Home » » Negara Setengah Merdeka

Negara Setengah Merdeka

Written By Amoe Hirata on Minggu, 17 Agustus 2014 | 19.38

            Bersamaan dengan peringatan kemerdekaan negara Indonesia, ada suasana lain di desa Sarikhuluk. Kalau di desa-desa lain ramai diadakan lomba-lomba yang bersifat fisik seperti sepak bola, lari, bulu tangkis, balap kelereng dan lain sebagainya, lain halnya dengan yang diadakan Sarikhuluk dengan penduduk desa Jumeneng. Pada kesempatan HUT NKRI yang ke enam puluh sembilan, Sarikhuluk bersama warga sedang memberikan hadiah kepada para pemenang lomba karya tulis bebas yang diselenggarakan sejak seminggu sebelum peringatan kemerdekaan Indonesia. Animo masyarakat terhadap lomba yang diadakan Sarikhuluk bersama warga lumayan tinggi. Lomba ini diikuti oleh berbagai kalangan masyarakat. Dari kecil hingga dewasa, dari yang kaya sampai yang miskin, dari yang sekolah yang tidak sekolah sampai yang sekolah, semua berpartisipasi dan menyambut baik. Semua tulisan yang terkumpul di tangan panitia berjumlah 115 tulisan. Ragam tulisan yang ditulis beraneka ragam. Ada puisi, sajakk, artikel, cerpen, opini, kolom, bahkan yang awut-awutan pun ada. Tapi semuanya sangat menarik dan menggambarkan bahwa desa Jumeneng sangat antusias dalam peringatan kemerdekaan Indonesia.
            Dari kesekian banyak tulisan, ada tiga yang terpilih menjadi pemenang. Ketiga tulisan itu ialah: “Negara Setengah Merdeka”, “Merdeka Lahir Batin”, dan “Benarkah Kita Merdeka?”. Tulisan yang menjadi pemeneng ialah yang berjudul: “Negara Setengah Merdeka” karya Salamudin Margo Utomo. Salah satu pertimbangan panitia memenangkan karya Salamudin ialah disamping tulisannya yang unik, menggelitik, kritis, cerdas dan menarik, panitia juga melihat kepada personal Salamudin. Salamudin ini sejak kecil terkenal miskin dan yatim (ia kehilangan ibu dan ayahnya ketika berusia sepuluh tahun, ketika terjadi banjir bandang). Saudaranya banyak. Mau tidak mau karena dia adalah  saudara paling tua, akhirnya dia mengalah untuk tidak sekolah demi adek-adeknya. Dialah yang menjadi tulang punggung keluarganya. Sejak kecil dia dikenal sebagai anak yang disiplin, mandiri, baik dan sopan. Ia punya prinsip: “Tidak mengapa aku tidak sekolah, yang penting aku bisa menghidupi dan menyekolahkan adik-adikku”. Meski sempat sekolah hanya tiga tahun di SD, namun semangatnya untuk mencari ilmu sangat tinggi. Baginya untuk mencari ilmu tak harus di sekolah.
            Tulisan Salamudin menurut keputusan panitia menjadi yang terbaik, bisa dianalisa sebagai berikut: Pertama: Judulnya sangat unik dan menarik. Siapa saja yang membacanya pasti bertanya-tanya: “Negara Indonesia ini `kan sudah 69 tahun merdeka, lha kok pakai setengah merdeka segala. Lalu selama ini apa kita tidak merdeka?”. Kedua: Isi tulisannya sangat kritis. Menurutnya, kemerdekaan Indonesia yang sudah 69 tahun ini hanya pada tataran yang simbolik dan formalistis. Sebagai negara mungkin kita memang –secara formal- diakui telah merdeka, tetapi secara tidak sadar pada waktu yang sama kita masih terjajah. Dengan bahasa yang renyah, gampang dan menarik, Salamudin mampu mengungkap bentuk keterjajahan dari berbagai dimensi baik itu politik, budaya, kesehatan, agama, sosial, dan lain sebagainya. Penjajahan modern menurutnya bukan lagi menggunakan penjajahan fisik. Penjajahan model baru didesain dengan sangat halus dan sistematis. Karena sangat halus dan sistematisnya, orang yang terjajah sampai tidak merasa kalau sedang terjajah. Yang dijajah ialah pikiran dengan senjata ampuh yang bernama media masa. Ketika yang terjajah diingatkan bahwa dirinya sedang terjajah, malah si terjajah membela mati-matian bahwa yang dia lakukan adalah simbol kemajuan. Ia menyangka dengan menurut tren budaya asing, maka secara otomatis akan menjadi maju terbimbing.
            Selanjutnya, tulisan Salamudin juga menggunakan bahasa yang cerdas, lugas dan bernas. Para panitia –termasuk Sarikhuluk- dibuat kagum oleh gaya bahasanya. Tak hanya pandai memainkan kata-kata, tapi dia juga pandai menggunakan dalil-dalil normatif. “Dari mana dia belajar sampai bisa seperti itu. Wong selama ini dia sibuk bekerja untuk menyekolahkan adik-adiknya?” ungkap Parman (yang juga sebagai panitia) keheranan. Tulisan Salamudin juga tidak melulu berisi kritikan. Dalam tulisannya ia juga memberikan solusi-solusi untuk menghadapi penjajahan yang canggih dan tidak kentara. Ia mengatakan: “Bukan berarti kita menolak semua yang ada dari luar supaya kita bisa merdeka seutuhnya. Jangan sampai kita latah, gampang silau dengan yang kita dapat dari luar diri kita. Ibarat makanan perlu dikunyah terlebih dahulu supaya bisa menimbulkan metabolisme tubuh yang baik dan lancar. Cara mengunyah yang dengan pikiran. Jangan gampang kaget dan kagum. Yang mengagumkan belum tentu baik dan benar. Kita buka pikiran masyarakat dengan kegiatan budaya yang mencerahkan pikiran. Nilai-nilai agama juga tidak kalah pentingnya terus ditanamkan kepada masyarakat sebagai kontrol dari derasnya arus budaya asing yang mengontaminasi budaya nasional. Yang baik diambil, yang buruk dibuang”. Paino sebagai sekretaris panitia berkomentar: “Baru kali ini aku tau kalau Si Mudin(Salamudin) bisa nulis. Tau gitu tiap bulan bisa disuruh nulis di mading Sarikhuluk”.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan