SUATU ketika Nabi Muhammad shallallahu
`alaihi wasallam didatangi oleh seorang bocah. Anak kecil itu berkata,
“Ibuku memintamu demikian…demikian…(menyebutkan beberapa permintaan)”. Beliau
menjawab, “Hari ini aku tidak punya apa-apa.”
Rupanya jawaban
nabi belum membuatnya puas. Ia pun berujar, “Ibuku berkata engkau disuruh
menanggalkan bajumu, kemudian dipakaikan padaku.” Seketika Rasul pun mencopot
baju dan langsung memberikan padanya. Akhirnya Rasulullah shallallahu
`alaihi wasallam duduk di rumah dalam kondisi “menyesal” tak
berbaju(Suyuthi, Lubābu al-Nuqūl, 1/122).
Dalam kondisi
seperti itu, turunlah ayat, “Dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal”(Qs.
Al-Isra: 29).
Kisah ini memberikan
pembelajaran luar biasa. Menjalani hidup –betapapun baiknya yang kita lakukan-
harus sakmadya(red. Jawa). Al-Qur`an membahasakannya dengan istilah: Qowāma(Qs. Al-Furqan: 67 sebagai gambaran tidak kikir dan
berlebihan dalam berinfaq), `awānun baina dzālik(Qs. Al-Baqarah: 68 sebuah
gambaran Allah pada Bani isral mengenai penyembilahan sapi yang tidak kecil dan
tidak besar tapi tengah-tengahnya), dan Wasath(Qs. Al-Baqarah:
143 umat Islam secara khusus dijadikan umat PERTENGAHAN yang menjadi saksi di
akhirat bagi umat agama lain).
Sebagai
contoh juga, Al-Qur`an menyuruh agar seimbang dalam masalah benci dan cinta.
Boleh jadi apa yang dibenci, baik bagi kita. Pun sebaliknya, boleh jadi yang
dicintai, buruk bagi kita. Maka membenci dan mencintai tidak boleh
berlebihan(lihat: Al-Baqarah, 216).
Siapa
saja yang berusaha melawan ajaran sakmadya –sebagaimana yang dicontohkan nabi-,
maka akan mengalami kesusahan dalam menjalani kehidupannya. Orang semacam ini
sama saja dengan menantang sunnatullah.
Teguran
yang ‘seolah’ ditujukan pada Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam
sejatinya adalah pelajaran universal bagi umat.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !