Suatu ketika –di zaman kekhilafaan Umar bin
Khattab- ada beberapa budak milik Hāthib bin Abi Balta`ah Ra. mencuri seekor unta kepunyaan bani Muzainah.
Mereka tidak jadi dikenakan sanksi mencuri lantaran kelaparan. Bahkan Umar
menyuruh Hāthib
mengganti harga ontanya kepada pemiliknya yang berasal dari bani Muzainah. Di
akhir pembicaraan, Khalifah Umar berkomentar: “Demi Allah sekiranya aku tidak
tahu bahwa kalian mempekerjakan mereka dan membuat mereka lapar, maka pasti aku
potong tangan mereka.”(baca: I`lām al-Muwaqqi`īn `an Rabbi al-`Ālamīn, 3/17).
Beliau tahu betul bahwa pencurian yang sudah
mencapai had-nya(seperempat dinar: Ṣahīh Fiqhi al-Sunnah, 4/95) harus dipotong tangannya(sebagaimana
Qs. Al-Maidah: 38); ia pun tahu bahwa hukum harus ditegakkan secara
adil(sebagaimana Qs. Al-Maidah: 8), tanpa pandang bulu. Namun untuk menetapkannya,
tidak boleh serampangan. Harus berdasarkan penelitian. Dalam Fiqih ada dua
ketentuan untuk menetapkan pencuri: Pertama, adanya dua orang saksi. Kedua,
pengakuan langsung dari pencuri(Ṣahīh Fiqhi al-Sunnah, 4/95). Namun, ketika Khalifah Umar mengetahui
pencurian dilakukan karena adanya faktor kelaparan, maka had tidak jadi
diberlakukan.
Dari pengalaman sejarah
ini, paling tidak kita bisa mengambil beberapa pelajaran penting terkait
keadilan hukum Islam. Pertama, hukum dalam Islam (dalam kasus ini adalah
pencurian) sangat tegas dan tidak pandang bulu. Kedua, pemberlakuan
hukum bisa ditetapkan berdasarkan kesaksian dua orang yang melihat dan
pengakuan langsung dari pencuri. Ketiga, didasarkan pada penelitian yang
detil dan komprehensif sehingga tidak mengalami kesalahan fatal. Keempat, ukuran
pencurian yang teranggap ialah seperempat dinar. Kelima, hukum tidak
bisa diceraikan dari keadilan, akhlak. Ketika hakim mengetahui bahwa ada pencuri
yang terpaksa –berdasarkan penelitian-, maka dengan basis rahmat, ia bisa
membebaskan pencuri tersebut.Jika kelima poin tersebut telah terpenuhi, maka
hukum harus ditegakkan. Bila tidak, maka penegakan hukum menjadi timpang,
keadilan pun terbuang.
Sebagai penutup, ada baiknya kita membuka lembaran
emas sejarah. Ketika ada seorang wanita dari klan Makhzumiyah mencuri, pembesar
Qurays berusaha meminta amnesti dengan cara meminta Zaid bin Haritsah untuk
membujuk Rasulullah. Rasul pun dengan tegas menolak, kemudian berpidato di atas
mimbar: “ Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian ialah
jika yang mencuri orang mulia mereka mengabaikannya, sedangkan jika yang
mencuri orang lemah, mereka tegakkan hukum. Demi Allah, jika Fatimah binti
Muhammad mencuri, pasti aku sendiri yang memotong tangannya.’(Hr. Bukhari
dan Muslim).
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !