Home » » Keadilan Hukum Islam

Keadilan Hukum Islam

Written By Amoe Hirata on Selasa, 05 Januari 2016 | 15.30

Suatu ketika –di zaman kekhilafaan Umar bin Khattab- ada beberapa budak milik Hāthib bin Abi Balta`ah Ra. mencuri seekor unta kepunyaan bani Muzainah. Mereka tidak jadi dikenakan sanksi mencuri lantaran kelaparan. Bahkan Umar menyuruh Hāthib mengganti harga ontanya kepada pemiliknya yang berasal dari bani Muzainah. Di akhir pembicaraan, Khalifah Umar berkomentar: “Demi Allah sekiranya aku tidak tahu bahwa kalian mempekerjakan mereka dan membuat mereka lapar, maka pasti aku potong tangan mereka.”(baca: I`lām al-Muwaqqi`īn `an Rabbi al-`Ālamīn, 3/17).
Beliau tahu betul bahwa pencurian yang sudah mencapai had-nya(seperempat dinar: ahīh Fiqhi al-Sunnah, 4/95) harus dipotong tangannya(sebagaimana Qs. Al-Maidah: 38); ia pun tahu bahwa hukum harus ditegakkan secara adil(sebagaimana Qs. Al-Maidah: 8), tanpa pandang bulu. Namun untuk menetapkannya, tidak boleh serampangan. Harus berdasarkan penelitian. Dalam Fiqih ada dua ketentuan untuk menetapkan pencuri: Pertama, adanya dua orang saksi. Kedua, pengakuan langsung dari pencuri(ahīh Fiqhi al-Sunnah, 4/95). Namun, ketika Khalifah Umar mengetahui pencurian dilakukan karena adanya faktor kelaparan, maka had tidak jadi diberlakukan.
            Dari pengalaman sejarah ini, paling tidak kita bisa mengambil beberapa pelajaran penting terkait keadilan hukum Islam. Pertama, hukum dalam Islam (dalam kasus ini adalah pencurian) sangat tegas dan tidak pandang bulu. Kedua, pemberlakuan hukum bisa ditetapkan berdasarkan kesaksian dua orang yang melihat dan pengakuan langsung dari pencuri. Ketiga, didasarkan pada penelitian yang detil dan komprehensif sehingga tidak mengalami kesalahan fatal. Keempat, ukuran pencurian yang teranggap ialah seperempat dinar. Kelima, hukum tidak bisa diceraikan dari keadilan, akhlak. Ketika hakim mengetahui bahwa ada pencuri yang terpaksa –berdasarkan penelitian-, maka dengan basis rahmat, ia bisa membebaskan pencuri tersebut.Jika kelima poin tersebut telah terpenuhi, maka hukum harus ditegakkan. Bila tidak, maka penegakan hukum menjadi timpang, keadilan pun terbuang.

Sebagai penutup, ada baiknya kita membuka lembaran emas sejarah. Ketika ada seorang wanita dari klan Makhzumiyah mencuri, pembesar Qurays berusaha meminta amnesti dengan cara meminta Zaid bin Haritsah untuk membujuk Rasulullah. Rasul pun dengan tegas menolak, kemudian berpidato di atas mimbar: “ Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian ialah jika yang mencuri orang mulia mereka mengabaikannya, sedangkan jika yang mencuri orang lemah, mereka tegakkan hukum. Demi Allah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti aku sendiri yang memotong tangannya.’(Hr. Bukhari dan Muslim).
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan