Sebelumnya perlu diperjelas terlebih
dahulu bahwa judul di atas sama sekali bukan berkaitan dengan manusia super
yang memiliki kekuatan fisik hebat, penyelamat manusia dari kejahatan layaknya
pahlawan dalam komik atau filem yang sudah masyhur yaitu: Superman. Ibu-ibu
Hebat dan Super, terinspirasi dari sya`ir Hafidz Ibrahim: “Ibu laksana
sekolah, jika engkau mempersiapkannya (dengan baik), maka engkau telah menyiapkan
suatu bangsa dengan generasi emas”. Ditambah lagi kenyataan sejarah
kehidupan manusia, khususnya sejarah Islam, kita banyak menemukan bahwa peran
ibu dalam mencetak generasi emas sangatlah signifikan. Jadi yang dimaksud
dengan ibu-ibu super dan hebat ialah ibu-ibu mempunyai peran yang hebat dan
super dalam menciptakan generasi emas. Kalau kita jeli dan cermat dalam membaca
sejarah, maka akan kita dapati kebenaran sya`ir dari Hafidz Ibrahim sebagaimana
yang telah disebutkan tadi. Bila ibu-ibu sudah dipersiapkan sedemikian rupa
baik kualitas maupun kuantitasnya, maka tak ayal lagi kelahiran
generasi-generasi hebat dan super akan tercapai. Tak heran pula jika kerusakan
generasi suatu bangsa, itu salah satu faktornya ialah karena rusaknya para ibu.
Ibu yang super adalah ibu yang mampu
mendidik anaknya dengan pendidikan sebaik-baiknya. Ibu yang hebat adalah ibu
yang mampu meciptakan suatu kondisi dimana anaknya bisa terdidik dengan baik
sehingga mempuanyai kepedulian sosial yang tinggi. Ibu yang super dan hebat
ialah yang mampu mendidik anak yang berkualitas dan membuatnya berkontribusi
besar baik bagi diri, keluarga, masyarakat hingga bangsanya. Pada tulisan kali
ini akan disajikan beberapa contoh dari sejarah Islam berkaitan dengan ibu-ibu
hebat dan super sebagaimana penjelasan tadi. Ada lima contoh ibu hebat dan super
yang akan diangakat pada tulisan ini. Tentu saja, kelima ibu hebat dan super
ini sama sekali tidak dimaksudkan membatasi adanya ibu-ibu hebat dan super
lainnya. Tulisan ini hanya sekadar memberikan contoh historis mengenai ibu-ibu
hebat dan super. Semoga dengan membaca sepenggal kisah mereka para ibu bisa
termotivasi untuk menjadi ibu yang bagi anak-anaknya; semoga dengan membaca
bagian penting dari kisah-kisah ibu-ibu super dan hebat, akan membuat para ibu
tergerak untuk mendidik anak-anak yang hebat dan super.
Berikut ini merupakan contoh dari
sebagian banyak ibu-ibu super dan hebat, yang disarikan dari sejarah Islam:
**********
1
Ibu Zaid bin Tsâbit[1]
Ketika Nabi Muhammad shallallahu
`alaihi wasallam beserta beberapa sahabat hendak pergi ke lembah Badar pada
tahun kedua Hijriah, Zaid bin Tsâbit -yang ketika itu berusia sekitar tiga
belas tahun- merasa tergerak hatinya untuk ikut serta dalam berjihad fi
sabilillah(di jalan Allah). Lantaran belum cukup umur, akhirnya Rasulullah shallallahu
`alaihi wasallam menolaknya. Mendengar penolakan itu, Zaid bin Tsâbit sedih
bukan main. Sambil menangis, ia mendatangi ibunda tercinta, untuk mengadukan
apa yang baru saja ia alami. Setelah mendengar cerita anaknya, ibunya tidak
memarahinya lantaran keinginan yang sangat naif. Ia tidak mengecilkan hati
anaknya yang ditolak ikut serta perang lantaran usia yang belum memenuhi
syarat. Ia membesarkan hati anaknya: “Nak , kamu jangan kecil hati. Kalau
memang kamu belum bisa ikut serta berjuang di medan perang, kamu bisa berjuang
dengan potensi yang kamu miliki. Kamu kan kuat hafalan, banyak memiliki hafalan
al-Qur`an, kamu juga bisa membaca dan menulis, maka berjuanglah melalui
potensimy”. Singkat cerita, Zaid merasa optimis, dan ketika ibunya mengajaknya
menemui Rasulullah, diperlihatkanlah potensi Zaid bin Tsabit, akhirnya
Rasulullah memberinya amanah untuk belajar bahasa Ibrani dan bahasa-bahasa
lainnya. Hebatnya ia belajar bahasa Ibrani hanya 13 malam. Kelak ketika besar,
Zaid bin Tsâbit menjadi sahabat yang diamanahi menjadi penulis wahyu.
Kehebatan dan kesuperan ibu Zaid bin
Tsabit ialah dalam hal membesarkan hati anaknya dan mampu menumbuhkan rasa
optimis pada jiwa anaknya. Tak hanya itu, ia mampu mengenali potensi yang
dimiliki anaknya, untuk kemudian diarahkan pada perjuangan yang manfaatnya
sosial. Peran Zaid ketika besar sangat besar dalam perjuangan Islam. Ia
ditugasi sebagai penulis wahyu, dan segala urusan berkaitan dengan
tulis-menulis. Al-Qur`an yang berada di tengah-tengah kita saat ini, salah satu
yang berjasa besar dalam pengumpulan dan penulisannya ialah Zaid bin Tsâbit.
Pada masa Abu Bakar, ketika banyak sahabat yang ahli al-Qur`an meninggal, maka
Umar bin Khattob menyarankan Abu Bakar, agar al-Qur`an segera dikumpulkan
menjadi satu. Pada akhirnya Abu Bakar setuju dan mempercakan amanah yang begitu
besar ini kepada Zaid bin Tsabit. Alangkah hebatnya ibu Zaid yang mampu
mendidik dan mengarahkan potensi Zaid sehingga menjadikan nama Zaid tercatat
tinta emas sejarah Islam sebagai seorang yang mempunyai kontribusi besar bagai
umat. Begitu supernya ibu Zaid bin Tsâbit, yang mampu mengubah rasa pesimisme
anaknya, menjadi optimis dan terus berkarya sesuai dengan potensi yang
dimilikinya.
2
Ibu Imam Syâfi`i[2]
Imam Syafi`i hidup dalam kondisi
mlarat dan miski sejak ia kecil. Tak hanya itu, ia juga yatim. Sejak kecil ia
ditinggal mati oleh ayahnya. Suatu saat ketika ia berusia empat tahun ia
belajar bersama teman-temannya. Lantaran Syafi`i kecil berasal dari keluarga
yang kurang mampu, para guru lebih perhatian kepada anak-anak dari keluarga
mampu. Diperlakukan seperti itu, akhirnya Syafi`i mengadu pada ibunya. Ibunya
tidak memarahinya, dan juga tidak mengecilkan hatinya dengan ungkapan seperti: “Ya
sudah lah nak, kita memang miskin, kamu tak usah belajar lagi”. Sama sekali
tidak. Beliau malah memberi semangat kepada Syafi`i: “Kalau kamu diperlakukan
seperti itu, jangan kecil hati. Duduklah di samping anak-anak orang kaya itu
(sambil mendengar ajaran guru), dan jangan bersikap kekanak-kanakan!”. Syafi`i
kecil pun menuruti nasihat ibunya. Pada akhirnya Syafi`i menjadi murid yang
menonjol di antara kawan-kawannya, bahkan ia mengajari teman-temannya ketika
guru berhalangan hadir. Ketika guru tahu kehebatan Syafi`i akhirnya dia ditamakan,
dan tak jarang diberi amanah menggantikan guru ketika berhalangan hadir.
Di lain kesempatan, Syafi`i mengeluh
kepada ibunya lantaran tak memiliki kertas untuk menulis pelajaran, lantaran
kondisi keluarga yang sangat miskin. Ibunya berkata: “Jangan sedih nak!”. Akhirnya
ibunya pergi ke tempat Dewan Kerajaan bagian penulisan administrasi kerajaan.
Setiap kali ada kertas yang dibuang(lantaran ada kesalahan), ia punguti satu
persatu setelah itu ia bawa pulang lantas diberikan kepada Syafi`i kecil untuk
dijadikan tempat mencatat ketika belajar. Bahkan ketika ada orang yang mau
bersedekah kepada ibu Imam Syafi`i, ia lebih memilih diberi sedekah kertas supaya
bisa dipergunakan menulis oleh anaknya di sekolah. Karena masih belum cukup,
akhirnya ibunya pergi ketempat penyembelihan kambing, lalu mengumpulkan tulang
belulangnya, kemudian dikeringkan. Ketika sudah kering, tulang-tulang itu
diberikan Syafi`i untuk dijadikan tempat mencatat. Tulang-tulang kering itu ia
bawa ke sekolah. Ketika itu usianya masih tujuh tahun. Bayangkan betapa hebat
dan supernya ibu Imam Syafi`i. Kesusahan hidup tidak membuatnya berkecil hati
dan menyerah untuk mendidik anaknya. Hasilnya bukan main. Syafi`i sudah hafal
al-Qur`an sejak usia tujuh tahun. Ia hafal kitab al-Muwattho` Imam Malik ketika
berusia sepuluh tahun. Bahkan ketika dewasa kelak, ia menjadi Imam Besar yang
kemudian melahirkan madzhab Syafi`i. Keberhasilan seorang Syafi`i –setelah izin
Allah- tak lepas dari kehebatan seorang ibu dalam mendidiknya.
3
Ibu Imam Ahmad[3]
Demikian pula kisah tentang Imam
Ahmad. Kepopulerannya menjadi Imam besar Empat Madzab, itu juga berkat tangan
dingin seorang ibu. Ia tidak terlahir dari orang yang berada, bahkan –sebagaimana
Imam Syafi`i- ia tumbuh sebagai anak yatim. Tapi kondisi yang amat berat itu
tidak lantas membuat ibunya menyerah. Ia mendidik Ahmad sedemikian rupa, hingga
membuatnya hafal al-Qur`an ketika berusia 10 tahun. Tak hanya itu, ketika
berusia 10 tahun, mempunyai kebiasaan
bangun sebelum shalat Fajar(Shubuh) untuk segera pergi ke masjid yang jauh dari
rumahnya untuk mendengarkan pelajaran dari syaikh masjid (waktu itu bila ingin
mendapat tempat dekat syaikh, harus berangkat lebih awal ke masjid. Sebab yang
datang begitu banyak, kalau datangnya sesudah Shubuh pasti tidak mendapatkan
tempat lantaran sudah dipenuhi orang. Pada waktu itu juga masih belum ada mic
dan saundsistem sebagaimana sekarang). Karena usianya yang masih kecil, ibunya
sangat menguatirkan kondisinya. Perjalanan ke masjid sangat jauh, di sepanjang
perjalanan juga sangat gelap. Akhirnya ia menemani anaknya ke masjid supaya
bisa menerima pelajaran. Liahat bagaimana perjuangan seorang ibu dalam
mengusahakan pendidikan anaknya yang terbaik. Ia rela berkorban demi kesuksesan
anaknya. Kelak ketika dewasa Ahmad akan menjadi Imam besar dan berpengaruh.
Ilmunya bukan saja dinikmati sendiri, ilmunya bermanfaat bagi orang yang
banyak.
4
Ibu Imam Bukhôri[4]
Kehidupan Imam Bukhari juga tidak
kalah menderita di kala kecil. Ia sejak kecil hidup dalam kondisi yatim. Ia hanya
tinggal bersama ibunya. Penderitaan itu ditambah dengan mushibah lain yang tak
kalah beratnya, matanya buta ketika kecil. Ibunya begitu cemas. Ia tak tinggal
diam. Ia berdo`a dengan sungguh-sungguh dan berrkesinambungan. Sampai akhirnya
dapa suatu malam ia bermimpi bertemu Nabi Ibrahim `alaihis salam. Dalam
mimpi itu Nabi Ibrahim berkata: “ Wahai ibu! Allah telah mengembalikan
pengelihatan anakmu karena seringnya kamu berdo`a”. Betapa bahagiannya sang ibu
ketika bangun didapati anaknya sudah bisa melihat seperti sedia kala. Setelah
itu suatu saat ibu Bukhari ketika membuka lembaran yang berisi hadits
Rasulullah, ia teringat mendiang suaminya, Islma`il. Isma`il sewaktu hidup
menginginkan Bukhari menjadi seperti Nabi Muhammad. Dalam batin ia bertekad
akan mengerahkan segenap tenaga untuk merealisasikan cita-cita suaminya. Dipanggillah
Bukhari, kemudian ia berkata: “Nak! Tibalah saatnya kamu menuntut ilmu.
Bermanfaat bagi diri sendiri dan orang di sekelilingmu. Besok kamu akan aku
kirim ke sekolah untuk menghafal al-Qur`an, belajar hadits Nabi, belajar bahasa
Arab supaya kamu bisa menjadi ulama mulia sebagaimana bapakmu, Isma`il”.
Bukhari bertanya: “Bu! Apakah bapakku ulama besar?”. Ibu menjawab: “Ya”. “Baiklah
bu aku akan berjuang sekuat tenaga mengikuti jejaknya”.
Motivasi ibunya begitu besar,
sehingga semangat dan bakatnya bertemu menjadi satu. Belum sampai usia sepuluh
tahun ia sudah hafal al-Qur`an, banyak hafal hadits, menguasai bahasa Arab dan
lain sebagainya. Tak sampai di situ, ibunya mengirimnya ke berbagai tempat yang
disinyalir sebagai tempat menimba ilmu. Di usianya yang relatif muda, Bukhari
sudah bisa memebarkan kitab gurunya, Muhammad bin Salam al-Baikandi. Kelak
ketika besar ia menjadi amirul mukminin fi al-hadits(pemimpin ulama
hadits). Bahkan kitabnya yang fenomenal, ‘jâmi`u al-shâhîh’ diakui oleh
ulama hadits sebagai kitab tershahih setelah al-Qur`an. Bukhari lahir di daerah
yang jauh dari tempat pertama kali Islam lahir, tapi peran dan kontribusinya
begitu besar dan luar biasa dalam membela kemurnian sunnah. Ia lahir di
Bukhara(Uzbekistan). Ibunya tak pernah kecil hati. Ia selalu memberikan
dorongan moril pada anaknya, tidak menyerah pada keadaan. Sebagai ibu ia sudah
menjalankan perannya dengan baik. Ia telah menunaikan amanah suaminya untuk
mendidik anaknya menjadi ulama. Ia yakin meski ia tinggal di daerah yang jauh
dari tempat pertama kali Islam lahir, ia akan tetap mampu mendidik anaknya –atas
iszin Allah- sebagai ulama besar dan berkontribusi besar bagi umat. Ia
menanamkan pada diri Bukhari satu pelajaran penting yaitu: “Menjadi bermanfaat
baik bagi diri sendiri aupun orang lain”. Alangkah bahagianya ibu Bukhari yang
dengan usaha yang begitu luar biasa mendidik anaknya, akhirnya anaknya menjadi
ulama` hadits berkaliber dunia.
5
Ibu Sultan Sholâhuddin al-Ayyûbi[5]
Kita tentu tak asing dengan Sultan
Shalahuddin Al-Ayyubi. Ia menjadi orang besar bukan secara instan. Di balik
kesuksesannya menjadi orang besar, sejak kecil ia mendapatkan pendidikan yang
luar biasa dari ibunya. Ibunya memainkan peran yang besar dalam pendidikannya
sejak kecil. Ia banyak meluangkan waktunya untuk menemani proses belajar
anaknya. Ia juga sering membacakan cerita orang-orang hebat kepada Shalahuddin.
Menanamkan padanya akan nilai-nilai Islam yang luhur. Pendidikan yang disiplin
ini kelak membuat Shalahuddin sukses. Sejak kecil ia didik untuk peduli pada nasib
orang lain. Ia juga diajarkan berinfak dengan yang paling disukai. Suatu ketika
terjadi percakapan antara keduanya. “Masyaallah betapa sukanya aku dengan
daging panggang yang engkau buat wahai ibu” kata Shalahuddin. “Apakah kamu
menyukainya?” tanya ibu. “Ya, bismillah”. “Tunggu sebentar nak, ini
bukan makanan kita. Makanan ini akan ibu sedekahkan”. “Bukankah kita punya
makanan lain yang bisa disedekahkan bu?”. “Ya, al-hamdulillah kita punya
makanan banyak untuk disedekahkan. Tapi kita lebih suka menyedekahkan makanan
ini daripada yang lainnya. Kalau kita tidak bisa merasakannya kita juga bisa
merasakan bagaimana orang fakir –yang dengan susah tak bisa merasakannya-,
sedangkan jika kita ridha, maka kita mendapat birr(kebajikan). Tidakkah
engkau hafal firman Allah ta`ala: “Kalian tidak akan mendapat
birr(kebajikan) hingga kalian menginfakkan dari apa-apa yang kalian sukai””(Qs.
Ali Imran: 92)”. Apa yang disampaikan ibunya begitu memberi kesan mendalam
dalam jiwanya. Kelak ia menjadi orang yang sangat gemar bersedekah, bukan hanya
itu ia tercatat sebagai panglima yang sukses dalam pertempuran Hittin, dan
mampu membebaskan al-Quds, Palestina. Semua bermula –setelah izin Allah- dari
peran hebat seorang ibu.
**************
Sekarang setelah kita membaca
sebagian dari kisah-kisah ibu hebat dan super, lihatlah pada diri sendiri dan
ambillah sikap. Jika anda seorang ibu, anda masih punya waktu untuk mendidik
anak menjadi anak-anak hebat yang berjuang untuk kepentingan Islam. Jika anda
seorang ayah tanamkan nasihat pada benak istri dan putri anda supaya menjadi
ibu dan putri yang super dan hebat laksana mereka. Bila anda masih gadis,
tanamkan cita-cita yang dalam untuk menjadi ibu yang hebat dan super,
melahirkan anak hebat dan super. Bila anda perjaka maka sebelum menikah,
selektiflah dalam memilih calon istri, carilah istri shalihah yang berpotensi
menjadi ibu yang hebat dan super bagi pendidikan anda kelak. Bila anda ternyata
masih kecil, ceritakanlah kisah ini pada orang tua kalian, bilang pada ibu-dengan
santun-: “Bu jadilah ibu hebat dan super seperti mereka, serta didiklah aku
menjadi anak yang hebat dan super, yang semangat berjuang dan peduli sosial”.
Jadi tak ada lagi alasan untuk berapologi. Mereka juga sama-sama manusia
seperti kita, sama-sama merasakan kesusahan. Apa yang dicapai oleh mereka
sangat mungkin bisa dicapai oleh kita jika kita jujur berusaha dan
bersungguh-sungguh dalam mendidik generasi yang hebat.
Wallahu a`lam
bi al-shawab.
Sumengko,
Jum`at 08 Agustus 2014/16:40
[1]
. Disarikan dari muhadharah Dr. Ragib al-Sirjani dalam pembahasan Sirah
Nabawaiyah.
[2]
. Disarikan dari: http://muntada.aleslah.org/vb/showthread.php?t=26740
[3]
. Disarikan dari muhadhoroh Dr. Roghib al-Sirjani dalam tema: Kaifa tushbihu
`Aaliman(cara menjadi ulama`) dan disarikan dari web: http://www.3refe.com/vb/showthread.php?t=67970
.
[4]
. Disarikan dari: http://kids.islamweb.net/subjects/bokhary1.html
.
[5]
. Disarikan dari: http://shababmoslim.blogspot.com/2008/10/blog-post_2339.html
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !