Sudah
menjadi hal yang tak asing lagi bila pada abad modern ini, Barat menjadi kiblat
peradaban bagi bangsa-bangsa dunia. Kemajuan teknologi yang begitu pesat,
membuat negara-negara lain -kalau ingin maju- harus membuka diri untuk
menapaktilasi jejak kesuksesan mereka. Mereka maju karena berhasil melepaskan
diri dari belenggu kebodohan yang mereka alami ketika pada masa kegelapan (dark
age) dan masa pertengahan (middle age) yang mengelamkan mereka. Masa
kelam itu terjadi ketika sistem feodalisme dan pemuka agama –yang dalam hal ini
para pendeta- memasung kebebasan berfikir, serta menjauhkan ilmu dari agama. Di
sana-sini ada dikotomi, yang kelak populer dengan istilah: sekularisme. Singkatnya,
melalui ilmu mereka bisa melepaskan dari dari masa kelam menuju renaissance.
Perhatian mereka dalam bidang ilmu tentu saja tidak diraih secara instan, ada
peran-peran signifikan yang diambil dari peradaban sebelumnya, peradaban Islam.
Paling tidak ada tiga pintu yang dikategorikan sebagai sarana masuk atau
transformasi peradaban Barat. Pertama: Perang Salib, Kedua: Islam Andalusia,
dan yang Ketiga: Sicilia, Italia[1].
Melalui jalur itulah meraka mulai bangkit dan menjadi bangsa maju seperti yang
kita lihat sekarang ini.
Meskipun
pada awalnya Barat memulai peradabannya dari pengaruh peradaban Islam, tapi
dalam praktiknya ada perbedaan yang sangat mendasar dalam memandang dan mempersepsikan
kemajuan. Karena Barat mempunyai latarbelakang yang sangat menyakitkan secara
historis berkaitan dengan hubungan antara ilmu dan agama yang sangat buruk
akibat peran tuan tanah dan pemuka agama, maka pada perjalanannya Barat
memfokuskan kemajuan hanya dalam bidang keilmuan. Latarbelakang sejarah kelam
pada masa kegelapan dan pertengahan, membuat mereka anti pada agama. Agama
dianggap sebagai penghambat kemajuan. Karena itulah ada pendikotomian serius antara
urusan ilmu dan agama. Sehingga peradaban yang mereka bangun yang menjadi
kiblat pada era modern ini, adalah peradaban yang dikotomis. Lain halnya dengan
Islam. Sejak awal Islam sebagai agama tidak mengenal pendikotomian semacam itu.
Islam sejak awal mendorong pemeluknya untuk membaca dan peduli ilmu. Sehingga
antara ilmu dan agama berjalan beriringan. Keduanya bisa berjalan harmonis
dalam menciptakan peradaban. Dalam kaitanya dengan ‘metode empirisme’(yang
ditiru oleh Barat dalam metode ilmiahnya), diinisiasi dan dicetuskan dan
dikembangkan oleh ulama muslim. Sebut saja misalkan: Jâbir bin Hayyân, al-Khowârizmi,
al-Rôzi, al-Hasan bin Haitsam, Ibnu al-Nafîs dan lain sebagainya[2]. Berangkat
dari kenyataan yang berbeda ini, perlu kiranya mengomparasikan peradaban Barat
dan Islam khususnya dalam bidang metodologi ilmiah. Supaya pembaca tahu mana
yang lebih baik dan komprehensif peradabannya ketika sama-sama pada puncak
kegemilangannya.
‘Ilmiah’
merupakan kata yang diderivasi dari akar kata bahasa Arab ‘`ilmu’. Dalam
bahasa Arab tambahan huruf ‘ya’ menunjukkan ‘nisbah’ yang berarti
menghubungkan sesuatu pada sesuatu
tertentu. Sedangkan dalam bahasa Inggris digunakan kata: scientific. Jadi,
ilmiah berarti: bersifat atau berdasarkan ilmu. Masalahnya kemudian ialah dalam sejarah
penggunaannya, apakah kata ‘ilmiah’ memiliki kesatuan makna? Apakah metode
ilmiah modern sama dengan metode ilmiah yang dipakai oleh ulama ahli hadits?
