Home » » Ibu Jangan Pasung Aku!

Ibu Jangan Pasung Aku!

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 09 Agustus 2014 | 16.19


            “Shinta! Pokoknya kamu harus nurut ibu. Kamu harus ngambil jurusan kedokteran. Jika tidak, lebih baik kamu cari biaya kuliah sendiri. Dan perlu kamu camkan baik-baik, jangan mikir cowok dulu!. Kalaupun nanti kamu sudah waktunya nikah, carilah yang sudah mapan. Jangan nyari yang pas-pasan. Pernikahan itu buka hanya butuh cinta, tapi juga butuh materi. Kamu mau atas nama cinta, kehidupanmu sengsara dan hidup terlunta-lunta!”. Demikian tanggapan ibu Shinta ketika ia mau minta izin meneruskan kuliah jurusan Pendidikan Islam. Hatinya sungguh kecewa. Ia merasa selama ini sudah menuruti kemauan orang tua. Ia terbilang sebagai anak penurut sejak kecil. Selama ini ibunyalah yang menyetir kehidupannya. Satu-satunya yang sepaham dan peduli sebenarnya hanya ayahnya, Ahmad Sucipto. Namun apa daya, ia tak bisa berbuat apa-apa jika ibu sudah memutuskan. Apa lagi ayah Shinta hanya sebagai guru ngaji yang penghasilannya tak begitu mencukupi. Sedangkan ibunya berprofesi sebagai dokter umum yang sudah menjadi pegawai negeri.
            Dalam keheningan malam, ia mengadu pada Rabb Semesta Alam. Ia memohon petunjuk yang terbaik bagi hidupnya. Ia meminta ibunya agar segera diberi kesadaran. Agar tak memaksakan kehendak. Ia tak mau dirinya terpasung begitu lama yang semakin menyesakkan dada. “Ya Allah sadarkanlah ibu hamba, yang mengukur segala sesuatu dengan kesuksesan harta. Hamba tak pernah menafikan harta. Harta memang penting. Tapi bukankah itu hanyalah sarana untuk menuju keridhaan-Mu. Bukankah untuk menuju keridhaanmu tak selalu dengan harta. Ya Allah, bukalah pintu hati ibuku. Berilah dia pemahaman, agar mengerti bakat dan potensi anaknya!”. Selama ini Shinta merasa tertekan. Benar memang ia adalah termasuk golongan keluarga berada, tapi ia sama sekali tak bahagia. Ia merasa menjadi ambisi ibunya. Ia bukannya mau menjadi anak membangkang. Dari dulu ia terkenal sebagai anak penurut dan shalihah, namun perbuatan ibunya sungguh terlalu. Melihat kondisi Shinta yang semakin hari semakin lesuh, bahkan jatuh sakit, bapaknya merasa iba. Dijelaskanlah semua keinginan dan kehendak Shinta. Ibunya tetap ngotot bahkan mengancam minta cerai, kalau ia membela anaknya.
            Perceraian pun akhirnya tak bisa dielakkan. Hati Shinta semakin hancur. Keluarga yang selama ini terbina dengan baik akhirnya kandas di tengah jalan. Ia merasa bersalah. Namun Ayahnya selalu membesarkan hatinya: “Nak! Kamu tak usah bersedih lagi. Sudah saatnya kamu bebas menentukan cita-citamu. Selama itu bermanfaat bagimu dan bernilai sosial, ayah pasti mendukung. Tenangkan hatimu. Demi kesuksesanmu ayah siap mengerahkan segenap tenaga untuk bekerja membantumu”. Bagi Shinta ayahnya selalu menjadi penawar di kala ia dirundung gulana. Setiap kali melihat wajah ayahnya, benih-benih optimis selalu tertanam dalam hatinya. Mulailah Shinta menekuni kuliah dan kegemarannya sebagai penulis. Ia belajar dengan rajin dan tekun. Dengan kecerdasan yang dimiliki serta kepiawaiannya dalam tulis-menulis, ia mendapat beasiswa penuh dari kampusnya. Ayahnya begitu bangga. Ketika anak pertamanya diberikan kesempatan untuk mengeksplorasi potensinya –jauh di luar perkiraannya- ia mampu menunjukkan prestasi terbaiknya, bahkan bisa semakin mandiri. Ia tak pernah membayangkan, bagaimana seandainya jika ia dipaksa menjadi dokter. “Ah pasti tidak akan sukses, malah terbebani” komentar Ahmad dalam hatinya.
            Ibu Shinta yang bernama, Rukmani el-Syifa Lestari lambat laun merasakan kesedihan yang mendalam. Ia hanya ditemani oleh anak lelakinya yang masih berusia tiga tahun. Sosok Shinta –yang sebenarnya sangat ia sayangi, meski memperlakukannya dengan cara yang salah- begitu membuatnya rindu. Sudah empat tahun ia tak berjumpa dengan putri tersayangnya. Ia sangat ingin sekali bertemu dengan Shinta, tapi ia tak mau menjilat ludah sendiri. Pasca perceraian itu, ia sudah menganggap Shinta bukan lagi sebagai anaknya. Baginya –ketika itu- yang menjadi anaknya ialah yang menurut dengan kemauannya. Setiap kali kali ingat Shintai, ia berusaha mengalihkan dengan hal lain, tapi tetap saja ia tidak mampu membohongi perasaannya sebagai seorang ibu yang melahirkannya. Hari-harinya dipenuhi dengan kesedihan-kesedihan yang dalam. Nasi sudah menjadi bubur. Satu-satunya harapan ialah membesarkan anak laki-lakinya, Satria Wicaksana.
            Pada suatu pagi –sebagaimana aktivitas sehari-hari- ibu Shinta membaca koran. Lembar demi lembar koran ia baca sebelum berangkat ke kantor. Betapa terkejutnya ia ketika membaca cerpen yang berjudul: “Ibu Jangan Pasung Aku”. Sebenarnya yang membuatnya terkejut pertama kali bukanlah judul cerpen itu. Yang membuatnya kaget ialah ternyata penulisnya adalah puterinya sendiri. Di tulisan itu terpampang jelas wajah puterinya yang begitu cantik dan anggun dengan jilbab khasnya. Putrinya sudah menjadi penulis cerpen terkenal di berbagai media. Kerinduan semakin memenuhi hatinya. Akhirnya ia baca sampai tuntas cerpen tulisan Shinta. Berurailah air mata secara spontan. Ia baru sadar kalau selama ini ia sangat diktator kepada anaknya. Dirinya sangat egois dan tak pernah memenuhi keinginan anaknya. Selama ini ia terlalu ambisius dengan cita-cita yang ia harap untuk anaknya. Ia baru sadar kenapa anaknya lebih dekat dengan ayahnya ketimbang dirinya. Tak pernah ia bayangkan sebelumnya, ternyata putrinya sekarang jauh lebih sukses dibanding rencana yang ia rancang sebelumnya. Berminggu-minggu setelah membaca tulisan itu, ia semakin rindu dan kepikiran akan putrinya. Penyesalan memang datang kemudian. Kini dirinya terkapar tak berdaya lantaran sakit keras. Dalam relung hatinya yang terdalam ia ingin bertemu putrinya kembali, dan menjalin kembali hubungan dengan suaminya.


Sumengko, Sabtu 09 Agustus 2014/16:16
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan