Home » » ‘Muda Foya-foya’, Mati Masuk Surga?

‘Muda Foya-foya’, Mati Masuk Surga?

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 09 Agustus 2014 | 09.14


            Pernahkah anda mendengar semboyan: “Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya-raya, mati masuk surga” ?. Semboyang ini terkesan menggiurkan, namun pada saat yang sama sangat mematikan. Menggiurkan karena, watak dasar manusia itu lebih suka kemudahan daripada kesusahan. Anak kecil ketika dimanja, senangnya bukan main. Pemuda dibiarkan foya-foya, sangat bahagia. Tua kaya-raya, sungguh indah tak terkira. Mati masuk surga, merupakan akhir luar biasa. Siapa yang tak mau hidup diliputi kebahagiaan dan keindahan? Tapi semua itu sangat mematikan potensi manusia. Mengapa mematikan? Anak yang terbiasa dimanja, akan membuatnya selalu tergantung dan tak pernah dewasa. Pemuda yang dibiarkan foya-foya, masa depannya akan celaka. Bagaimana mungkin tua kaya-raya jika hidup semasa muda berleha-leha dan foya-foya. Bagaimana mungkin mati masuk surga, usaha untuk mempersiapkan kematian menuju surga tak pernah terencana. Karena itu, sangatlah pantas jika semboyan atau ‘logika miring’ tersebut bisa mematikan potensi manusia.
            Pernakah anda mendengar, ada pemuda yang hidupnya foya-foya dan matinya masuk surga (tercatat sebagai ahli surga)? Dengan membaca latar belakang tulisan pada paragraf pertama, mungkin kita akan menafikannya. Tapi kisah ini benar-benar ada(meskipun tidak seperti pengertian pada paragraf di atas), benar-benar terjadi pada sahabat Rasulullah. Siapakah gerangan sahabat yang ‘muda foya-foya’ dan mati masuk surga? Dialah Mush`ab bin `Umair. Seorang pemuda Qurays, berasal dari klan bani Abdi al-Dar. Ia hidup bergelimang harta. Kehidupannya penuh dengan kefoya-foyaan. Ia pemuda ganteng, cerdas, wangi, dan digemari oleh gadis-gadis di Mekkah. Bajunya bergonta-ganti. Intinya kalau berdasarkan ukuran materialistik, Mush`ab termasuk sebagai pemuda idaman bagi para gadis kala itu. Mungkin sejenak diantara pembaca ada yang bertanya: “Bagaimana mungkin pemuda yang kerjaannya hanya foya-foya, hidupnya masih bergantung pada orang tua, lantas bisa dengan mudah mati masuk surga?”.
            Pertanyaan semacam itu sangat logis jika selama hidup Mush`ab tidak ada perubahan. Namun yang membuat Mush`ab bisa tergolong menjadi ahli surga, karena ia mau berubah. Ketika cahaya Islam menerangi ruang hatinya, perubahan besar tiba-tiba terjadi pada kehidupannya. Kalau selama ini ia menilai bahwa kebahagiaan hakiki ialah kebahagiaan materi, maka ketika cahaya petunjuk menyadarkan batinnya, ia sadar bahwa kebahagiaan yang selama ini ia rasakan bagaikan fatamorgana. Hatinya tertaut pada Islam. Ia menemukan kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan yang tak terhenti pada materi; kebahagiaan yang membuatnya bisa merasakan kebahagiaan sejati; kebahagiaan yang tak hanya berdimensi dunia, tapi kebahagiaan yang berdimensi akhirat. Setiap pilihan memang mengandung resiko. Setelah tekadnya bulat memeluk Islam, segala fasilitas yang ia dapatkan dari orang tuanya segera ditarik. Tiba-tiba kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat. Apa ia menjadi kerdil setelah itu; apa ia menyesalinya; apa ia menderita?
            Gelora perubahan pada kehidupan sejati menuju akhirat, membuatnya tambah bersemangat. Apalah artinya kehidupan bergelimang materi, kalau nanti malah menjerumuskannya pada siksa abadi. Setelah memeluk Islam, ia berjuang dengan semangat yang begitu besar. Rintangan dan halangan ia hadapi. Ia pernah hijrah dua kali ke Habasyah. Ia rela hidup jatuh miskin. Ia diutus menjadi duta pertama kali ke Madinah. Kebahagiaan sejati bagi dirinya bukan lagi harta yang banyak, tapi bagaimana ia bisa membuat orang lain bisa merasakan kebahagiaan yang tak terkira ketika memeluk Islam. Hari-harinya dipenuhi perjuangan. Melalui tangannya – atas izin Allah- banyak orang masuk Islam. Banyak sekali sahabat-sahabat yang merasa iba dan kasihan melihat kondisi Mush`ab bin `Umair yang menjadi miskin dan penuh penderitaan. Bagi Mush`ab bin `Umair, kebahagiaan sejati ialah ketikan berorientasi akhirat. Ketika pada tahun ketiga ada kesempatan berjuang di pertempuran Uhud, ia mampu menorehkan prestasi yang luar biasa –tentunya atas izin Allah- mengabadikan namanya pada barisan syuhadâ(orang-orang yang mati syahid). Waktu itu usianya baru tiga puluh delapan tahun. Siapakah diantara kita –para pemuda- yang mau melanjutkan jejaknya? Atau kita lebih memilih semboyan: “Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya-raya, mati masuk surga” ? Bila demikian siapkan hati untuk menuju penderitaan abadi. Na`udzu billah min dzâlik.

Wallahu a`lam bi al-showâb.

Sumengko, Sabtu 09 Agustus 2014/09:04
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan