Home » » Komparasi Metode Ilmiah Barat dan Ahli Hadits

Komparasi Metode Ilmiah Barat dan Ahli Hadits

Written By Amoe Hirata on Kamis, 24 Juli 2014 | 20.37


            Sudah menjadi hal yang tak asing lagi bila pada abad modern ini, Barat menjadi kiblat peradaban bagi bangsa-bangsa dunia. Kemajuan teknologi yang begitu pesat, membuat negara-negara lain -kalau ingin maju- harus membuka diri untuk menapaktilasi jejak kesuksesan mereka. Mereka maju karena berhasil melepaskan diri dari belenggu kebodohan yang mereka alami ketika pada masa kegelapan (dark age) dan masa pertengahan (middle age) yang mengelamkan mereka. Masa kelam itu terjadi ketika sistem feodalisme dan pemuka agama –yang dalam hal ini para pendeta- memasung kebebasan berfikir, serta menjauhkan ilmu dari agama. Di sana-sini ada dikotomi, yang kelak populer dengan istilah: sekularisme. Singkatnya, melalui ilmu mereka bisa melepaskan dari dari masa kelam menuju renaissance. Perhatian mereka dalam bidang ilmu tentu saja tidak diraih secara instan, ada peran-peran signifikan yang diambil dari peradaban sebelumnya, peradaban Islam. Paling tidak ada tiga pintu yang dikategorikan sebagai sarana masuk atau transformasi peradaban Barat. Pertama: Perang Salib, Kedua: Islam Andalusia, dan yang Ketiga: Sicilia, Italia[1]. Melalui jalur itulah meraka mulai bangkit dan menjadi bangsa maju seperti yang kita lihat sekarang ini.
            Meskipun pada awalnya Barat memulai peradabannya dari pengaruh peradaban Islam, tapi dalam praktiknya ada perbedaan yang sangat mendasar dalam memandang dan mempersepsikan kemajuan. Karena Barat mempunyai latarbelakang yang sangat menyakitkan secara historis berkaitan dengan hubungan antara ilmu dan agama yang sangat buruk akibat peran tuan tanah dan pemuka agama, maka pada perjalanannya Barat memfokuskan kemajuan hanya dalam bidang keilmuan. Latarbelakang sejarah kelam pada masa kegelapan dan pertengahan, membuat mereka anti pada agama. Agama dianggap sebagai penghambat kemajuan. Karena itulah ada pendikotomian serius antara urusan ilmu dan agama. Sehingga peradaban yang mereka bangun yang menjadi kiblat pada era modern ini, adalah peradaban yang dikotomis. Lain halnya dengan Islam. Sejak awal Islam sebagai agama tidak mengenal pendikotomian semacam itu. Islam sejak awal mendorong pemeluknya untuk membaca dan peduli ilmu. Sehingga antara ilmu dan agama berjalan beriringan. Keduanya bisa berjalan harmonis dalam menciptakan peradaban. Dalam kaitanya dengan ‘metode empirisme’(yang ditiru oleh Barat dalam metode ilmiahnya), diinisiasi dan dicetuskan dan dikembangkan oleh ulama muslim. Sebut saja misalkan: Jâbir bin Hayyân, al-Khowârizmi, al-Rôzi, al-Hasan bin Haitsam, Ibnu al-Nafîs dan lain sebagainya[2]. Berangkat dari kenyataan yang berbeda ini, perlu kiranya mengomparasikan peradaban Barat dan Islam khususnya dalam bidang metodologi ilmiah. Supaya pembaca tahu mana yang lebih baik dan komprehensif peradabannya ketika sama-sama pada puncak kegemilangannya.
            ‘Ilmiah’ merupakan kata yang diderivasi dari akar kata bahasa Arab ‘`ilmu’. Dalam bahasa Arab tambahan huruf ‘ya’ menunjukkan ‘nisbah’ yang berarti menghubungkan sesuatu  pada sesuatu tertentu. Sedangkan dalam bahasa Inggris digunakan kata: scientific. Jadi, ilmiah berarti: bersifat atau berdasarkan  ilmu. Masalahnya kemudian ialah dalam sejarah penggunaannya, apakah kata ‘ilmiah’ memiliki kesatuan makna? Apakah metode ilmiah modern sama dengan metode ilmiah yang dipakai oleh ulama ahli hadits? Menurut Ensiklopedi Bebas Wikepedia bahasa Indonesia[3], metode ilmah berarti: “Metode ilmiah atau proses ilmiah (bahasa Inggris: scientific method) merupakan proses keilmuan untuk memperoleh pengetahuan secara sistematis berdasarkan bukti fisis”. Kemudian dijelaskan dengan lebih spesifik gambarannya: “Ilmuwan melakukan pengamatan serta membentuk hipotesis dalam usahanya untuk menjelaskan fenomena alam. Prediksi yang dibuat berdasarkan hipotesis tersebut diuji dengan melakukan eksperimen. Jika suatu hipotesis lolos uji berkali-kali, hipotesis tersebut dapat menjadi suatu teori ilmiah”. Tentu saja pada akhirnya metode ilmiah ini nanti berujung pada pembahasan kebenaran.
            Meskipun ‘metode empiris’ yang dianut oleh Barat digagas oleh ulama Islam, namun pada perjalanannya terdapat perbedaan yang sangat mencolok. Barat mendikotomi antara urusan fisik dan metafisik, sedangkan Islam menggabungkan keduanya. Kaitannya dengan ‘metode ilmiah’ untuk mencapai suatu kebenaran, sebagai definisi yang diambil dari Wikepedia tadi, ialah proses ilmiah untuk memperoleh pengetahuan secara sistematis berdasarkan bukti fisis. Di sini ada kata kunci yang dijadikan acuan dan standar untuk bisa dikatakan sebagai ilmiah dan tidaknya sesuatu, yaitu proses yang sistematis berdasarkan bukti fisik. Kalau pendakatan ini diterapkan dalam Islam maka akan ada banyak sekali perkara yang terkandung dalam agama yang tidak dikatakan sebagai perkara ilmiah, lantaran tidak ada bukti fisiknya. Misalkan Allah, malaikat, surga, neraka dan hal abstrak lainnya yang menjadi bagian dari akidah umat Islam. Dari sini memang kita tidak bisa menerapkan metode ilmiah –dalam pengertian Barat- pada peradaban Islam. Tentu saja karena world view(pandangan hidup) nya berbeda. Tindakan untuk memaksakan metode ilmiah ala Barat pada metode ilmiah Islam adalah tindakan yang tidak ilmiah karena berbeda sejak awalnya.
            Secara singkat bisa dikatakan bahwa pandangan barat mengenai ‘metode ilmiah’ lahir dari pandangan dikotomis dan materialistis. Sesuatu dikatakan ilmiah jika ada buktinya secara fisik. Itu dari segi cara pandangnya. Adapun masalah individu yang membuat, menjalankan metode ilmiah tidak dipersaratkan harus jujur, adil, dan berakhlak mulia, karena semua itu menyangkut masalah pribadi. Tidak melihat pada siapa yang menyampaikan, tapi melihat apa yang dicapai. Harus ilmiah dengan catatan serasional mungkin, ada bukti fisik dan tentu saja ada manfaat sosialnya. Adapun ‘metode ilmiah’ versi Islam, yang dalam ini diwakili oleh metode ilmiah ahli hadits, sesuatu dikatakan ilmiah bukan saja menyangkut dunia fisik tapi juga metafisik. Cara pandangnya dengan metode tauhidi(penyatuan) lawan dari pandangan Barat yang dikotomis. Metode ilmiah dalam Islam selalu mengharmonisasikan antara dunia-akhirat, ilmu dan agama, akal dan hati. Manfaat sosialnya jelas, tapi berorientasi akhirat. Manfaat yang dicapai harus benar-benar dari pertimbangan maslahat yang matang dan proporsional, harus menjaga keselarasan antara manusia, alam dan Tuhan. Yang tak kalah penting juga ialah masalah individu pembuat dan yang menjalankan metode ilmiah harus benar-benar dipertimbangkan. Dalam khasanah ilmu Hadits paling tidak ada beberapa hal yang harus dipenuhi bagi individu, yaitu: adil(berkaitan dengan akhlak mulia), dhôbith(berkaitan dengan kecerdasan dan hafalan), tidak syudud(menyalahi pendapat yang lebih benar), dan tidak illah(seolah-olah benar tapi sebenarnya salah).



[1] . Dr. Rôgib al-Sirjâni, Mâdza Qoddama al-Muslimûna lil al-`Aalâm, Jilid: 2, Hal: 696-703.
[2] . Dr. Rôgib al-Sirjâni, Mâdza Qoddama al-Muslimûna lil al-`Aalâm, Jilid: 1, Hal: 177-172.
[3] . http://id.wikipedia.org/wiki/Metode_ilmiah
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan