Home » » Betis Melebihi Gunung

Betis Melebihi Gunung

Written By Amoe Hirata on Minggu, 10 Agustus 2014 | 10.18


            Pernahkah terbayang sebelumnya di benak anda, ada seorang yang postur tubuhnya tidak jauh berbeda dengan manusia modern pada umumnya, tapi betisnya saja beratnya melebihi gunung. Mungkin saudara akan menjawab: “Ah anda jangan mengacau. Yang mungkin saja terjadi kalau dalam dunia animasa dan kartun. Seberat-beratnya manusia, seluruh tubuhnya kalau ditimbang, tak akan melebihi berat gunung, apa lagi hanya betis”. Saya sangat setuju dengan anda. Tulisan ini juga bukan dimaksudkan untuk mengangkat tema seseorang yang secara fisik melebihi berat gunung. Di luar faktor fisik, ternyata ada dalam sejarah Islam, orang yang dikatakan Nabi sebagai orang yang betisnya saja melebihi gunung. Sahabat yang dibicarakan Nabi adalah sahabat yang secara postur sangat kurus. Kedua betisnya sangat kecil. Orang yang pertama kali melihatnya –kalau hanya dari sisi fisik-, pasti akan meremehkannya. Ia juga berasal dari suku yang kurang terkenal dan terhormat. Lalu apa gerangan yang membuat Nabi berkomentar seperti itu? Siapakah gerangan sahabat yang mendapat kemuliaan itu? Apa yang membuat berat betisnya melebihi gunung?
            Suatu saat ada salah seorang sahabat yang sedang mengambil ranting pohon untuk bersiwak, tiba-tiba angin menghembus dengan sangat kencang dan menyingkap pakaiannya, sehingga terlihatlah kedua telapak kaki dan betisnya yang kecil. Para sahabat yang melihatnya pun tertawa. Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bertanya: “Apa yang sedang kalian tertawakan?” Para sahabat menjawab: “Kedua betisnya yang kecil wahai Nabi.” Nabi lalu bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kedua betisnya itu di mizan nanti lebih berat dari pada gunung uhud.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya, I/420-421 dan ath-Thabrani dalam al-Kabiir, IX/75. Hadits ini dinilai shohih oleh al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shohihah, no. 3192). Ketika mendengar jawaban Nabi, mereka pun terdiam. Nabi memberikan pelajaran berharga bagi mereka. Orang mulia itu bukan terutama karena fisik, harta, kedudukan dan berbagai standar materialistik lainnya, yang membuat orang mulia hanyalah takwa. Betis yang ditertawakan oleh para sahabat ketika itu ialah betisnya sahabat yang bernama Abdullah bin Mas`ud.
            Tidak ada yang menarik dari ibnu Mas`ud kalau kita hanya melihat dari segi fisik. Kurus, pendek, hitam, berbetis kecil, dan berasal dari keluarga yang tak terpandang. Namun dengan pandangan agama, nilai seorang Ibnu Mas`ud sangatlah besar. Di balik tubuhnya yang kecil, ia adalah orang pemberani, ia rela dipukuli orang kafir Qurays lantaran membaca al-Qur`an di depan ka`bah. Di balik fisik yang kurang menarik, tersimpan otak yang berlian. Ia tercatat sebagai ahli dalam bidang al-Qur`an dan fiqih. Ilmunya sangat luas. Perjuangannya pun dalam Islam juga sangat luar biasa. Di balik penampilan yang kurang memesona, di dalamnya tersimpan hati yang bersih dan semangat dalam pengorbanan dan perjuangan. Para sahabat yang ingin belajar al-Qur`an, direkomendasikan Nabi untuk belajar padanya. Nabi pun selalu suka mendengar bacaan al-Qur`an Ibnu Mas`ud. Suaranya yang merdu, membuat al-Qur`an yang dibacanya semakin indah dan syahdu. Sepenggal kisah Ibnu Mas`ud tadi, memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi setiap orang. Jangan pernah meremehkan orang hanya karena fisik yang kurang.  Jangan pernah merendahkan orang lantaran materi yang kurang, padahal orang tersebut –di mata Allah- sangat disayang.
            Cerita tersebut juga memberikan pelajaran yang menarik bagi kita. Jangan terpukau dengan penampilan. Penampilan bisa menipu. Terkadang orang yang kita anggap remeh, ternyata menyimpan kelebihan yang luar biasa. Terkadang orang yang terlihat alim, ternyata mempunyai sikap yang lalim. Maka jangan sampai tertipu dengan simbol. Kisah itu seolah mencabuk kesadaran kita dalam menilai orang lain. Menilai orang bukan lagi karena harta, tapi kinerja; menilai orang bukan lagi karena ketampanan, tapi kuatnya iman; menilai orang bukan karena fisik, tapi dari seberapa besar ia telah berbuat baik; menilai orang bukan lagi karena pakaian, tapi kontribusi sosial yang telah disumbangkan. Allah Maha Mengetahui hati manusia, jadi jangan sampai gampang menyangka-nyangka. Yang dilihat oleh Allah yang utama adalah hati, bukan materi; yang dilihat oleh Allah bukan rupa, tapi taqwa. Sehingga dengan demikian, sebagai manusia kita harus berhati-hati dan selalu rendah hati. Mungkin kita pernah meremehkan seseorang, tapi perlu tetap kita ingat bahwa dibalik keremehan yang terlihat melalui ‘mata pandang dangkal’ kita, terkadang banyak kelebihan-kelebihan yang dianugerahkan Allah padanya. Dengan amal tulus, betis yang kecil ketika ditimbang di akhirat kelak, melebihi gunung Uhud. Lalu bagaimana dengan kita?

Sumengko, Ahad, 10 Agustus 2014/10:13



Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan