“Shinta! Pokoknya kamu harus nurut
ibu. Kamu harus ngambil jurusan kedokteran. Jika tidak, lebih baik kamu cari
biaya kuliah sendiri. Dan perlu kamu camkan baik-baik, jangan mikir cowok
dulu!. Kalaupun nanti kamu sudah waktunya nikah, carilah yang sudah mapan.
Jangan nyari yang pas-pasan. Pernikahan itu buka hanya butuh cinta, tapi juga
butuh materi. Kamu mau atas nama cinta, kehidupanmu sengsara dan hidup
terlunta-lunta!”. Demikian tanggapan ibu Shinta ketika ia mau minta izin
meneruskan kuliah jurusan Pendidikan Islam. Hatinya sungguh kecewa. Ia merasa
selama ini sudah menuruti kemauan orang tua. Ia terbilang sebagai anak penurut
sejak kecil. Selama ini ibunyalah yang menyetir kehidupannya. Satu-satunya yang
sepaham dan peduli sebenarnya hanya ayahnya, Ahmad Sucipto. Namun apa daya, ia
tak bisa berbuat apa-apa jika ibu sudah memutuskan. Apa lagi ayah Shinta hanya sebagai
guru ngaji yang penghasilannya tak begitu mencukupi. Sedangkan ibunya berprofesi
sebagai dokter umum yang sudah menjadi pegawai negeri.
Dalam keheningan malam, ia mengadu
pada Rabb Semesta Alam. Ia memohon petunjuk yang terbaik bagi hidupnya. Ia
meminta ibunya agar segera diberi kesadaran. Agar tak memaksakan kehendak. Ia
tak mau dirinya terpasung begitu lama yang semakin menyesakkan dada. “Ya Allah sadarkanlah
ibu hamba, yang mengukur segala sesuatu dengan kesuksesan harta. Hamba tak
pernah menafikan harta. Harta memang penting. Tapi bukankah itu hanyalah sarana
untuk menuju keridhaan-Mu. Bukankah untuk menuju keridhaanmu tak selalu dengan
harta. Ya Allah, bukalah pintu hati ibuku. Berilah dia pemahaman, agar mengerti
bakat dan potensi anaknya!”. Selama ini Shinta merasa tertekan. Benar memang ia
adalah termasuk golongan keluarga berada, tapi ia sama sekali tak bahagia. Ia
merasa menjadi ambisi ibunya. Ia bukannya mau menjadi anak membangkang. Dari
dulu ia terkenal sebagai anak penurut dan shalihah, namun perbuatan ibunya
sungguh terlalu. Melihat kondisi Shinta yang semakin hari semakin lesuh, bahkan
jatuh sakit, bapaknya merasa iba. Dijelaskanlah semua keinginan dan kehendak
Shinta. Ibunya tetap ngotot bahkan mengancam minta cerai, kalau ia membela
anaknya.
Perceraian pun akhirnya tak bisa
dielakkan. Hati Shinta semakin hancur. Keluarga yang selama ini terbina dengan
baik akhirnya kandas di tengah jalan. Ia merasa bersalah. Namun Ayahnya selalu
membesarkan hatinya: “Nak! Kamu tak usah bersedih lagi. Sudah saatnya kamu
bebas menentukan cita-citamu. Selama itu bermanfaat bagimu dan bernilai sosial,
ayah pasti mendukung. Tenangkan hatimu. Demi kesuksesanmu ayah siap mengerahkan
segenap tenaga untuk bekerja membantumu”. Bagi Shinta ayahnya selalu menjadi penawar
di kala ia dirundung gulana. Setiap kali melihat wajah ayahnya, benih-benih
optimis selalu tertanam dalam hatinya. Mulailah Shinta menekuni kuliah dan
kegemarannya sebagai penulis. Ia belajar dengan rajin dan tekun. Dengan
kecerdasan yang dimiliki serta kepiawaiannya dalam tulis-menulis, ia mendapat
beasiswa penuh dari kampusnya. Ayahnya begitu bangga. Ketika anak pertamanya
diberikan kesempatan untuk mengeksplorasi potensinya –jauh di luar
perkiraannya- ia mampu menunjukkan prestasi terbaiknya, bahkan bisa semakin
mandiri. Ia tak pernah membayangkan, bagaimana seandainya jika ia dipaksa
menjadi dokter. “Ah pasti tidak akan sukses, malah terbebani” komentar Ahmad
dalam hatinya.
Ibu Shinta yang bernama, Rukmani
el-Syifa Lestari lambat laun merasakan kesedihan yang mendalam. Ia hanya
ditemani oleh anak lelakinya yang masih berusia tiga tahun. Sosok Shinta –yang sebenarnya
sangat ia sayangi, meski memperlakukannya dengan cara yang salah- begitu
membuatnya rindu. Sudah empat tahun ia tak berjumpa dengan putri tersayangnya.
Ia sangat ingin sekali bertemu dengan Shinta, tapi ia tak mau menjilat ludah
sendiri. Pasca perceraian itu, ia sudah menganggap Shinta bukan lagi sebagai
anaknya. Baginya –ketika itu- yang menjadi anaknya ialah yang menurut dengan
kemauannya. Setiap kali kali ingat Shintai, ia berusaha mengalihkan dengan hal
lain, tapi tetap saja ia tidak mampu membohongi perasaannya sebagai seorang ibu
yang melahirkannya. Hari-harinya dipenuhi dengan kesedihan-kesedihan yang
dalam. Nasi sudah menjadi bubur. Satu-satunya harapan ialah membesarkan anak
laki-lakinya, Satria Wicaksana.
Pada suatu pagi –sebagaimana aktivitas
sehari-hari- ibu Shinta membaca koran. Lembar demi lembar koran ia baca sebelum
berangkat ke kantor. Betapa terkejutnya ia ketika membaca cerpen yang berjudul:
“Ibu Jangan Pasung Aku”. Sebenarnya yang membuatnya terkejut pertama kali
bukanlah judul cerpen itu. Yang membuatnya kaget ialah ternyata penulisnya adalah
puterinya sendiri. Di tulisan itu terpampang jelas wajah puterinya yang begitu
cantik dan anggun dengan jilbab khasnya. Putrinya sudah menjadi penulis cerpen
terkenal di berbagai media. Kerinduan semakin memenuhi hatinya. Akhirnya ia
baca sampai tuntas cerpen tulisan Shinta. Berurailah air mata secara spontan.
Ia baru sadar kalau selama ini ia sangat diktator kepada anaknya. Dirinya sangat
egois dan tak pernah memenuhi keinginan anaknya. Selama ini ia terlalu ambisius
dengan cita-cita yang ia harap untuk anaknya. Ia baru sadar kenapa anaknya
lebih dekat dengan ayahnya ketimbang dirinya. Tak pernah ia bayangkan
sebelumnya, ternyata putrinya sekarang jauh lebih sukses dibanding rencana yang
ia rancang sebelumnya. Berminggu-minggu setelah membaca tulisan itu, ia semakin
rindu dan kepikiran akan putrinya. Penyesalan memang datang kemudian. Kini
dirinya terkapar tak berdaya lantaran sakit keras. Dalam relung hatinya yang
terdalam ia ingin bertemu putrinya kembali, dan menjalin kembali hubungan
dengan suaminya.
Sumengko, Sabtu
09 Agustus 2014/16:16
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !