Tujuan penciptaan manusia –sebagaimana yang termaktub
pada surat Adz-Dzâriyât: 56- adalah untuk mengabdi(beribadah) kepada Allah ta`ala.
Ibadah yang dijalankan manusia –baik yang bersifat umum maupun khusus- selalu
beriring setimulus pahala atau ganjaran. Dalam al-Qur`an dan al-Hadits begitu
banyak amalan-amalan ibadah yang diberitahu langsung ganjarannya seperti apa.
Masalahnya kemudian ialah dalam perjalanan menjalankan ibadah yang dipenuhi
dengan aneka macam pahala, kadang-kadang –kalau tidak boleh dikatakan kebanyakan-
orang salah dalam memposisikan pahala. Kalau dari segi diterima tidaknya ibadah
(yaitu harus ikhlas dan sesuai dengan syari`at), maka posisi pahala sangat
jelas. Pahala hanyalah semacam sarana yang bisa membuat orang terdorong untuk
beramal, tapi sekali lagi ia bukanlah tujuan dari ibadah. Tujuan ibadah ialah
hanya mengharap ridha Allah ta`ala. Meski demikian, masih banyak
didapati orang yang fokusnya pada pahala melebihi fokusnya pada Allah ta`ala.
Konsekuensi logisnya seolah-olah pahala dikapitalisasikan; pahala sebagai
keuntungan transaksi ibadah. Ibadah tak lagi dilatari keikhlasan. Ibadah
dilihat dari sisi banyak tidaknya keuntungan yang diraih. Orientasi yang
seharusnya hanya pada Allah ta`ala –secara tak sadar- tergantikan dengan
pahala-pahala yang menggiurkan.
Supaya
kita tak salah kaprah dalam memahami pahala, ada baiknya kita membaca hadits
berikut:
عَن أبي أُمَامَة قَالَ : جَاءَ رجل إِلَى
رَسُول الله - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَقَالَ : أَرَأَيْت رَجُلاً غَزَا
يلْتَمس الْأجر وَالذكر ، مَا لَهُ ؟ فَقَالَ رَسُول الله - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - : " لَا شَيْء لَهُ " فَأَعَادَهَا عَلَيْهِ ثَلَاث مَرَّات
، يَقُول لَهُ رَسُول الله - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - : " لَا شَيْء
لَهُ " .ثمَّ
قَالَ : " إِن الله عز وَجل لَا يقبل من الْعَمَل إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصا
، وابتغى بِهِ وَجهه.(رواه النسائي).
Bersumber dari Abu Umâmah al-Bâhili,
ia berkata: (ada) seorang laki-laki datang pada Nabi shallallahu `alaihi
wasallam lalu ia bertanya: “Apa pendapat anda terhadap orang yang berperang
untuk mencari pahala dan (supaya) dikenal. Apa ia akan mendapat (pahala)?”.
Lalu Nabi pun menjawab: “Ia tak mendapat apa-apa”. Pertanyaan itu
diulang tiga kali, Nabi pun menjawab dengan jawaban yang sama: “Ia tak
mendapat apa-apa”. Kemudian Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah ta`ala
tidak (akan) menerima amal, melainkan yang ikhlas untuk-Nya, serta mengharap
wajah(kridhaan)-Nya”(Hr. Nasâ`i).
Hadits
itu dengan sangat gamblang bagaimana posisi pahala dalam ibadah. Yang
ditanyakan oleh orang itu ialah orang yang hendak beribadah, yang secara khusus
ialah berjihad di medan perang, tapi karena tujuannya hanya untuk mencari
pahala dan supaya dikenal orang, maka ia tidak mendapat apa-apa dari jerih
payahnya. Pahala seharusnya sebagai efek dari ibadah yang tulus hanya
untuk-Nya. Siapa saja yang beribadah hanya bertujuan memburu pahala
sebanyak-banyaknya, tanpa menyadari bahwa fokus sebenarnya adalah Allah ta`ala,
maka amalan tidak akan diterima. Jadi
orang-orang yang berbadah hanya karena mencari pahala, bahkan supaya terkenal,
sama saja ia telah merancang kebangkrutan bagi dirinya sendiri. Coba bayangkan: Anda beribadah dengan sekeras-kerasnya,
seikhlas-ikhlashnya dan berdasarkan prosedur syari`at yang benar tanpa
mempedulikan diganjar atau tidak oleh Allah ta`ala, dengan beribadah
yang berfokus hanya pada pahala, kira-kira mana yang akan mendapat kesuksesan?
Memang Allah lebih tahu masalah pahala, tapi sebagai manusia bisa membandingkan,
mana yang lebih anda sayangi antara orang yang membantu anda karena upah,
dengan orang yang membantu anda karena murni membantu sebagai manusia?
Sumengko, Ahad 10 Agustus
2014/08:55
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !