Home » » Galau Ditinggal Ramadhan

Galau Ditinggal Ramadhan

Written By Amoe Hirata on Rabu, 23 Juli 2014 | 05.24

            Bulan ampunan kembali tiba menyapa; bulan rahmat kembali hadir menghampiri; bulan kemenangan kembali datang membentang. Setiap mukmin sejati pasti merindukan kedatangannya. Bagaimana tidak, bulan yang secara khusus dipilih oleh Allah sebagai bulan terbaik yang di dalamnya ada satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan(Qs. Al-Qodar: 3); bulan yang di dalamnya setiap ganjaran dilipatgandakan sedemikian rupa melebihi bulan pada umumnya(Hr. Ibnu Majah); bulan yang di dalamnya dibuka pintu surga dan ditutup pintu neraka; bulan yang di didalamnya para setan dibelenggu(Hr. Bukhari, Muslim). Ramadhan seolah menjadi magnet yang mampu menarik hati orang mukmin untuk selalu menyambut kedatangannya; Ramadhan seakan menyimpan ‘aroma harum kerinduan’ yang membuat setiap orang beriman kangen akan wanginya. Karena itulah, tidak mengherankan -pada umumnya pada masyarakat kita- jika Ramadhan datang, masjid yang sebelumnya hanya berisi satu saf, tiba-tiba menjadi penuh; orang yang biasanya jarang berinfak tiba-tiba berinfak; orang yang biasanya jarang mengaji, tiba-tiba ramai-ramai mengkhatamkan al-Qur`an; orang yang biasanya tak pernah shalat malam, tiba-tiba mengikuti shalat Tarawih.
Semaraknya ibadah di bulan Ramadhan yang biasa dijumpai pada masyakat umum patut disyukuri. Sebagai muslim sejati, jika ada perkembangan yang besar dalam hal kebaikan, pasti rasa syukur akan terus bertaburan memenuhi hati, lisan dan tingkah-laku. Hanya saja, kebaikan secara masal yang kerap terjadi di bulan Ramadhan, perlu diimbangi dengan evaluasi yang berkesinambungan. Kita harus senantiasa bertanya: apakah ibadah yang dilakukan selama Ramadhan sudah memenuhi unsur ikhlas dan dawam(berkesinambungan)? Bukankah ada banyak ayat al-Qur`an dan hadits Nabi shallallâhu `alaihi wasallam yang menyuruh kita untuk ikhlas dalam beribadah? Keikhlasan sejati membuat orang beribadah murni hanya untuk Allah tanpa melihat waktu dan tempat serta tak latah dengan kebanyakan orang. Bukankah Nabi mengingatkan: amal yang paling dicintai oleh Allah ialah yang paling dawam(kontinu) meski sedikit(Hr. Bukhari, Muslim)? Dari sini kita bisa mengukur baik tidaknya ibadah Ramadhan kita justru ketika sudah selesai Ramadhan. Kalau amalan itu benar-benar tumbuh dari hati yang ikhlas, pasti amalan itu akan terus berlanjut hingga di bulan-bulan lain. Lembaran emas sejarah para ulama salaf(terdahulu) serta sahabat Nabi shallallâhu `alaihi wasallam setidaknya bisa menjadi cermin untuk refleksi dan evaluasi amalan kita baik di dalam atau di luar Ramadhan.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Para salaf sudah siap –menyambut Ramadhan sedemikian rupa dengan berbagai macam bentuk ketaatan- enam bulan sebelum kedatangannya. Sedangkan enam bulan pasca Ramadhan mereka gunakan untuk memohon -berdoa dan beramal- pada Allah agar seluruh amalan di bulan Ramadhan diterima oleh-Nya”. Umar bin Abdul Aziz Sang Khalifah kenamaan dinasti Umawi suatu saat berpidato di hadapan rakyatnya sehabis shalat `Idul Fithri: “Wahai manusia! Kalian telah berpuasa selama 30 hari, dan telah shalat malam selama 30 hari. Sekarang (tiba saatnya) kalian keluar dari bulan Ramadhan untuk memohon pada Allah agar semuanya diterima”. Ada sebagian salaf bertanya pada sahabatnya seusai bulan Ramadhan: “Siapakah mahrum (orang yang rugi/diharamkan mendapatkan sesuatu) pada bulan ini? Orang mahrum (rugi) pada bulan ini ialah yang benar-benar tidak mendapat kebaikan, serta tak bisa melakukan ketaatan secara berkesinambungan”. Bisyr Al-Hâfi ketika dimintai pendapat tentang orang yang beribadah dan bersungguh-sungguh hanya di bulan Ramadhan, ia berkata: “Sejelek-jelek kaum ialah mereka yang kenal Allah hanya di bulan Ramadhan, sedangkan kaum yang baik ialah yang beribadah dan bersungguh-sungguh sepanjang tahun”.
Para sahabat mengerti betul bahwa ibadah dalam bulan Ramadhan dimaksudkan untuk melatih diri agar bertakwa, sedangkan takwa adalah sebaik-baik bekal yang harus terus diupayakan oleh orang beriman baik dalam bulan Ramadhan maupun bulan-bulan lainnya. Pantaslah jika ketika `Idul Fitri tiba, diantara mereka terlihat sedih dan galau. Abdul Aziz bin Rowwâd berkata: “Aku dapati mereka –para sahabat- bersunguh-sungguh dalam melakukan amal shalih (di bulan Ramadhan), setelah mereka melakukannya, mereka segara sedih dan khawatir amal mereka tidak diterima”. Ali bin Abi Tahalib R.a ketika di akhir bulan Ramadhan berkata: Oh, siapa kiranya yang amalnya diterima, lalu kita beri ucapan selamat, dan siapa kiranya yang amalannya ditolak, lalu kita berduka cita. Para sahabat paham betul bahwa Ramadhan merupakan momen tepat untuk beramal dan berkarya untuk ditularkan pada bulan-bulan selanjutnya. Maka tak berlebihan jika ada riwayat yang menyatakan: Sekiranya para hamba Allah mengetahui (apa yang terkandung) pada Ramadhan, maka pasti setiap umat akan mengharap setiap hari dijadikan sebagai Ramadhan(R. Abu Ya`la, Ibnu Huzaimah). Sekarang sejenak kita bertanya: setelah Ramadhan kita merasa galau lalu  beramal lebih baik, atau merasa gembira karena Ramadhan telah pergi lalu kembali seperti sedia kala?
Share this article :

2 komentar:

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan