Pernahkah
anda membaca buku karangan ulama kawakan, Imam Abu Faraj Ibnu Jauzi(508 H-597
H) yang berjudul ‘Shaidu al-Khāthir’?
Buku ini sangat istimewa. Paling tidak, dari judulnya saja sudah membuat
pembaca tertarik dan terinspirasi. Judul tersebut memiliki arti: “Memburu Ide”.
Bagi beliau –melalui judul di atas- yang namanya ide itu harus diburu. Coba
sejanak anda berimajinasi, bagaimana ketika berada diposisi sebagai pemburu?
Yang namanya berburu, persiapan harus matang. Barang yang diburu adalah barang
yang liar dan tidak bisa didapat dengan cara mudah. Dibutuhkan kekuatan, akurasi,
speed(kecepatan), dan timing(pemilihan waktu) tepat untuk
mendapatkan buruan yang sesuai dengan apa yang dikehendaki.
Demikian
halnya posisi ‘ide’ bagi seorang penulis.
Ide tidak akan didapat, jika hanya menunggu. Penulis yang mau
mendapatkan ide, maka ia harus mengaktifkan panca inderanya, melakukan
eksplorasi, mengalami, dan berusaha sedapat mungkin dengan segenap
kemampuannya. Semakin susah didapat, maka ide semakin berkualitas. Lantaran
karakter ide yang cepat datang dan pergi, maka –sebagaimana analogi di atas-
penulis harus menyiapkan alat untuk memburu. Salah satu alat yang paling sederhana
dan efektif, ialah dengan membiasakan diri untuk selalu membawa buku catatan
beserta pena. Setiap kali terlintas, maka segera ditulis. Ide bukan hanya
muncul dari bacaan buku dalam pengertian literal, ia justru banyak didapat dari
bacaan buku yang bersifat non-literal(alam).
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !