Home » » Cinta Bermodal ‘99 Penolakan’

Cinta Bermodal ‘99 Penolakan’

Written By Amoe Hirata on Senin, 04 Agustus 2014 | 09.22


            Namaku Ari Prasetyo. Orang-orang kampung biasa memanggilku dengan sebutan: Kasjuri(jauh banget `kan dengan nama asliku?). Bartahun-tahun –hingga umurku 30 tahun saat in- aku ga mengerti kenapa mereka memanggilku demikian. Baru kemarin aku diberitahu oleh Kepala Rt, Bpk. Wahyudin Abdul Shomad, sepulang aku mencarikan rumput untuk ternak sapinya. Dengan wajah penuh wibawa, dia bertanya padaku: “Jur!(panggilan singkatku). Kamu tau kenapa orang-orang dikampung memanggilmu dengan panggilan, ‘Kasjuri’?”. “Maaf Pak, saya tidak tahu” jawabku sambil malu-malu. “Kasjuri, singkatan dari: Akas, Jujur dan Mandiri. Sejak kecil kamu dikenal akas, jujur dan mandiri. Meskipun telah menjadi yatim sejak usia tujuh tahun, kamu –tidak seperti anak pada umumnya- sudah bisa mandiri dan bekerja dengan akas(gesit, cekatan). Terlebih kamu juga dikenal penduduk kampung sebagai pemuda yang jujur dan amanah. Kamu memang hanya mengenyam pendidikan di SD, tapi semangat, mu itu lho mengalahkan anak-anak seusiamu. Sangat langkah dijumpai pemuda sepertimu.” Demikian penjelasan Pak Shomad. Seperti biasa aku hanya bisa senyum dan tidak bisa menimpali apa-apa. Tapi jujur aku kepikiran selama perjalanan kerumah. Selama ini menurutku akas, jujur dan mandiri adalah kewajarab bahkan keharusan. Kenapa kok begitu istimewa ya di benak mereka. Yo wes lah, ga usah dipikir dalam-dalam.
            Sampai usiaku 30 tahun aku bertahan membujang. Jangan bilang aku ga kepikiran wanita lho ya? Jangan bilang  aku tidak tertarik dengan cewek. Sampai sekarang aku kepikiran, aku tertarik, bahkan aku juga berusah berkali-kali. Namun tetap saja gagal. Hehehehe......mungkin belum diizinkan. Nah ini barangkali yang akan aku bagikan pada kalian. Sekelumit kisah perjalan cinta yang penuh lika-liku dan tak jarang membuatku pilu. Tap sebelumnya tak jelasin dulu, secara postur tubuh tinggiku sedang-sedang saja untuk ukuran pemuda Indonesia –bahkan cendrung ke pendek-. Wajahku juga sangat pas-pasan dan sederhan-cendrung ke jelek-. Sejak awal aku sadar diri kalau tak memiliki fisik yang begitu istimewa, tapi aku juga yakin kalau cinta ga mengharuskan fisik oke. Ketika aku berusia dua puluh lima tahun –sesuai dengan rencanaku yang ingin menikah pada usia 25 tahun-, aku mulai berikhtiar mencari jodoh. Tertariklah aku pertama kali pada gadis yang bernama Siti Lasmini. Anaknya cantik, berpendidikan, dan berasal dari keluarga baik-baik. Sudah bisa ditebak, waktu aku memintanya menjadi istriku, bukan saja aku dihina bahkan diludahi. Anehnya aku ga marah, malah tambah semangat untuk mencari lagi(mungkin saja karena aku sudah terbiasa menderita). Hampir 20 kali lebih tiap tahun aku berikhtiar mencari calon istri. Hasilnya selalu nihil. Kadang anaknya setuju, orang tuanya ga setuju. Tapi kebanyakan baik orang tua maupun anak ga setuju.
            Aku tetap tegar dan tetap berusaha dengan keras. Aku tetap semangat dan tak patah arang. Tapi tetap saja gagal hingga mencapai ke-99 kali kegagalan. Anehnya aku ga sedih dan tetap semangat. Dalam hati kecil aku menggumam: “Bismillah. Semoga pada usaha yang keseratus, aku bisa mendapat calon istri”. Ikhtiar mencari calon istri yang keseratus kali ini terjadi ketika dengan tak sengaja, aku diminta mengantar Pak Shomad yang mau menjenguk putranya yang mondok di pesantren Al-Hikam. Di sana aku berjumpa sosok perempuan yang anggun, menyejukkan hati dan jiwa. Dia tidak cantik, meski juga tidak jelek. Bagiku cara dia berjalan, cara dia bersikap, adalah paduan yang mantap untuk dijadikan sebagai seorang istri. Selama ini usahaku tertuju pada cewek-cewek yang tak berjilbab. Semua gagal dan yang kudapatkan selalu kegagalan dan cercaan. Ketika aku berjumpa dengan gadis ke seratus di pondok Al-Hikam, tiba-tiba aku merasa aneh. Semangatku begitu menggebu. Aku begitu berharap. Sampai-sampai aku memberanikan diri kepada Pak Shomad, untuk menanyakan gadis itu kepada pemimpin pesantren. Al-hamdulillah, akhirnya aku mendapat jawaban. Gadis itu bernama Arsyidna Nailun Najah. Seorang ustadzah yang usianya sudah 31 tahun terpaut dua tahun di atasku. Yang membuatku lega, ialah informasi dari Pak Shomad bahwa gadis itu siap nikah dengan siapa saja asal baik.
            Dengan semangat yang menggebu, ketika aku ada waktu longgar, Pak Shomad aku ajak meminta gadis itu langsung ke pesantren. Pertemuan pun berlangsung. Pada akhirnya aku pun bertemu dengan kedua orang tuanya yang terbilang sebagai keluarga berada. Meski aku melihat aura ketidaksetujuan dari kedua orang tuanya, namun akhirnya kami sepakat untuk mengikat janji melalui lamaran yang sangat bersahaja. Betapa bahagianya diriku, ternyata pada ikhtiar yang keseratus, aku mendapatkan dambaan hatiku. Betapa bersyukurnya aku, pada usaha yang keseratus, aku mendapatkan calon istri yang shalihah. Kebahagiaan itu terus berlanjut sampai akhirnya pada hari Rabu malam, menjelang aku tidur, aku mendapat sms yang begitu menyakitkan. Aku mendapat sms dari Nailun: “Maaf sebelumnya Mas, bukannya saya ingin mengecewakan Mas, tapi saya harus jujur. Daripada saya menjalani hubungan tanpa cinta dan berakhir dalam perceraian, lebih baik kita akhiri saja hubungan ini. Saya juga sudah mendapat orang yang saya cintai, yang –maaf sebelumnya- lebih baik daripada Mas. Orang tua saya sebenarnya sedari awal tidak setuju. Mereka setuju karena sudah tak ada jalan lagi. Sekali lagi maaf ya Mas, atas nama Nailun sekeluarga, saya minta maaf sebesar-besarnya. Semoga Mas mendapat wanita yang lebih baik daripada Nailun. Wassalam.”
            Tak seperti kegagalan-kegagalan yang sebelumnya, ketika aku mendapat sms dari Nailun, hatiku seakan hancur disambar guntur. Aku sangat berharap sama dia. Aku sangat mendambakan dia, karena aku yakin akan keshalihannya, namun siapa yang menyangka akan mendapat musibah seperti ini. Aku sudah melamarnya langsung ke pada orang tuanya, dan disertai dengan rombongan keluarga dari kampungku, keluarga Nailun pun juga setuju. Tapi, oh betapa sakitnya. Cinta yang sudah berpatri dalam hati, dihancurkan dengan cara yang menurutku sangat merendahkan harga diri. Bayangkan sosok yang aku anggap shalihah, berjilbab, ustadzah dari pondok, ternyata melakukan perbuatan yang jauh dari nalar keislaman. Bukankah Islam mengajarkan untuk menjaga amanah, menepati janji. Kalaupun tak jadi, apa seperti ini penyelesaian terbaik. Hatiku hancur sehancur-hancurnya. Lengkap sudah aku mendapat kegagalan yang seratus. Sama-sama gagal, tapi yang membedakan ialah kalau pada kegagalan sebelumnya aku tambah semangat dan tak putus asa mencari, tapi pada yang keseratus, hatiku seolah hancur, tiba-tiba aku merasa lemah dan putus asa.
            Berhari-hari aku tak bekerja dan tak keluar rumah. Di samping malu, sedih, dan kecewa aku mulai ragu dengan yang namanya pernikahan. Bahkan dalam batin aku mulai mencari pembenaran: “Barangkali aku ditakdirkan jadi bujang seumur hidup”. Tak hanya itu, aku menjadi benci pada perempuan berjilbab. Berhari-hari tak keluar membuat Pak Shomad dan orang-orang kampung resah, bertanya-tanya dan merasa kehilangan. Selama ini aku sangat aktif membantu mereka, baik dikasih imbalan maupun tidak. Di mata mereka aku adalah pemudah yang akas, jujur dan mandiri. Aku tak segan-segan menolong siapa saja dan apa saja. Kondisi demikian membuat Pak Shomad datang ke rumahku seraya menanyakan segala yang terjadi. Pak Shomad pun terharu. Hampir saja air matanya menetes. Beliau memberi semangat, dorongan dan penguatan mental. Namun tak jua berhasil. Aku sudah terlanjur tersakiti. Sebelum Pak Shomad keluar dari rumahku, dia berpesan: “Kamu sabar dulu. Tetap semangat, dan yakinlah Allah bersamamu”. Aku tak bisa menjawabnya. Aku larut dalam kesedihan. Beberapa hari kemudian, Pak Shomad membawa kabar gembira. Ia mengatakan telah mendapat calon terbaik untuknya. Gadis itu merupakan keponakan Pak Shomad yang tinggal di luar Jawa. Anaknya lumayan cantik, pintar dan shalihah. Pertama aku langsung menolak. Aku sudah terlanjur benci sama cewek berjilbab, aku juga merasa tidak enak jika pada akhirnya nanti ga jadi, hubunganku dengan Pak Shomad menjadi jelek.
            Berkali-kali Pak Shomad meyakinkanku. Berkali-kali juga aku menolaknya. Aku menjelaskan kepadanya berbagai macam alasan yang aku harap meluluhkan harinya agar tidak bersi keras menjodohkanku dengan keponakannya, yang kelak aku ketahui bernama Safinah Yumna. Pada akhirnya aku ga tahan. Aku turuti saja kemauan Pak Shomad. Tapi aku sudah bertekad bulat dalam hati, seandainya nanti gagal lagi, aku akan meninggalkan kampung halaman dan tinggal di tanah rantau dimanapun itu. Setelah ku jalani, semua yang dinyatakan Pak Shomad ternyata benar. Aku belum pernah menjumpai wanita yang lahir batinnya sama-sama cantik. Dia begitu ramah, sopan dan baik. Tutur katanya lembut. Dia tidak banyak bicara, tapi sekali berbicara selalu berbobot dan penuh makna. Lambat laun hatiku yang gersang, terasa dingin oleh air kasih dan cinta Safinah. Baru kali ini aku berjumpa dengan cewek yang benar-benar melihat orang dari ketampanan hatinya. Aku menangis karena suka cita. Ternyata begitu indah skenario Tuhan. Harapan dan impian pun bertumbuh subur dalam ladang hati yang dipenuhi bunga-bunga cinta. Akhirnya aku pun nikah dengan Safinah dan dikaruniai lima anak (isyaallah akan nambah lagi hehehe J). Ketika aku menulis tulisan ini, aku sedang ditemani oleh bidadariku yang tercinta menjelang tidur malam. Aku berharap bagi siapa saja yang membacanya bisa mengambil hikmah. Terutama bagi orang yang beriktiar mencari istri tapi selalu gagal, jangan pernah putus asa! Allah selalu menyediakan yang terbaik bagi kita asal tidak gampang menyerah dengan keadaan. Semoga bermanfaat.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan