“Tahukah
kamu (orang) yang mendustakan agama?”. Begitulah secara dialogis surat al-Mâ`ûn
dibuka. Kalau saja tidak ada penjelasan pada ayat selanjutnya, orang akan
banyak berspekulasi: mungkin yang dimaksud ialah orang yang mendustakan
al-Qur`an dan al-Hadits; mungkin yang dimaksud ialah orang yang mengingkari
ajaran agama Islam; barangkali yang dimaksud ialah orang yang suka berdusta dan
menyalahi janji; mungkin yang dimaksud barangkali para da`i yang pandai
menyuruh orang berbuat kebaikan, sedangkan diri sendiri terlupakan. Masih
banyak lagi spekulasi yang ada kalau saja tidak ada penjelasan pada ayat
selanjutnya. Metode pertanyaan memang sangat efektif untuk melibatkan orang
lain aktif dalam membicarakan tema tertetu. Dengan menggunakan pertanyaan
seperti itu, tentu saja orang yang ditanya akan sedapat mungkin menjawabnya
sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki. Metode tanya-jawab seperti ini banyak
sekali dijumpai baik dalam al-Qur`an maupun al-Hadits. Pertanyaan membuat orang
penasaran, terangsang menjawab, hati dan pikiran menjadi hidup. Kalau anda
ditanya seperti itu kira-kira apa jawabannya?
“Itulah
orang yang menghardik anak yatim”. Sebelum ada jawaban ini kita mungkin tidak
sampai jauh menerka ke arah itu. Ternyata di sini lingkup dari pendustaan agama
sampai pada ranah sosial. Ayat ini langsung menohok ke jantung permasalahan
yang sama sekali tak terduga oleh kebanyakan orang, utamanya mereka yang
menggemborkan kepedulian terhadap anak yatim. Di sini menghardik saja dikatakan
sebagai mendustakan agama, apalagi jika menyia-nyiakan mereka. Lalu bagaimana
dengan mereka yang menelantarkan anak yatim? Lantas bagaimana dengan mereka
yang berjuang atas nama anak yatim tapi ternyata hanya untuk kepentingan
pribadi. ‘Peduli yatim’ terkadang hanya dijadikan slogan untuk meraup
kepentingan pribadi. Melalui ayat ini seakan-akan para pemelihara anak yatim ‘disentil’
sedemikian rupa kesadaran batinnya agar jangan main-main dalam urusan yatim.
Mengharidik saja sudah dikatakan mendustakan, apa lagi kalau dijadikan bisnis.
Pada zaman yang semakin modern saat ini, perkembangan orang yang peduli anak
yatim begitu pesat, pada satu sisi patut kita syukuri, tapi tak sedikit pula
yang menjadikannya sebagai kedok kepentingan pribadi.
“Dan
tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”. Lagi-lagi yang disorot pada
jawaban selanjutnya ialah masalah sosial. Orang muslim yang tak peka dengan
kehidupan sosial, rawan terjerumus pada pendustaan agama. Coba bayangkan, tak
menganjurkan memberi makan orang miskin saja sudah dianggap mendustakan agama,
lalu bagaimana dengan orang yang menghina orang miskin?; lalu bagaimana dengan
orang yang meremehkan orang miskin?; lalu bagaimana dengan orang yang sama
sekali tak peduli dengan nasib orang miskin?; apalagi sampai meanfaatkan nama
orang miskin demi kesuksesan pribadinya. Sejak awal jawaban-jawaban yang ada
selalu berada pada titik yang paling minimal dari suatu keparahan, artinya kita
harus berhati-hati betul dalam urusan ini. Orang miskin perlu dibantu, bukan dijadikan
obyek agar dangangan pribadi laku. Orang maiskin butuh ditolong, bukan
dijadikan sebagai obyek yang sekadar dikasihani serta membuat orang bengong.
Kalau sampai ada orang muslim yang kaya, sedangkan ada orang-orang di
sekelilingnya miskin terlunta-lunta, maka stempel ‘pendusta agama’ sangat layak
diberikan padanya. Lebih parah lagi orang yang membisniskan orang miskin untuk
kepentingan pribadi.
“Maka
kecelakaan bagi orang yang shalat”. Lho kita mungkin bertanya: mengapa orang
shalat kok bisa celaka? Bukankah tidak shalat juga celaka? Kalau shalat dan ga
shalat sama-sama celaka, lalu apa fungsinya shalat?. Untung saja sebelum
prasangka buruk menguasai hati, pada ayat selanjutnya langsung dijawab: “yaitu
orang yang lalai dalam shalatnya”. Semakin jelas. Shalat yang dilakukan
berdasarkan kesadaran dan pemahamanlah yang tak masuk pada kategori kecelakaan.
Banyak orang shalat hanya secara jasmani, tapi rohaniahnya dicampakkan begitu
saja. Padahal shalat sejati mempunyai efek pencegahan terhadap perbuatan keji
dan mungkar. Mereka inilah –yang lalai dalam shalatnya- yang disebut sebagai: “Orang-orang
yang berbuat riya`”. Ibadah bukan karena Allah, segala kebaikan yang nampak
ternyata untuk menyukseskan ambisi pribadi. Kelihatannya berjuang demi
agama tapi nyatanya untuk meluluskan
ambisi dunia. Tak hanya itu, “dan enggan (menolong dengan) barang yang berguna”.
Kalau sebagai manusia sudah tanggal sifat saling membantu, maka sudah tanggal
pula kemanusiaannya.
Bayangkan
dan cermati baik-baik! Ternyata tidak ada dikotomi antara urusan agama dan
sosial. Keduanya berjalin-kelindan. Yang membeda-bedakannya hanya orang yang
punya pemahaman sekular. Dikatakan sebagai pendusta agama karena tak peduli
dengan kehidupan sosial. Lebih parah lagi jika menggunakan isu-isu sosial untuk
kepentingan pribadi. Yang lebih mengejutkan lagi ternyata beribadah juga bisa membuat
orang celaka, jika tak steril dari riya` serta tak berefek sosial. Orang yang
menegakkan shalat sejatinya adalah orang yang bukan hanya shalat secara ragawi,
tetapi rohaninya juga fokus shalat kepada Allah. Orang-orang yang benar-benar
shalat, pasti akan mempunyai kepekaan sosial. Kalau shalat, tapi kok pelit,
maka ia celaka; kalau shalat tapi kok suka dusta, maka ia sengsara. Ia juga ‘shalat
secara sosial’ dalam arti peduli sosial. Kira-kira masuk kah saya, kamu, dia,
mereka dalam kategori pendusta agama? Silahkan dievaluasi sendiri. Yang jelas
banyak pendusta agama berkeliaran. Agama dijadikan sarana bisnis, padahal
sejatinya kejelekan hatinya melebihi Iblis. Na`udzu billah min dzalik.
Sumengko, Sabtu 09 Agustus 2014/14:41
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !