Bulan ampunan kembali tiba menyapa;
bulan rahmat kembali hadir menghampiri; bulan kemenangan kembali datang
membentang. Setiap mukmin sejati pasti merindukan kedatangannya. Bagaimana
tidak, bulan yang secara khusus dipilih oleh Allah sebagai bulan terbaik yang
di dalamnya ada satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan(Qs.
Al-Qodar: 3); bulan yang di dalamnya setiap ganjaran dilipatgandakan sedemikian
rupa melebihi bulan pada umumnya(Hr. Ibnu Majah); bulan yang di dalamnya dibuka
pintu surga dan ditutup pintu neraka; bulan yang di didalamnya para setan
dibelenggu(Hr. Bukhari, Muslim). Ramadhan seolah menjadi magnet yang mampu
menarik hati orang mukmin untuk selalu menyambut kedatangannya; Ramadhan seakan
menyimpan ‘aroma harum kerinduan’ yang membuat setiap orang beriman kangen akan
wanginya. Karena itulah, tidak mengherankan -pada umumnya pada masyarakat kita-
jika Ramadhan datang, masjid yang sebelumnya hanya berisi satu saf, tiba-tiba
menjadi penuh; orang yang biasanya jarang berinfak tiba-tiba berinfak; orang
yang biasanya jarang mengaji, tiba-tiba ramai-ramai mengkhatamkan al-Qur`an;
orang yang biasanya tak pernah shalat malam, tiba-tiba mengikuti shalat
Tarawih.
Semaraknya ibadah di bulan Ramadhan yang biasa dijumpai pada masyakat
umum patut disyukuri. Sebagai muslim sejati, jika ada perkembangan yang besar
dalam hal kebaikan, pasti rasa syukur akan terus bertaburan memenuhi hati,
lisan dan tingkah-laku. Hanya saja, kebaikan secara masal yang kerap terjadi di
bulan Ramadhan, perlu diimbangi dengan evaluasi yang berkesinambungan. Kita
harus senantiasa bertanya: apakah ibadah yang dilakukan selama Ramadhan sudah
memenuhi unsur ikhlas dan dawam(berkesinambungan)? Bukankah ada banyak ayat
al-Qur`an dan hadits Nabi shallallâhu `alaihi wasallam yang menyuruh
kita untuk ikhlas dalam beribadah? Keikhlasan sejati membuat orang beribadah
murni hanya untuk Allah tanpa melihat waktu dan tempat serta tak latah dengan
kebanyakan orang. Bukankah Nabi mengingatkan: amal yang paling dicintai oleh
Allah ialah yang paling dawam(kontinu) meski sedikit(Hr. Bukhari, Muslim)?
Dari sini kita bisa mengukur baik tidaknya ibadah Ramadhan kita justru ketika
sudah selesai Ramadhan. Kalau amalan itu benar-benar tumbuh dari hati yang
ikhlas, pasti amalan itu akan terus berlanjut hingga di bulan-bulan lain. Lembaran
emas sejarah para ulama salaf(terdahulu) serta sahabat Nabi shallallâhu
`alaihi wasallam setidaknya bisa menjadi cermin untuk refleksi dan evaluasi
amalan kita baik di dalam atau di luar Ramadhan.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Para salaf sudah siap –menyambut
Ramadhan sedemikian rupa dengan berbagai macam bentuk ketaatan- enam bulan
sebelum kedatangannya. Sedangkan enam bulan pasca Ramadhan mereka gunakan untuk
memohon -berdoa dan beramal- pada Allah agar seluruh amalan di bulan Ramadhan
diterima oleh-Nya”. Umar bin Abdul Aziz Sang Khalifah kenamaan dinasti Umawi
suatu saat berpidato di hadapan rakyatnya sehabis shalat `Idul Fithri: “Wahai
manusia! Kalian telah berpuasa selama 30 hari, dan telah shalat malam selama 30
hari. Sekarang (tiba saatnya) kalian keluar dari bulan Ramadhan untuk memohon
pada Allah agar semuanya diterima”. Ada sebagian salaf bertanya pada
sahabatnya seusai bulan Ramadhan: “Siapakah mahrum (orang yang rugi/diharamkan
mendapatkan sesuatu) pada bulan ini? Orang mahrum (rugi) pada bulan ini
ialah yang benar-benar tidak mendapat kebaikan, serta tak bisa melakukan
ketaatan secara berkesinambungan”. Bisyr Al-Hâfi ketika dimintai pendapat
tentang orang yang beribadah dan bersungguh-sungguh hanya di bulan Ramadhan, ia
berkata: “Sejelek-jelek kaum ialah mereka yang kenal Allah hanya di bulan
Ramadhan, sedangkan kaum yang baik ialah yang beribadah dan bersungguh-sungguh
sepanjang tahun”.
Para sahabat mengerti betul bahwa ibadah dalam bulan Ramadhan dimaksudkan
untuk melatih diri agar bertakwa, sedangkan takwa adalah sebaik-baik bekal yang
harus terus diupayakan oleh orang beriman baik dalam bulan Ramadhan maupun
bulan-bulan lainnya. Pantaslah jika ketika `Idul Fitri tiba, diantara mereka
terlihat sedih dan galau. Abdul Aziz bin Rowwâd berkata: “Aku dapati mereka
–para sahabat- bersunguh-sungguh dalam melakukan amal shalih (di bulan
Ramadhan), setelah mereka melakukannya, mereka segara sedih dan khawatir amal
mereka tidak diterima”. Ali bin Abi Tahalib R.a ketika di akhir bulan Ramadhan
berkata: Oh, siapa kiranya yang amalnya diterima, lalu kita beri ucapan
selamat, dan siapa kiranya yang amalannya ditolak, lalu kita berduka cita. Para
sahabat paham betul bahwa Ramadhan merupakan momen tepat untuk beramal dan
berkarya untuk ditularkan pada bulan-bulan selanjutnya. Maka tak berlebihan
jika ada riwayat yang menyatakan: Sekiranya para hamba Allah mengetahui (apa
yang terkandung) pada Ramadhan, maka pasti setiap umat akan mengharap setiap
hari dijadikan sebagai Ramadhan(R. Abu Ya`la, Ibnu Huzaimah). Sekarang
sejenak kita bertanya: setelah Ramadhan kita merasa galau lalu beramal lebih baik, atau merasa gembira karena
Ramadhan telah pergi lalu kembali seperti sedia kala?
Subhanallah.... perfect. (Y) ^_^
BalasHapussyukran atas atensinya Prof. Irwan
BalasHapus