Menurut Ensiklopedi Bebas Wikepedia bahasa Indonesia[3],
metode ilmah berarti: “Metode ilmiah atau proses ilmiah (bahasa Inggris: scientific
method) merupakan proses keilmuan untuk memperoleh pengetahuan secara
sistematis berdasarkan bukti fisis”. Kemudian dijelaskan dengan lebih spesifik
gambarannya: “Ilmuwan melakukan pengamatan serta membentuk hipotesis dalam
usahanya untuk menjelaskan fenomena alam. Prediksi yang dibuat berdasarkan
hipotesis tersebut diuji dengan melakukan eksperimen. Jika suatu hipotesis
lolos uji berkali-kali, hipotesis tersebut dapat menjadi suatu teori ilmiah”.
Tentu saja pada akhirnya metode ilmiah ini nanti berujung pada pembahasan
kebenaran.
Meskipun
‘metode empiris’ yang dianut oleh Barat digagas oleh ulama Islam, namun pada
perjalanannya terdapat perbedaan yang sangat mencolok. Barat mendikotomi antara
urusan fisik dan metafisik, sedangkan Islam menggabungkan keduanya. Kaitannya
dengan ‘metode ilmiah’ untuk mencapai suatu kebenaran, sebagai definisi yang
diambil dari Wikepedia tadi, ialah proses ilmiah untuk memperoleh pengetahuan
secara sistematis berdasarkan bukti fisis. Di sini ada kata kunci yang
dijadikan acuan dan standar untuk bisa dikatakan sebagai ilmiah dan tidaknya
sesuatu, yaitu proses yang sistematis berdasarkan bukti fisik. Kalau pendakatan
ini diterapkan dalam Islam maka akan ada banyak sekali perkara yang terkandung
dalam agama yang tidak dikatakan sebagai perkara ilmiah, lantaran tidak ada
bukti fisiknya. Misalkan Allah, malaikat, surga, neraka dan hal abstrak lainnya
yang menjadi bagian dari akidah umat Islam. Dari sini memang kita tidak bisa
menerapkan metode ilmiah –dalam pengertian Barat- pada peradaban Islam. Tentu
saja karena world view(pandangan hidup) nya berbeda. Tindakan untuk
memaksakan metode ilmiah ala Barat pada metode ilmiah Islam adalah tindakan
yang tidak ilmiah karena berbeda sejak awalnya.
Secara
singkat bisa dikatakan bahwa pandangan barat mengenai ‘metode ilmiah’ lahir
dari pandangan dikotomis dan materialistis. Sesuatu dikatakan ilmiah jika ada
buktinya secara fisik. Itu dari segi cara pandangnya. Adapun masalah individu
yang membuat, menjalankan metode ilmiah tidak dipersaratkan harus jujur, adil,
dan berakhlak mulia, karena semua itu menyangkut masalah pribadi. Tidak melihat
pada siapa yang menyampaikan, tapi melihat apa yang dicapai. Harus ilmiah
dengan catatan serasional mungkin, ada bukti fisik dan tentu saja ada manfaat
sosialnya. Adapun ‘metode ilmiah’ versi Islam, yang dalam ini diwakili oleh
metode ilmiah ahli hadits, sesuatu dikatakan ilmiah bukan saja menyangkut dunia
fisik tapi juga metafisik. Cara pandangnya dengan metode tauhidi(penyatuan)
lawan dari pandangan Barat yang dikotomis. Metode ilmiah dalam Islam selalu
mengharmonisasikan antara dunia-akhirat, ilmu dan agama, akal dan hati. Manfaat
sosialnya jelas, tapi berorientasi akhirat. Manfaat yang dicapai harus
benar-benar dari pertimbangan maslahat yang matang dan proporsional, harus
menjaga keselarasan antara manusia, alam dan Tuhan. Yang tak kalah penting juga
ialah masalah individu pembuat dan yang menjalankan metode ilmiah harus
benar-benar dipertimbangkan. Dalam khasanah ilmu Hadits paling tidak ada
beberapa hal yang harus dipenuhi bagi individu, yaitu: adil(berkaitan dengan
akhlak mulia), dhôbith(berkaitan dengan kecerdasan dan hafalan), tidak syudud(menyalahi
pendapat yang lebih benar), dan tidak illah(seolah-olah benar tapi
sebenarnya salah).
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !