Namaku
Ari Prasetyo. Orang-orang kampung biasa memanggilku dengan sebutan: Kasjuri(jauh
banget `kan dengan nama asliku?). Bartahun-tahun –hingga umurku 30 tahun saat
in- aku ga mengerti kenapa mereka memanggilku demikian. Baru kemarin aku
diberitahu oleh Kepala Rt, Bpk. Wahyudin Abdul Shomad, sepulang aku mencarikan
rumput untuk ternak sapinya. Dengan wajah penuh wibawa, dia bertanya padaku: “Jur!(panggilan
singkatku). Kamu tau kenapa orang-orang dikampung memanggilmu dengan panggilan,
‘Kasjuri’?”. “Maaf Pak, saya tidak tahu” jawabku sambil malu-malu. “Kasjuri,
singkatan dari: Akas, Jujur dan Mandiri. Sejak kecil kamu dikenal akas, jujur
dan mandiri. Meskipun telah menjadi yatim sejak usia tujuh tahun, kamu –tidak seperti
anak pada umumnya- sudah bisa mandiri dan bekerja dengan akas(gesit, cekatan).
Terlebih kamu juga dikenal penduduk kampung sebagai pemuda yang jujur dan
amanah. Kamu memang hanya mengenyam pendidikan di SD, tapi semangat, mu itu lho
mengalahkan anak-anak seusiamu. Sangat langkah dijumpai pemuda sepertimu.” Demikian
penjelasan Pak Shomad. Seperti biasa aku hanya bisa senyum dan tidak bisa
menimpali apa-apa. Tapi jujur aku kepikiran selama perjalanan kerumah. Selama
ini menurutku akas, jujur dan mandiri adalah kewajarab bahkan keharusan. Kenapa
kok begitu istimewa ya di benak mereka. Yo wes lah, ga usah dipikir dalam-dalam.
Sampai
usiaku 30 tahun aku bertahan membujang. Jangan bilang aku ga kepikiran wanita
lho ya? Jangan bilang aku tidak tertarik
dengan cewek. Sampai sekarang aku kepikiran, aku tertarik, bahkan aku juga
berusah berkali-kali. Namun tetap saja gagal. Hehehehe......mungkin belum
diizinkan. Nah ini barangkali yang akan aku bagikan pada kalian. Sekelumit
kisah perjalan cinta yang penuh lika-liku dan tak jarang membuatku pilu. Tap
sebelumnya tak jelasin dulu, secara postur tubuh tinggiku sedang-sedang saja
untuk ukuran pemuda Indonesia –bahkan cendrung ke pendek-. Wajahku juga sangat
pas-pasan dan sederhan-cendrung ke jelek-. Sejak awal aku sadar diri kalau tak
memiliki fisik yang begitu istimewa, tapi aku juga yakin kalau cinta ga
mengharuskan fisik oke. Ketika aku berusia dua puluh lima tahun –sesuai dengan
rencanaku yang ingin menikah pada usia 25 tahun-, aku mulai berikhtiar mencari
jodoh. Tertariklah aku pertama kali pada gadis yang bernama Siti Lasmini.
Anaknya cantik, berpendidikan, dan berasal dari keluarga baik-baik. Sudah bisa
ditebak, waktu aku memintanya menjadi istriku, bukan saja aku dihina bahkan
diludahi. Anehnya aku ga marah, malah tambah semangat untuk mencari
lagi(mungkin saja karena aku sudah terbiasa menderita). Hampir 20 kali lebih
tiap tahun aku berikhtiar mencari calon istri. Hasilnya selalu nihil. Kadang
anaknya setuju, orang tuanya ga setuju. Tapi kebanyakan baik orang tua maupun
anak ga setuju.
Aku
tetap tegar dan tetap berusaha dengan keras. Aku tetap semangat dan tak patah
arang. Tapi tetap saja gagal hingga mencapai ke-99 kali kegagalan. Anehnya aku
ga sedih dan tetap semangat. Dalam hati kecil aku menggumam: “Bismillah. Semoga
pada usaha yang keseratus, aku bisa mendapat calon istri”. Ikhtiar mencari
calon istri yang keseratus kali ini terjadi ketika dengan tak sengaja, aku
diminta mengantar Pak Shomad yang mau menjenguk putranya yang mondok di
pesantren Al-Hikam. Di sana aku berjumpa sosok perempuan yang anggun,
menyejukkan hati dan jiwa. Dia tidak cantik, meski juga tidak jelek. Bagiku
cara dia berjalan, cara dia bersikap, adalah paduan yang mantap untuk dijadikan
sebagai seorang istri. Selama ini usahaku tertuju pada cewek-cewek yang tak
berjilbab. Semua gagal dan yang kudapatkan selalu kegagalan dan cercaan. Ketika
aku berjumpa dengan gadis ke seratus di pondok Al-Hikam, tiba-tiba aku merasa
aneh. Semangatku begitu menggebu. Aku begitu berharap. Sampai-sampai aku
memberanikan diri kepada Pak Shomad, untuk menanyakan gadis itu kepada pemimpin
pesantren. Al-hamdulillah, akhirnya aku mendapat jawaban. Gadis itu bernama
Arsyidna Nailun Najah. Seorang ustadzah yang usianya sudah 31 tahun terpaut dua
tahun di atasku. Yang membuatku lega, ialah informasi dari Pak Shomad bahwa
gadis itu siap nikah dengan siapa saja asal baik.
Dengan
semangat yang menggebu, ketika aku ada waktu longgar, Pak Shomad aku ajak meminta
gadis itu langsung ke pesantren. Pertemuan pun berlangsung. Pada akhirnya aku
pun bertemu dengan kedua orang tuanya yang terbilang sebagai keluarga berada.
Meski aku melihat aura ketidaksetujuan dari kedua orang tuanya, namun akhirnya
kami sepakat untuk mengikat janji melalui lamaran yang sangat bersahaja. Betapa
bahagianya diriku, ternyata pada ikhtiar yang keseratus, aku mendapatkan
dambaan hatiku. Betapa bersyukurnya aku, pada usaha yang keseratus, aku
mendapatkan calon istri yang shalihah. Kebahagiaan itu terus berlanjut sampai
akhirnya pada hari Rabu malam, menjelang aku tidur, aku mendapat sms yang
begitu menyakitkan. Aku mendapat sms dari Nailun: “Maaf sebelumnya Mas,
bukannya saya ingin mengecewakan Mas, tapi saya harus jujur. Daripada saya
menjalani hubungan tanpa cinta dan berakhir dalam perceraian, lebih baik kita
akhiri saja hubungan ini. Saya juga sudah mendapat orang yang saya cintai, yang
–maaf sebelumnya- lebih baik daripada Mas. Orang tua saya sebenarnya sedari
awal tidak setuju. Mereka setuju karena sudah tak ada jalan lagi. Sekali lagi
maaf ya Mas, atas nama Nailun sekeluarga, saya minta maaf sebesar-besarnya.
Semoga Mas mendapat wanita yang lebih baik daripada Nailun. Wassalam.”
Tak
seperti kegagalan-kegagalan yang sebelumnya, ketika aku mendapat sms dari
Nailun, hatiku seakan hancur disambar guntur. Aku sangat berharap sama dia. Aku
sangat mendambakan dia, karena aku yakin akan keshalihannya, namun siapa yang
menyangka akan mendapat musibah seperti ini. Aku sudah melamarnya langsung ke
pada orang tuanya, dan disertai dengan rombongan keluarga dari kampungku,
keluarga Nailun pun juga setuju. Tapi, oh betapa sakitnya. Cinta yang sudah
berpatri dalam hati, dihancurkan dengan cara yang menurutku sangat merendahkan
harga diri. Bayangkan sosok yang aku anggap shalihah, berjilbab, ustadzah dari
pondok, ternyata melakukan perbuatan yang jauh dari nalar keislaman. Bukankah
Islam mengajarkan untuk menjaga amanah, menepati janji. Kalaupun tak jadi, apa
seperti ini penyelesaian terbaik. Hatiku hancur sehancur-hancurnya. Lengkap
sudah aku mendapat kegagalan yang seratus. Sama-sama gagal, tapi yang
membedakan ialah kalau pada kegagalan sebelumnya aku tambah semangat dan tak
putus asa mencari, tapi pada yang keseratus, hatiku seolah hancur, tiba-tiba
aku merasa lemah dan putus asa.
Berhari-hari
aku tak bekerja dan tak keluar rumah. Di samping malu, sedih, dan kecewa aku
mulai ragu dengan yang namanya pernikahan. Bahkan dalam batin aku mulai mencari
pembenaran: “Barangkali aku ditakdirkan jadi bujang seumur hidup”. Tak hanya
itu, aku menjadi benci pada perempuan berjilbab. Berhari-hari tak keluar
membuat Pak Shomad dan orang-orang kampung resah, bertanya-tanya dan merasa
kehilangan. Selama ini aku sangat aktif membantu mereka, baik dikasih imbalan
maupun tidak. Di mata mereka aku adalah pemudah yang akas, jujur dan mandiri.
Aku tak segan-segan menolong siapa saja dan apa saja. Kondisi demikian membuat
Pak Shomad datang ke rumahku seraya menanyakan segala yang terjadi. Pak Shomad
pun terharu. Hampir saja air matanya menetes. Beliau memberi semangat, dorongan
dan penguatan mental. Namun tak jua berhasil. Aku sudah terlanjur tersakiti.
Sebelum Pak Shomad keluar dari rumahku, dia berpesan: “Kamu sabar dulu. Tetap
semangat, dan yakinlah Allah bersamamu”. Aku tak bisa menjawabnya. Aku larut
dalam kesedihan. Beberapa hari kemudian, Pak Shomad membawa kabar gembira. Ia
mengatakan telah mendapat calon terbaik untuknya. Gadis itu merupakan keponakan
Pak Shomad yang tinggal di luar Jawa. Anaknya lumayan cantik, pintar dan
shalihah. Pertama aku langsung menolak. Aku sudah terlanjur benci sama cewek
berjilbab, aku juga merasa tidak enak jika pada akhirnya nanti ga jadi,
hubunganku dengan Pak Shomad menjadi jelek.
Berkali-kali
Pak Shomad meyakinkanku. Berkali-kali juga aku menolaknya. Aku menjelaskan
kepadanya berbagai macam alasan yang aku harap meluluhkan harinya agar tidak
bersi keras menjodohkanku dengan keponakannya, yang kelak aku ketahui bernama Safinah Yumna.
Pada akhirnya aku ga tahan. Aku turuti saja kemauan Pak Shomad. Tapi aku sudah
bertekad bulat dalam hati, seandainya nanti gagal lagi, aku akan meninggalkan
kampung halaman dan tinggal di tanah rantau dimanapun itu. Setelah ku jalani,
semua yang dinyatakan Pak Shomad ternyata benar. Aku belum pernah menjumpai
wanita yang lahir batinnya sama-sama cantik. Dia begitu ramah, sopan dan baik.
Tutur katanya lembut. Dia tidak banyak bicara, tapi sekali berbicara selalu
berbobot dan penuh makna. Lambat laun hatiku yang gersang, terasa dingin oleh
air kasih dan cinta Safinah. Baru kali ini aku berjumpa dengan cewek yang
benar-benar melihat orang dari ketampanan hatinya. Aku menangis karena suka
cita. Ternyata begitu indah skenario Tuhan. Harapan dan impian pun bertumbuh
subur dalam ladang hati yang dipenuhi bunga-bunga cinta. Akhirnya aku pun
nikah dengan Safinah dan dikaruniai lima anak (isyaallah akan nambah lagi
hehehe J). Ketika aku menulis tulisan ini, aku sedang
ditemani oleh bidadariku yang tercinta menjelang tidur malam. Aku berharap bagi
siapa saja yang membacanya bisa mengambil hikmah. Terutama bagi orang yang
beriktiar mencari istri tapi selalu gagal, jangan pernah putus asa! Allah
selalu menyediakan yang terbaik bagi kita asal tidak gampang menyerah dengan
keadaan. Semoga bermanfaat.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !