Bersamaan dengan peringatan kemerdekaan negara
Indonesia, ada suasana lain di desa Sarikhuluk. Kalau di desa-desa lain ramai
diadakan lomba-lomba yang bersifat fisik seperti sepak bola, lari, bulu
tangkis, balap kelereng dan lain sebagainya, lain halnya dengan yang diadakan
Sarikhuluk dengan penduduk desa Jumeneng. Pada kesempatan HUT NKRI yang ke enam
puluh sembilan, Sarikhuluk bersama warga sedang memberikan hadiah kepada para
pemenang lomba karya tulis bebas yang diselenggarakan sejak seminggu sebelum
peringatan kemerdekaan Indonesia. Animo masyarakat terhadap lomba yang diadakan
Sarikhuluk bersama warga lumayan tinggi. Lomba ini diikuti oleh berbagai
kalangan masyarakat. Dari kecil hingga dewasa, dari yang kaya sampai yang
miskin, dari yang sekolah yang tidak sekolah sampai yang sekolah, semua berpartisipasi
dan menyambut baik. Semua tulisan yang terkumpul di tangan panitia berjumlah
115 tulisan. Ragam tulisan yang ditulis beraneka ragam. Ada puisi, sajakk, artikel,
cerpen, opini, kolom, bahkan yang awut-awutan pun ada. Tapi semuanya sangat
menarik dan menggambarkan bahwa desa Jumeneng sangat antusias dalam peringatan
kemerdekaan Indonesia.
Dari
kesekian banyak tulisan, ada tiga yang terpilih menjadi pemenang. Ketiga
tulisan itu ialah: “Negara Setengah Merdeka”, “Merdeka Lahir Batin”, dan “Benarkah
Kita Merdeka?”. Tulisan yang menjadi pemeneng ialah yang berjudul: “Negara
Setengah Merdeka” karya Salamudin Margo Utomo. Salah satu pertimbangan panitia
memenangkan karya Salamudin ialah disamping tulisannya yang unik, menggelitik,
kritis, cerdas dan menarik, panitia juga melihat kepada personal Salamudin.
Salamudin ini sejak kecil terkenal miskin dan yatim (ia kehilangan ibu dan
ayahnya ketika berusia sepuluh tahun, ketika terjadi banjir bandang).
Saudaranya banyak. Mau tidak mau karena dia adalah saudara paling tua, akhirnya dia mengalah
untuk tidak sekolah demi adek-adeknya. Dialah yang menjadi tulang punggung
keluarganya. Sejak kecil dia dikenal sebagai anak yang disiplin, mandiri, baik
dan sopan. Ia punya prinsip: “Tidak mengapa aku tidak sekolah, yang penting aku
bisa menghidupi dan menyekolahkan adik-adikku”. Meski sempat sekolah hanya tiga
tahun di SD, namun semangatnya untuk mencari ilmu sangat tinggi. Baginya untuk
mencari ilmu tak harus di sekolah.
Tulisan
Salamudin menurut keputusan panitia menjadi yang terbaik, bisa dianalisa
sebagai berikut: Pertama: Judulnya sangat unik dan menarik. Siapa saja yang membacanya
pasti bertanya-tanya: “Negara Indonesia ini `kan sudah 69 tahun merdeka, lha
kok pakai setengah merdeka segala. Lalu selama ini apa kita tidak merdeka?”.
Kedua: Isi tulisannya sangat kritis. Menurutnya, kemerdekaan Indonesia yang
sudah 69 tahun ini hanya pada tataran yang simbolik dan formalistis. Sebagai
negara mungkin kita memang –secara formal- diakui telah merdeka, tetapi secara
tidak sadar pada waktu yang sama kita masih terjajah. Dengan bahasa yang
renyah, gampang dan menarik, Salamudin mampu mengungkap bentuk keterjajahan
dari berbagai dimensi baik itu politik, budaya, kesehatan, agama, sosial, dan
lain sebagainya. Penjajahan modern menurutnya bukan lagi menggunakan penjajahan
fisik. Penjajahan model baru didesain dengan sangat halus dan sistematis.
Karena sangat halus dan sistematisnya, orang yang terjajah sampai tidak merasa
kalau sedang terjajah. Yang dijajah ialah pikiran dengan senjata ampuh yang
bernama media masa. Ketika yang terjajah diingatkan bahwa dirinya sedang
terjajah, malah si terjajah membela mati-matian bahwa yang dia lakukan adalah
simbol kemajuan. Ia menyangka dengan menurut tren budaya asing, maka secara
otomatis akan menjadi maju terbimbing.
Selanjutnya,
tulisan Salamudin juga menggunakan bahasa yang cerdas, lugas dan bernas. Para
panitia –termasuk Sarikhuluk- dibuat kagum oleh gaya bahasanya. Tak hanya
pandai memainkan kata-kata, tapi dia juga pandai menggunakan dalil-dalil
normatif. “Dari mana dia belajar sampai bisa seperti itu. Wong selama
ini dia sibuk bekerja untuk menyekolahkan adik-adiknya?” ungkap Parman (yang
juga sebagai panitia) keheranan. Tulisan Salamudin juga tidak melulu berisi
kritikan. Dalam tulisannya ia juga memberikan solusi-solusi untuk menghadapi
penjajahan yang canggih dan tidak kentara. Ia mengatakan: “Bukan berarti kita
menolak semua yang ada dari luar supaya kita bisa merdeka seutuhnya. Jangan
sampai kita latah, gampang silau dengan yang kita dapat dari luar diri kita.
Ibarat makanan perlu dikunyah terlebih dahulu supaya bisa menimbulkan
metabolisme tubuh yang baik dan lancar. Cara mengunyah yang dengan pikiran.
Jangan gampang kaget dan kagum. Yang mengagumkan belum tentu baik dan benar.
Kita buka pikiran masyarakat dengan kegiatan budaya yang mencerahkan pikiran.
Nilai-nilai agama juga tidak kalah pentingnya terus ditanamkan kepada
masyarakat sebagai kontrol dari derasnya arus budaya asing yang mengontaminasi
budaya nasional. Yang baik diambil, yang buruk dibuang”. Paino sebagai sekretaris
panitia berkomentar: “Baru kali ini aku tau kalau Si Mudin(Salamudin) bisa
nulis. Tau gitu tiap bulan bisa disuruh nulis di mading Sarikhuluk”.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !