Pernahkah
terbayang sebelumnya di benak anda, ada seorang yang postur tubuhnya tidak jauh
berbeda dengan manusia modern pada umumnya, tapi betisnya saja beratnya
melebihi gunung. Mungkin saudara akan menjawab: “Ah anda jangan mengacau. Yang
mungkin saja terjadi kalau dalam dunia animasa dan kartun. Seberat-beratnya
manusia, seluruh tubuhnya kalau ditimbang, tak akan melebihi berat gunung, apa
lagi hanya betis”. Saya sangat setuju dengan anda. Tulisan ini juga bukan dimaksudkan
untuk mengangkat tema seseorang yang secara fisik melebihi berat gunung. Di
luar faktor fisik, ternyata ada dalam sejarah Islam, orang yang dikatakan Nabi
sebagai orang yang betisnya saja melebihi gunung. Sahabat yang dibicarakan Nabi
adalah sahabat yang secara postur sangat kurus. Kedua betisnya sangat kecil.
Orang yang pertama kali melihatnya –kalau hanya dari sisi fisik-, pasti akan
meremehkannya. Ia juga berasal dari suku yang kurang terkenal dan terhormat. Lalu apa
gerangan yang membuat Nabi berkomentar seperti itu? Siapakah gerangan sahabat
yang mendapat kemuliaan itu? Apa yang membuat berat betisnya melebihi gunung?
Suatu
saat ada salah seorang sahabat yang sedang mengambil ranting pohon untuk bersiwak,
tiba-tiba angin menghembus dengan sangat kencang dan menyingkap pakaiannya,
sehingga terlihatlah kedua telapak kaki dan betisnya yang kecil. Para sahabat
yang melihatnya pun tertawa. Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam
bertanya: “Apa yang sedang kalian tertawakan?” Para sahabat menjawab: “Kedua
betisnya yang kecil wahai Nabi.” Nabi lalu bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku
berada di tangan-Nya, sungguh kedua betisnya itu di mizan nanti lebih berat
dari pada gunung uhud.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya,
I/420-421 dan ath-Thabrani dalam al-Kabiir, IX/75. Hadits ini dinilai shohih
oleh al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shohihah, no. 3192). Ketika mendengar
jawaban Nabi, mereka pun terdiam. Nabi memberikan pelajaran berharga bagi
mereka. Orang mulia itu bukan terutama karena fisik, harta, kedudukan dan
berbagai standar materialistik lainnya, yang membuat orang mulia hanyalah
takwa. Betis yang ditertawakan oleh para sahabat ketika itu ialah betisnya
sahabat yang bernama Abdullah bin Mas`ud.
Tidak
ada yang menarik dari ibnu Mas`ud kalau kita hanya melihat dari segi fisik.
Kurus, pendek, hitam, berbetis kecil, dan berasal dari keluarga yang tak
terpandang. Namun dengan pandangan agama, nilai seorang Ibnu Mas`ud sangatlah
besar. Di balik tubuhnya yang kecil, ia adalah orang pemberani, ia rela
dipukuli orang kafir Qurays lantaran membaca al-Qur`an di depan ka`bah. Di
balik fisik yang kurang menarik, tersimpan otak yang berlian. Ia tercatat
sebagai ahli dalam bidang al-Qur`an dan fiqih. Ilmunya sangat luas.
Perjuangannya pun dalam Islam juga sangat luar biasa. Di balik penampilan yang
kurang memesona, di dalamnya tersimpan hati yang bersih dan semangat dalam
pengorbanan dan perjuangan. Para sahabat yang ingin belajar al-Qur`an, direkomendasikan
Nabi untuk belajar padanya. Nabi pun selalu suka mendengar bacaan al-Qur`an
Ibnu Mas`ud. Suaranya yang merdu, membuat al-Qur`an yang dibacanya semakin
indah dan syahdu. Sepenggal kisah Ibnu Mas`ud tadi, memberikan pelajaran yang
sangat berharga bagi setiap orang. Jangan pernah meremehkan orang hanya karena
fisik yang kurang. Jangan pernah
merendahkan orang lantaran materi yang kurang, padahal orang tersebut –di mata
Allah- sangat disayang.
Cerita
tersebut juga memberikan pelajaran yang menarik bagi kita. Jangan terpukau
dengan penampilan. Penampilan bisa menipu. Terkadang orang yang kita anggap
remeh, ternyata menyimpan kelebihan yang luar biasa. Terkadang orang yang
terlihat alim, ternyata mempunyai sikap yang lalim. Maka jangan sampai tertipu
dengan simbol. Kisah itu seolah mencabuk kesadaran kita dalam menilai orang
lain. Menilai orang bukan lagi karena harta, tapi kinerja; menilai orang bukan
lagi karena ketampanan, tapi kuatnya iman; menilai orang bukan karena fisik,
tapi dari seberapa besar ia telah berbuat baik; menilai orang bukan lagi karena
pakaian, tapi kontribusi sosial yang telah disumbangkan. Allah Maha Mengetahui
hati manusia, jadi jangan sampai gampang menyangka-nyangka. Yang dilihat oleh
Allah yang utama adalah hati, bukan materi; yang dilihat oleh Allah bukan rupa,
tapi taqwa. Sehingga dengan demikian, sebagai manusia kita harus berhati-hati
dan selalu rendah hati. Mungkin kita pernah meremehkan seseorang, tapi perlu
tetap kita ingat bahwa dibalik keremehan yang terlihat melalui ‘mata pandang
dangkal’ kita, terkadang banyak kelebihan-kelebihan yang dianugerahkan Allah
padanya. Dengan amal tulus, betis yang kecil ketika ditimbang di akhirat kelak,
melebihi gunung Uhud. Lalu bagaimana dengan kita?
Sumengko, Ahad, 10 Agustus 2014/10:13
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !