Pernahkah
anda mendengar semboyan: “Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya-raya, mati
masuk surga” ?. Semboyang ini terkesan menggiurkan, namun pada saat yang sama
sangat mematikan. Menggiurkan karena, watak dasar manusia itu lebih suka
kemudahan daripada kesusahan. Anak kecil ketika dimanja, senangnya bukan main.
Pemuda dibiarkan foya-foya, sangat bahagia. Tua kaya-raya, sungguh indah tak
terkira. Mati masuk surga, merupakan akhir luar biasa. Siapa yang tak mau hidup
diliputi kebahagiaan dan keindahan? Tapi semua itu sangat mematikan potensi
manusia. Mengapa mematikan? Anak yang terbiasa dimanja, akan membuatnya selalu
tergantung dan tak pernah dewasa. Pemuda yang dibiarkan foya-foya, masa
depannya akan celaka. Bagaimana mungkin tua kaya-raya jika hidup semasa muda
berleha-leha dan foya-foya. Bagaimana mungkin mati masuk surga, usaha untuk
mempersiapkan kematian menuju surga tak pernah terencana. Karena itu, sangatlah
pantas jika semboyan atau ‘logika miring’ tersebut bisa mematikan potensi
manusia.
Pernakah
anda mendengar, ada pemuda yang hidupnya foya-foya dan matinya masuk surga
(tercatat sebagai ahli surga)? Dengan membaca latar belakang tulisan pada
paragraf pertama, mungkin kita akan menafikannya. Tapi kisah ini benar-benar
ada(meskipun tidak seperti pengertian pada paragraf di atas), benar-benar
terjadi pada sahabat Rasulullah. Siapakah gerangan sahabat yang ‘muda foya-foya’
dan mati masuk surga? Dialah Mush`ab bin `Umair. Seorang pemuda Qurays, berasal
dari klan bani Abdi al-Dar. Ia hidup bergelimang harta. Kehidupannya penuh
dengan kefoya-foyaan. Ia pemuda ganteng, cerdas, wangi, dan digemari oleh
gadis-gadis di Mekkah. Bajunya bergonta-ganti. Intinya kalau berdasarkan ukuran
materialistik, Mush`ab termasuk sebagai pemuda idaman bagi para gadis kala itu.
Mungkin sejenak diantara pembaca ada yang bertanya: “Bagaimana mungkin pemuda
yang kerjaannya hanya foya-foya, hidupnya masih bergantung pada orang tua,
lantas bisa dengan mudah mati masuk surga?”.
Pertanyaan
semacam itu sangat logis jika selama hidup Mush`ab tidak ada perubahan. Namun
yang membuat Mush`ab bisa tergolong menjadi ahli surga, karena ia mau berubah.
Ketika cahaya Islam menerangi ruang hatinya, perubahan besar tiba-tiba terjadi
pada kehidupannya. Kalau selama ini ia menilai bahwa kebahagiaan hakiki ialah
kebahagiaan materi, maka ketika cahaya petunjuk menyadarkan batinnya, ia sadar
bahwa kebahagiaan yang selama ini ia rasakan bagaikan fatamorgana. Hatinya
tertaut pada Islam. Ia menemukan kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan yang tak
terhenti pada materi; kebahagiaan yang membuatnya bisa merasakan kebahagiaan
sejati; kebahagiaan yang tak hanya berdimensi dunia, tapi kebahagiaan yang
berdimensi akhirat. Setiap pilihan memang mengandung resiko. Setelah tekadnya
bulat memeluk Islam, segala fasilitas yang ia dapatkan dari orang tuanya segera
ditarik. Tiba-tiba kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat. Apa ia menjadi
kerdil setelah itu; apa ia menyesalinya; apa ia menderita?
Gelora
perubahan pada kehidupan sejati menuju akhirat, membuatnya tambah bersemangat.
Apalah artinya kehidupan bergelimang materi, kalau nanti malah menjerumuskannya
pada siksa abadi. Setelah memeluk Islam, ia berjuang dengan semangat yang
begitu besar. Rintangan dan halangan ia hadapi. Ia pernah hijrah dua kali ke
Habasyah. Ia rela hidup jatuh miskin. Ia diutus menjadi duta pertama kali ke
Madinah. Kebahagiaan sejati bagi dirinya bukan lagi harta yang banyak, tapi
bagaimana ia bisa membuat orang lain bisa merasakan kebahagiaan yang tak
terkira ketika memeluk Islam. Hari-harinya dipenuhi perjuangan. Melalui
tangannya – atas izin Allah- banyak orang masuk Islam. Banyak sekali
sahabat-sahabat yang merasa iba dan kasihan melihat kondisi Mush`ab bin `Umair
yang menjadi miskin dan penuh penderitaan. Bagi Mush`ab bin `Umair, kebahagiaan
sejati ialah ketikan berorientasi akhirat. Ketika pada tahun ketiga ada
kesempatan berjuang di pertempuran Uhud, ia mampu menorehkan prestasi yang luar
biasa –tentunya atas izin Allah- mengabadikan namanya pada barisan syuhadâ(orang-orang
yang mati syahid). Waktu itu usianya baru tiga puluh delapan tahun. Siapakah
diantara kita –para pemuda- yang mau melanjutkan jejaknya? Atau kita lebih
memilih semboyan: “Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya-raya, mati masuk
surga” ? Bila demikian siapkan hati untuk menuju penderitaan abadi. Na`udzu
billah min dzâlik.
Wallahu a`lam bi al-showâb.
Sumengko, Sabtu 09 Agustus
2014/09:04
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !