Home » » IBU-IBU HEBAT DAN SUPER

IBU-IBU HEBAT DAN SUPER

Written By Amoe Hirata on Jumat, 08 Agustus 2014 | 16.55

            Sebelumnya perlu diperjelas terlebih dahulu bahwa judul di atas sama sekali bukan berkaitan dengan manusia super yang memiliki kekuatan fisik hebat, penyelamat manusia dari kejahatan layaknya pahlawan dalam komik atau filem yang sudah masyhur yaitu: Superman. Ibu-ibu Hebat dan Super, terinspirasi dari sya`ir Hafidz Ibrahim: “Ibu laksana sekolah, jika engkau mempersiapkannya (dengan baik), maka engkau telah menyiapkan suatu bangsa dengan generasi emas”. Ditambah lagi kenyataan sejarah kehidupan manusia, khususnya sejarah Islam, kita banyak menemukan bahwa peran ibu dalam mencetak generasi emas sangatlah signifikan. Jadi yang dimaksud dengan ibu-ibu super dan hebat ialah ibu-ibu mempunyai peran yang hebat dan super dalam menciptakan generasi emas. Kalau kita jeli dan cermat dalam membaca sejarah, maka akan kita dapati kebenaran sya`ir dari Hafidz Ibrahim sebagaimana yang telah disebutkan tadi. Bila ibu-ibu sudah dipersiapkan sedemikian rupa baik kualitas maupun kuantitasnya, maka tak ayal lagi kelahiran generasi-generasi hebat dan super akan tercapai. Tak heran pula jika kerusakan generasi suatu bangsa, itu salah satu faktornya ialah karena rusaknya para ibu.
            Ibu yang super adalah ibu yang mampu mendidik anaknya dengan pendidikan sebaik-baiknya. Ibu yang hebat adalah ibu yang mampu meciptakan suatu kondisi dimana anaknya bisa terdidik dengan baik sehingga mempuanyai kepedulian sosial yang tinggi. Ibu yang super dan hebat ialah yang mampu mendidik anak yang berkualitas dan membuatnya berkontribusi besar baik bagi diri, keluarga, masyarakat hingga bangsanya. Pada tulisan kali ini akan disajikan beberapa contoh dari sejarah Islam berkaitan dengan ibu-ibu hebat dan super sebagaimana penjelasan tadi. Ada lima contoh ibu hebat dan super yang akan diangakat pada tulisan ini. Tentu saja, kelima ibu hebat dan super ini sama sekali tidak dimaksudkan membatasi adanya ibu-ibu hebat dan super lainnya. Tulisan ini hanya sekadar memberikan contoh historis mengenai ibu-ibu hebat dan super. Semoga dengan membaca sepenggal kisah mereka para ibu bisa termotivasi untuk menjadi ibu yang bagi anak-anaknya; semoga dengan membaca bagian penting dari kisah-kisah ibu-ibu super dan hebat, akan membuat para ibu tergerak untuk mendidik anak-anak yang hebat dan super.
            Berikut ini merupakan contoh dari sebagian banyak ibu-ibu super dan hebat, yang disarikan dari sejarah Islam:
**********
1
Ibu Zaid bin Tsâbit[1]

            Ketika Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam beserta beberapa sahabat hendak pergi ke lembah Badar pada tahun kedua Hijriah, Zaid bin Tsâbit -yang ketika itu berusia sekitar tiga belas tahun- merasa tergerak hatinya untuk ikut serta dalam berjihad fi sabilillah(di jalan Allah). Lantaran belum cukup umur, akhirnya Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam menolaknya. Mendengar penolakan itu, Zaid bin Tsâbit sedih bukan main. Sambil menangis, ia mendatangi ibunda tercinta, untuk mengadukan apa yang baru saja ia alami. Setelah mendengar cerita anaknya, ibunya tidak memarahinya lantaran keinginan yang sangat naif. Ia tidak mengecilkan hati anaknya yang ditolak ikut serta perang lantaran usia yang belum memenuhi syarat. Ia membesarkan hati anaknya: “Nak , kamu jangan kecil hati. Kalau memang kamu belum bisa ikut serta berjuang di medan perang, kamu bisa berjuang dengan potensi yang kamu miliki. Kamu kan kuat hafalan, banyak memiliki hafalan al-Qur`an, kamu juga bisa membaca dan menulis, maka berjuanglah melalui potensimy”. Singkat cerita, Zaid merasa optimis, dan ketika ibunya mengajaknya menemui Rasulullah, diperlihatkanlah potensi Zaid bin Tsabit, akhirnya Rasulullah memberinya amanah untuk belajar bahasa Ibrani dan bahasa-bahasa lainnya. Hebatnya ia belajar bahasa Ibrani hanya 13 malam. Kelak ketika besar, Zaid bin Tsâbit menjadi sahabat yang diamanahi menjadi penulis wahyu.
            Kehebatan dan kesuperan ibu Zaid bin Tsabit ialah dalam hal membesarkan hati anaknya dan mampu menumbuhkan rasa optimis pada jiwa anaknya. Tak hanya itu, ia mampu mengenali potensi yang dimiliki anaknya, untuk kemudian diarahkan pada perjuangan yang manfaatnya sosial. Peran Zaid ketika besar sangat besar dalam perjuangan Islam. Ia ditugasi sebagai penulis wahyu, dan segala urusan berkaitan dengan tulis-menulis. Al-Qur`an yang berada di tengah-tengah kita saat ini, salah satu yang berjasa besar dalam pengumpulan dan penulisannya ialah Zaid bin Tsâbit. Pada masa Abu Bakar, ketika banyak sahabat yang ahli al-Qur`an meninggal, maka Umar bin Khattob menyarankan Abu Bakar, agar al-Qur`an segera dikumpulkan menjadi satu. Pada akhirnya Abu Bakar setuju dan mempercakan amanah yang begitu besar ini kepada Zaid bin Tsabit. Alangkah hebatnya ibu Zaid yang mampu mendidik dan mengarahkan potensi Zaid sehingga menjadikan nama Zaid tercatat tinta emas sejarah Islam sebagai seorang yang mempunyai kontribusi besar bagai umat. Begitu supernya ibu Zaid bin Tsâbit, yang mampu mengubah rasa pesimisme anaknya, menjadi optimis dan terus berkarya sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

2
Ibu Imam Syâfi`i[2]

            Imam Syafi`i hidup dalam kondisi mlarat dan miski sejak ia kecil. Tak hanya itu, ia juga yatim. Sejak kecil ia ditinggal mati oleh ayahnya. Suatu saat ketika ia berusia empat tahun ia belajar bersama teman-temannya. Lantaran Syafi`i kecil berasal dari keluarga yang kurang mampu, para guru lebih perhatian kepada anak-anak dari keluarga mampu. Diperlakukan seperti itu, akhirnya Syafi`i mengadu pada ibunya. Ibunya tidak memarahinya, dan juga tidak mengecilkan hatinya dengan ungkapan seperti: “Ya sudah lah nak, kita memang miskin, kamu tak usah belajar lagi”. Sama sekali tidak. Beliau malah memberi semangat kepada Syafi`i: “Kalau kamu diperlakukan seperti itu, jangan kecil hati. Duduklah di samping anak-anak orang kaya itu (sambil mendengar ajaran guru), dan jangan bersikap kekanak-kanakan!”. Syafi`i kecil pun menuruti nasihat ibunya. Pada akhirnya Syafi`i menjadi murid yang menonjol di antara kawan-kawannya, bahkan ia mengajari teman-temannya ketika guru berhalangan hadir. Ketika guru tahu kehebatan Syafi`i akhirnya dia ditamakan, dan tak jarang diberi amanah menggantikan guru ketika berhalangan hadir.
            Di lain kesempatan, Syafi`i mengeluh kepada ibunya lantaran tak memiliki kertas untuk menulis pelajaran, lantaran kondisi keluarga yang sangat miskin. Ibunya berkata: “Jangan sedih nak!”. Akhirnya ibunya pergi ke tempat Dewan Kerajaan bagian penulisan administrasi kerajaan. Setiap kali ada kertas yang dibuang(lantaran ada kesalahan), ia punguti satu persatu setelah itu ia bawa pulang lantas diberikan kepada Syafi`i kecil untuk dijadikan tempat mencatat ketika belajar. Bahkan ketika ada orang yang mau bersedekah kepada ibu Imam Syafi`i, ia lebih memilih diberi sedekah kertas supaya bisa dipergunakan menulis oleh anaknya di sekolah. Karena masih belum cukup, akhirnya ibunya pergi ketempat penyembelihan kambing, lalu mengumpulkan tulang belulangnya, kemudian dikeringkan. Ketika sudah kering, tulang-tulang itu diberikan Syafi`i untuk dijadikan tempat mencatat. Tulang-tulang kering itu ia bawa ke sekolah. Ketika itu usianya masih tujuh tahun. Bayangkan betapa hebat dan supernya ibu Imam Syafi`i. Kesusahan hidup tidak membuatnya berkecil hati dan menyerah untuk mendidik anaknya. Hasilnya bukan main. Syafi`i sudah hafal al-Qur`an sejak usia tujuh tahun. Ia hafal kitab al-Muwattho` Imam Malik ketika berusia sepuluh tahun. Bahkan ketika dewasa kelak, ia menjadi Imam Besar yang kemudian melahirkan madzhab Syafi`i. Keberhasilan seorang Syafi`i –setelah izin Allah- tak lepas dari kehebatan seorang ibu dalam mendidiknya.

3
Ibu Imam Ahmad[3]

            Demikian pula kisah tentang Imam Ahmad. Kepopulerannya menjadi Imam besar Empat Madzab, itu juga berkat tangan dingin seorang ibu. Ia tidak terlahir dari orang yang berada, bahkan –sebagaimana Imam Syafi`i- ia tumbuh sebagai anak yatim. Tapi kondisi yang amat berat itu tidak lantas membuat ibunya menyerah. Ia mendidik Ahmad sedemikian rupa, hingga membuatnya hafal al-Qur`an ketika berusia 10 tahun. Tak hanya itu, ketika berusia 10 tahun,  mempunyai kebiasaan bangun sebelum shalat Fajar(Shubuh) untuk segera pergi ke masjid yang jauh dari rumahnya untuk mendengarkan pelajaran dari syaikh masjid (waktu itu bila ingin mendapat tempat dekat syaikh, harus berangkat lebih awal ke masjid. Sebab yang datang begitu banyak, kalau datangnya sesudah Shubuh pasti tidak mendapatkan tempat lantaran sudah dipenuhi orang. Pada waktu itu juga masih belum ada mic dan saundsistem sebagaimana sekarang). Karena usianya yang masih kecil, ibunya sangat menguatirkan kondisinya. Perjalanan ke masjid sangat jauh, di sepanjang perjalanan juga sangat gelap. Akhirnya ia menemani anaknya ke masjid supaya bisa menerima pelajaran. Liahat bagaimana perjuangan seorang ibu dalam mengusahakan pendidikan anaknya yang terbaik. Ia rela berkorban demi kesuksesan anaknya. Kelak ketika dewasa Ahmad akan menjadi Imam besar dan berpengaruh. Ilmunya bukan saja dinikmati sendiri, ilmunya bermanfaat bagi orang yang banyak.

4
Ibu Imam Bukhôri[4]

            Kehidupan Imam Bukhari juga tidak kalah menderita di kala kecil. Ia sejak kecil hidup dalam kondisi yatim. Ia hanya tinggal bersama ibunya. Penderitaan itu ditambah dengan mushibah lain yang tak kalah beratnya, matanya buta ketika kecil. Ibunya begitu cemas. Ia tak tinggal diam. Ia berdo`a dengan sungguh-sungguh dan berrkesinambungan. Sampai akhirnya dapa suatu malam ia bermimpi bertemu Nabi Ibrahim `alaihis salam. Dalam mimpi itu Nabi Ibrahim berkata: “ Wahai ibu! Allah telah mengembalikan pengelihatan anakmu karena seringnya kamu berdo`a”. Betapa bahagiannya sang ibu ketika bangun didapati anaknya sudah bisa melihat seperti sedia kala. Setelah itu suatu saat ibu Bukhari ketika membuka lembaran yang berisi hadits Rasulullah, ia teringat mendiang suaminya, Islma`il. Isma`il sewaktu hidup menginginkan Bukhari menjadi seperti Nabi Muhammad. Dalam batin ia bertekad akan mengerahkan segenap tenaga untuk merealisasikan cita-cita suaminya. Dipanggillah Bukhari, kemudian ia berkata: “Nak! Tibalah saatnya kamu menuntut ilmu. Bermanfaat bagi diri sendiri dan orang di sekelilingmu. Besok kamu akan aku kirim ke sekolah untuk menghafal al-Qur`an, belajar hadits Nabi, belajar bahasa Arab supaya kamu bisa menjadi ulama mulia sebagaimana bapakmu, Isma`il”. Bukhari bertanya: “Bu! Apakah bapakku ulama besar?”. Ibu menjawab: “Ya”. “Baiklah bu aku akan berjuang sekuat tenaga mengikuti jejaknya”.
            Motivasi ibunya begitu besar, sehingga semangat dan bakatnya bertemu menjadi satu. Belum sampai usia sepuluh tahun ia sudah hafal al-Qur`an, banyak hafal hadits, menguasai bahasa Arab dan lain sebagainya. Tak sampai di situ, ibunya mengirimnya ke berbagai tempat yang disinyalir sebagai tempat menimba ilmu. Di usianya yang relatif muda, Bukhari sudah bisa memebarkan kitab gurunya, Muhammad bin Salam al-Baikandi. Kelak ketika besar ia menjadi amirul mukminin fi al-hadits(pemimpin ulama hadits). Bahkan kitabnya yang fenomenal, ‘jâmi`u al-shâhîh’ diakui oleh ulama hadits sebagai kitab tershahih setelah al-Qur`an. Bukhari lahir di daerah yang jauh dari tempat pertama kali Islam lahir, tapi peran dan kontribusinya begitu besar dan luar biasa dalam membela kemurnian sunnah. Ia lahir di Bukhara(Uzbekistan). Ibunya tak pernah kecil hati. Ia selalu memberikan dorongan moril pada anaknya, tidak menyerah pada keadaan. Sebagai ibu ia sudah menjalankan perannya dengan baik. Ia telah menunaikan amanah suaminya untuk mendidik anaknya menjadi ulama. Ia yakin meski ia tinggal di daerah yang jauh dari tempat pertama kali Islam lahir, ia akan tetap mampu mendidik anaknya –atas iszin Allah- sebagai ulama besar dan berkontribusi besar bagi umat. Ia menanamkan pada diri Bukhari satu pelajaran penting yaitu: “Menjadi bermanfaat baik bagi diri sendiri aupun orang lain”. Alangkah bahagianya ibu Bukhari yang dengan usaha yang begitu luar biasa mendidik anaknya, akhirnya anaknya menjadi ulama` hadits berkaliber dunia.

5
Ibu Sultan Sholâhuddin al-Ayyûbi[5]

            Kita tentu tak asing dengan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi. Ia menjadi orang besar bukan secara instan. Di balik kesuksesannya menjadi orang besar, sejak kecil ia mendapatkan pendidikan yang luar biasa dari ibunya. Ibunya memainkan peran yang besar dalam pendidikannya sejak kecil. Ia banyak meluangkan waktunya untuk menemani proses belajar anaknya. Ia juga sering membacakan cerita orang-orang hebat kepada Shalahuddin. Menanamkan padanya akan nilai-nilai Islam yang luhur. Pendidikan yang disiplin ini kelak membuat Shalahuddin sukses. Sejak kecil ia didik untuk peduli pada nasib orang lain. Ia juga diajarkan berinfak dengan yang paling disukai. Suatu ketika terjadi percakapan antara keduanya. “Masyaallah betapa sukanya aku dengan daging panggang yang engkau buat wahai ibu” kata Shalahuddin. “Apakah kamu menyukainya?” tanya ibu. “Ya, bismillah”. “Tunggu sebentar nak, ini bukan makanan kita. Makanan ini akan ibu sedekahkan”. “Bukankah kita punya makanan lain yang bisa disedekahkan bu?”. “Ya, al-hamdulillah kita punya makanan banyak untuk disedekahkan. Tapi kita lebih suka menyedekahkan makanan ini daripada yang lainnya. Kalau kita tidak bisa merasakannya kita juga bisa merasakan bagaimana orang fakir –yang dengan susah tak bisa merasakannya-, sedangkan jika kita ridha, maka kita mendapat birr(kebajikan). Tidakkah engkau hafal firman Allah ta`ala: “Kalian tidak akan mendapat birr(kebajikan) hingga kalian menginfakkan dari apa-apa yang kalian sukai””(Qs. Ali Imran: 92)”. Apa yang disampaikan ibunya begitu memberi kesan mendalam dalam jiwanya. Kelak ia menjadi orang yang sangat gemar bersedekah, bukan hanya itu ia tercatat sebagai panglima yang sukses dalam pertempuran Hittin, dan mampu membebaskan al-Quds, Palestina. Semua bermula –setelah izin Allah- dari peran hebat seorang ibu.
**************

            Sekarang setelah kita membaca sebagian dari kisah-kisah ibu hebat dan super, lihatlah pada diri sendiri dan ambillah sikap. Jika anda seorang ibu, anda masih punya waktu untuk mendidik anak menjadi anak-anak hebat yang berjuang untuk kepentingan Islam. Jika anda seorang ayah tanamkan nasihat pada benak istri dan putri anda supaya menjadi ibu dan putri yang super dan hebat laksana mereka. Bila anda masih gadis, tanamkan cita-cita yang dalam untuk menjadi ibu yang hebat dan super, melahirkan anak hebat dan super. Bila anda perjaka maka sebelum menikah, selektiflah dalam memilih calon istri, carilah istri shalihah yang berpotensi menjadi ibu yang hebat dan super bagi pendidikan anda kelak. Bila anda ternyata masih kecil, ceritakanlah kisah ini pada orang tua kalian, bilang pada ibu-dengan santun-: “Bu jadilah ibu hebat dan super seperti mereka, serta didiklah aku menjadi anak yang hebat dan super, yang semangat berjuang dan peduli sosial”. Jadi tak ada lagi alasan untuk berapologi. Mereka juga sama-sama manusia seperti kita, sama-sama merasakan kesusahan. Apa yang dicapai oleh mereka sangat mungkin bisa dicapai oleh kita jika kita jujur berusaha dan bersungguh-sungguh dalam mendidik generasi yang hebat.

Wallahu a`lam bi al-shawab.
Sumengko, Jum`at 08 Agustus 2014/16:40






[1] . Disarikan dari muhadharah Dr. Ragib al-Sirjani dalam pembahasan Sirah Nabawaiyah.
[3] . Disarikan dari muhadhoroh Dr. Roghib al-Sirjani dalam tema: Kaifa tushbihu `Aaliman(cara menjadi ulama`) dan disarikan dari web: http://www.3refe.com/vb/showthread.php?t=67970 .
[5] . Disarikan dari: http://shababmoslim.blogspot.com/2008/10/blog-post_2339.html
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan