Ketika wahyu sempat terputus,
Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam diterpa kesediahan yang sangat serius.
Tak tahu lagi kepada siapa -selain Allah-, ia harus merintih. Ia khawatir Allah
subhânahu wata`ala mencapakkannya setelah memberi hidayah dan wahyu yang
tak pernah terkira sebelumnya. Beliau merasa sedih dan bimbang. Siapa yang tak
sedih, jika tiba-tiba ditinggal oleh yang terkasih; siapa yang tak merana, jika
tiba-tiba ditinggal oleh yang tercinta. Tak hanya itu, istri dari Abu Lahab,
tak segan-segan mengejek beliau dengan umpatan yang membuat hati semakin perih.
Ia berkata, ‘Muhammad telah ditinggal setannya’. Orang musyrik yang lain
berkata, ‘Tuhannya
(Muhammad) telah meninggalkannya dan benci kepada-Nya’. Ketika kesedihan
sudah begitu memuncak, turunlah satu surat sebagai penawar hatinya yang sedang
dirundung gulana. Surat Ad-Dhuha turun sebagai jawaban sekaligus hiburan untuk
Nabi Muhammad shallallâhu `alaihi wasallam.
Setelah surat Ad-Dhuha turun, Nabi
Muhammad semakin yakin bahwa Allah akan selalu perhatian padanya. Namun, yang
perlu diangkat pada tulisan ini, – tanpa mengurangi pentingnya ayat-ayat lain
yang ada dalam surah Ad-Dhuha- ialah beberapa ayat dalam surat Ad-Dhuha yang
secara khusus mengungkap tentang masalah yatim. Pada ayat keenam dari surah
Ad-Dhuha, Rasulullah diingatkan dengan peristiwa sejarah. Dalam ayat keenam
Allah berfirman, ‘bukankah
Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?’. Pada ayat ini, Allah
menyegarkan kembali ingatan beliau bahwa dahulu sebelum diangakat menjadi Nabi,
Muhammad adalah seorang anak yatim – yang ditinggal ayahnya mati sejak berada
dalam kandungan-, lalu Allah melindungi dan mengayominya dengan cara yang Dia
kehendaki. Secara tersirat sebenarnya kandungan Surah Ad-Dhuha ayat enam ialah
bukan sekadar sebagai hiburan bagi Muhammad yang sedang diterpa kesedihan. Pada
waktu yang sama, tersirat pelajaran penting bagi umat Islam agar meneladani apa
yang dicontohkan Allah pada Muhammad. Artinya: ‘setiap kali kita menjumpai atau
menemukan anak yatim, maka kita harus segera menolong, mengayomi, melindungi,
dan mengasuhnya’.
Kata ‘fa âwa’
dalam ayat keenam menunjukkan respon Allah yang sangat cepat untuk memberikan
perlindungan. Dalam kaidah bahasa Arab kata ‘fa’ adalah termasuk huruf `athaf’
(kata penghubung) yang berfungsi sebagai: li al-tartib ma`a al-ta`qîb (kata
penghubung yang menunjukkan urutan sesuatu dengan sesuatu yang lain tanpa jeda, artinya berhubung secara
langsung). Secara sederhana, ketika Allah menjumpai Muhammad dalam kondisi
yatim, Ia langsung merespon dengan cepat untuk segera melindunginya. Sedangkan
kata ‘âwa’ dalam bahasa Arab berarti memberikan tempat perlindungan yang
layak. Makanya dalam al-Qur`an salah satu nama surga ialah, ‘jannatu al-ma`wa’(tempat
tinggal yang layak diberikan kepada mereka yang beriman dan beramal shalih).
Dengan demikian, `bahasa keimanan` tak membuat orang-orang mukmin khawatir dan
takut ketika mengasuh anak yatim. Dengan mengayomi dan melindungi anak yatim,
sebenarnya Allah akan segera merespon amal kita dengan perlindungan dan
ganjaran yang tak terkira.
Pada ayat kesembilan dikatakan, ‘sebab itu, terhadap
anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang’. Kalau pada ayat keenam Allah
sudah melindungi, mengayomi dan menjaga Nabi Muhammad sedemikian rupa sewaktu
masih yatim, maka selain mengayomi dan mengasuh anak yatim ada larangan dari
Allah yang tak boleh dilakukan, yaitu: melakukan tindakan sewenang-wenang
terhadap anak yatim. Dalam bahasa Arab, kata ‘taqhar’ berasal dari kata
‘qahru’ yang artinya memaksa, mengalahkan dan melakukan kekerasan.
Cobaan yang akan dialami oleh setiap pengasuh anak yatim begitu besar, namun
secara tersirat Allah mengingatkan jangan sampai ujian-ujian yang menimpa
selama mengasuh anak yatim, menjadi pembenaran untuk berlaku semena-mena,
kasar, dan memaksa terhadap anak yatim. Besarnya
pahala berbanding lurus dengan besarnya beban yang diemban. Karena sangat berat
dalam mengasuh anak yatim, maka ganjarannya tak tanggung-tanggung, yaitu akan
hidup bersanding Rasulullah di surga.
Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam berada di garda terdepan
dalam memberi teladan orang untuk mengayomi anak yatim. Hubungan beliau dengan
anak yatim begitu intim. Dalam lembaran emas sejarah beliau, perhatian terhadap
anak yatim begitu diutamakan. Maka tak heran jika para sahabat beliau pun
meneladani dengan sebaik-baiknya. Abdullah bin Umar dalam suatu riwayat diceritakan
bahwa: ia tidak makan jika tidak bersama anak yatim. Bayangkan!, betapa
intimnya hubungan ibnu Umar dengan anak-anak yatim! Membina hubungan intim
dengan anak yatim sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah memang tidak gampang,
namun bagi siapa saja yang mampu mengamalkannya, pasti akan mendapatkan sesuatu
yang tak pernah terbayang dari Allah ta`ala . Indikasi keintiman dengan
anak yatim dalam surat Ad-Dhuha ada dua: Pertama: Segera merespon dengan cepat
untuk memberi perlindungan jika berjumpa anak yatim. Kedua: Ketika mengasuh
tidak melakukan tindakan sewenang-wenang. Pertanyaannya sekarang: sudahkah kita
memiliki hubungan yang intim dengan anak yatim?
Sumengko, 13 Juni 2014/09:11
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !