamahan dalam beramal’. Mengenai beratnya istiqamah, Rasulullah pun pernah berkata: “surat Hud telah membuatku beruban”. Ini sangat beralasan karena diantara kandungan dari surat Hud ialah perintah agar selalu menjaga istiqamah(Q.s. Hud: 112). Dalam surat Al-Fatihah pun kita setiap hari berkali-kali melantunkan ayat: ihdinâs shirôthol mustaqîm(tunjukilah kami jalan yang larus/jalan orang yang istiqamah). Ini semakin menegaskan bahwa istiqamah adalah bukan perkara yang mudah dan perlu diusahakan secara serius dan terus-menerus.
           Jangan sampai kita termasuk dalam perumpamaan ayat Al-Qur`an tentang seorang wanita pemintal kain yang mengurai benang setelah dipintal dengan kuat menjadi kain(Qs. An-Nahl: 92), sebagai suatu gambaran bagi siapa yang rajin melakukan amal lalu kemudian tiba-tiba berhenti lantaran tak bisa istiqamah. Pertanyaan yang paling mendasar yang perlu ditanyakan pada diri kita ialah: “Mampukah kita menjaga keistiqamahan setelah bulan Ramadhan? Lalu bagaimana cara menjaganya?”. Untuk menjawabnya, kita perlu membaca kembali sejarah emas Nabi Muhammad shallallâhu `alaihi wasallam, para sahabat, serta ulama salaf yang meneladani beliau. Dari kisah mereka kita akan mendapat pelajaran berharga yang bisa dijadikan sebagai pengingat di kala kita lalai.
             Dari sejarah sahabat kita menemukan salah satu rahasia menarik yang menjelaskan kenapa mereka tetap bisa istiqamah beramal di luar bulan Ramadhan, salah satunya ialah mereka mengamalkan betul hadits Nabi shallallâhu `alaihi wasallam: “Bahwa amalan yang paling dicintai oleh Allah ialah yang paling dawam(tetap dan berkesinambungan) meskipun sedikit”(Hr. Bukhari, Muslim). Mereka beramal bukan dengan secara drastis. Mereka menunaikan amalan dengan cara bertahap dan dimulai dari yang ringan-ringan dahulu.  Mereka mempunyai prinsip, tidak akan menambah amal sebelum bisa mendawami(menetapi) amal yang ringan dan sedikit sebagaimana hadits tersebut.
            Hal ini sangat kontras dengan cara yang dilakukan oleh kebanyakan orang mada masa kini yang melakukan amal tidak melalui tahapan-tahapan terlebih dahulu. Ramadhan seakan-akan menjadi momen terbaik untuk ‘melampiaskan’ amal sebanyak-banyaknya. Maka tidak heran kita banyak menjumpai fenomena yang ironis seperti: masjid penuh, banyak berinfaq, shalat malam, dan mengaji Al-Qur`an hanya ketika Ramadhan. Fenomena-fenomena tersebut terjadi karena amalan yang dilakukan tidak secara bertahap dan  juga tidak dimulai dari yang termudah. Suatu saat Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya agama ini sangat kokoh, maka masuklah ke dalamnya dengan kelembutan”(Hr. Turmudzi). Maksud hadits ini ialah agar kita beramal secara bertahap dan dimulai dari yang ringan dahulu supaya tidak cepat bosan.
            Para al-salafu al-shôlih(ulama shalih terdahulu) juga tidak pernah membeda-bedakan amalan baik di dalam maupun di luar bulan Ramadhan. Meskipun di bulan Ramadhan mereka semakin intens dalam beribadah, namun di luar Ramadhan mereka tetap bisa istiqamah menjalankannya. Suatu ketika ada seorang dari kalangan ulama salaf yang menjual budak perempuannya. Ketika bulan Ramadhan sudah menjelang, (budak perempuan yang sudah dijual itu) melihat tuan barunya sedang bersiap-siap (mengumpulkan) makanan dan lain sebagainya. Kemudian budak perempuan itu bertanya pada tuan barunya perihal yang sedang ia lihat. Tuannya menjawab: “Kami sedang siap-siap untuk berpuasa Ramadhan”. Budak perempuan itu lantas berkomentar: “Kalian hanya berpuasa ketika bulan ramadhan. dulu aku berada bersama tuan yang semua waktunya adalah ramadhan(maksudnya, tuannya yang dulu tetap berpuasa meski di luar bulan Ramadhan). (Sekarang) kembalikanlah aku kepada mereka,”(Asrôru al-Muhibbîn fi Ramadhôn, Hal: 364).
          Kisah ini menggambarkan secara jelas bahwa mereka tak membeda-bedakan antara bulan Ramadhan dengan bulan-bulan lainnya. Dengan demikian, untuk menjaga keistiqamahan amal setelah Ramadhan bisa ditempuh dengan cara-cara yang dipraktikan para sahabat dan al-salafu al-shôlih(ulama shalih terdahulu) yaitu: Beramal secara bertahap, dimulai dari yang ringan, dan memperbaiki persepsi diri bahwa Ramadhan bukan satu-satunya bulan untuk mengoptimalkan amal kebaikan; Ramadhan justru dijadikan sebagai waktu untuk menempa dan mendidik diri supaya tetap sukses beramal di bulan-bulan selanjutnya hingga Ramadhan kembali.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan