Home » » Pendusta Agama

Pendusta Agama

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 09 Agustus 2014 | 14.47

             “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?”. Begitulah secara dialogis surat al-Mâ`ûn dibuka. Kalau saja tidak ada penjelasan pada ayat selanjutnya, orang akan banyak berspekulasi: mungkin yang dimaksud ialah orang yang mendustakan al-Qur`an dan al-Hadits; mungkin yang dimaksud ialah orang yang mengingkari ajaran agama Islam; barangkali yang dimaksud ialah orang yang suka berdusta dan menyalahi janji; mungkin yang dimaksud barangkali para da`i yang pandai menyuruh orang berbuat kebaikan, sedangkan diri sendiri terlupakan. Masih banyak lagi spekulasi yang ada kalau saja tidak ada penjelasan pada ayat selanjutnya. Metode pertanyaan memang sangat efektif untuk melibatkan orang lain aktif dalam membicarakan tema tertetu. Dengan menggunakan pertanyaan seperti itu, tentu saja orang yang ditanya akan sedapat mungkin menjawabnya sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki. Metode tanya-jawab seperti ini banyak sekali dijumpai baik dalam al-Qur`an maupun al-Hadits. Pertanyaan membuat orang penasaran, terangsang menjawab, hati dan pikiran menjadi hidup. Kalau anda ditanya seperti itu kira-kira apa jawabannya?
            “Itulah orang yang menghardik anak yatim”. Sebelum ada jawaban ini kita mungkin tidak sampai jauh menerka ke arah itu. Ternyata di sini lingkup dari pendustaan agama sampai pada ranah sosial. Ayat ini langsung menohok ke jantung permasalahan yang sama sekali tak terduga oleh kebanyakan orang, utamanya mereka yang menggemborkan kepedulian terhadap anak yatim. Di sini menghardik saja dikatakan sebagai mendustakan agama, apalagi jika menyia-nyiakan mereka. Lalu bagaimana dengan mereka yang menelantarkan anak yatim? Lantas bagaimana dengan mereka yang berjuang atas nama anak yatim tapi ternyata hanya untuk kepentingan pribadi. ‘Peduli yatim’ terkadang hanya dijadikan slogan untuk meraup kepentingan pribadi. Melalui ayat ini seakan-akan para pemelihara anak yatim ‘disentil’ sedemikian rupa kesadaran batinnya agar jangan main-main dalam urusan yatim. Mengharidik saja sudah dikatakan mendustakan, apa lagi kalau dijadikan bisnis. Pada zaman yang semakin modern saat ini, perkembangan orang yang peduli anak yatim begitu pesat, pada satu sisi patut kita syukuri, tapi tak sedikit pula yang menjadikannya sebagai kedok kepentingan pribadi.
            “Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”. Lagi-lagi yang disorot pada jawaban selanjutnya ialah masalah sosial. Orang muslim yang tak peka dengan kehidupan sosial, rawan terjerumus pada pendustaan agama. Coba bayangkan, tak menganjurkan memberi makan orang miskin saja sudah dianggap mendustakan agama, lalu bagaimana dengan orang yang menghina orang miskin?; lalu bagaimana dengan orang yang meremehkan orang miskin?; lalu bagaimana dengan orang yang sama sekali tak peduli dengan nasib orang miskin?; apalagi sampai meanfaatkan nama orang miskin demi kesuksesan pribadinya. Sejak awal jawaban-jawaban yang ada selalu berada pada titik yang paling minimal dari suatu keparahan, artinya kita harus berhati-hati betul dalam urusan ini. Orang miskin perlu dibantu, bukan dijadikan obyek agar dangangan pribadi laku. Orang maiskin butuh ditolong, bukan dijadikan sebagai obyek yang sekadar dikasihani serta membuat orang bengong. Kalau sampai ada orang muslim yang kaya, sedangkan ada orang-orang di sekelilingnya miskin terlunta-lunta, maka stempel ‘pendusta agama’ sangat layak diberikan padanya. Lebih parah lagi orang yang membisniskan orang miskin untuk kepentingan pribadi.
            “Maka kecelakaan bagi orang yang shalat”. Lho kita mungkin bertanya: mengapa orang shalat kok bisa celaka? Bukankah tidak shalat juga celaka? Kalau shalat dan ga shalat sama-sama celaka, lalu apa fungsinya shalat?. Untung saja sebelum prasangka buruk menguasai hati, pada ayat selanjutnya langsung dijawab: “yaitu orang yang lalai dalam shalatnya”. Semakin jelas. Shalat yang dilakukan berdasarkan kesadaran dan pemahamanlah yang tak masuk pada kategori kecelakaan. Banyak orang shalat hanya secara jasmani, tapi rohaniahnya dicampakkan begitu saja. Padahal shalat sejati mempunyai efek pencegahan terhadap perbuatan keji dan mungkar. Mereka inilah –yang lalai dalam shalatnya- yang disebut sebagai: “Orang-orang yang berbuat riya`”. Ibadah bukan karena Allah, segala kebaikan yang nampak ternyata untuk menyukseskan ambisi pribadi. Kelihatannya berjuang demi agama  tapi nyatanya untuk meluluskan ambisi dunia. Tak hanya itu, “dan enggan (menolong dengan) barang yang berguna”. Kalau sebagai manusia sudah tanggal sifat saling membantu, maka sudah tanggal pula kemanusiaannya.
            Bayangkan dan cermati baik-baik! Ternyata tidak ada dikotomi antara urusan agama dan sosial. Keduanya berjalin-kelindan. Yang membeda-bedakannya hanya orang yang punya pemahaman sekular. Dikatakan sebagai pendusta agama karena tak peduli dengan kehidupan sosial. Lebih parah lagi jika menggunakan isu-isu sosial untuk kepentingan pribadi. Yang lebih mengejutkan lagi ternyata beribadah juga bisa membuat orang celaka, jika tak steril dari riya` serta tak berefek sosial. Orang yang menegakkan shalat sejatinya adalah orang yang bukan hanya shalat secara ragawi, tetapi rohaninya juga fokus shalat kepada Allah. Orang-orang yang benar-benar shalat, pasti akan mempunyai kepekaan sosial. Kalau shalat, tapi kok pelit, maka ia celaka; kalau shalat tapi kok suka dusta, maka ia sengsara. Ia juga ‘shalat secara sosial’ dalam arti peduli sosial. Kira-kira masuk kah saya, kamu, dia, mereka dalam kategori pendusta agama? Silahkan dievaluasi sendiri. Yang jelas banyak pendusta agama berkeliaran. Agama dijadikan sarana bisnis, padahal sejatinya kejelekan hatinya melebihi Iblis. Na`udzu billah min dzalik.

Sumengko, Sabtu 09 Agustus 2014/14:41
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan