Tarmudzi
Syathir dengan semangat tinggi -atas nama iman-, setelah mendengar wejangan
dari Kh. Syukran, ia bertekad untuk tidak meninggalkan shalat berjama`ah
berikut sunah-sunahnya. Pria yang akrab disapa Setir itu, begitu terkesima
dengan pahala-pahala yang akan diperoleh jika melaksanankan shalat berikut
sunahnya. Dalam hati ia bergumam: “Lha kalau shalat sunnah shubuh saja
ganjarannya seperti dunia dan isinya, lalu bagaimana dengan shalat lainnya”. Ia
pun mulai berhitung, dan segera membuat planning matang untuk
amalan-amalannya ke depan.
Orang
seisi rumah pun menjadi kaget bukan main. Ga biasanya Setir rajin ibadah
seperti itu. Apalagi pria yang dikenal sebagai penjual bakso itu berubah secara
drastis. Bukan hanya seisi rumah, orang-orang di kampung pun geleng-geleng
kepala. Seisi kampung bergemuruh. Ia menjadi buah bibir masyarakat. Setir cuek
saja menghadapi kehebohan tersebut. Yang jelas sekarang dia merasa di atas
jalan yang benar. Iman serasa meningkat, hati begitu mantap dan kuat. Dalam
hati ia berseloroh: “para pedagang yang shalatnya ga rajin, bahkan ada yang ga
shalat saja rejekinya banyak, apalagi aku yang rajin ibadah”.
Mulailah
ia menjalankan aktivitas sebagaimana biasa. Di luar perkiraan, pendapatannya
ternyata semakin menurun. Para pelanggannya banyak yang kabur. Bahkan kalau
saja hari ini tidak ada teman-teman lamanya yang mampir, praktis dagangannya
tidak laku. Sedikit demi sedikit dengan sangat halusnya, keraguan mulai
menyusupi jiwanya. Ia mulai mempertanyakan, memberontak dan marah-marah dalam
munajatnya. “Ya Allah, katanya melakukan ibadah itu pahalanya besar. Lalu
kenapa rejekiku semakin ambyar(hancur lebur)?” begitulah ia bergumam
pada sepertiga malam. Waktu itu ia bertekad untuk menemui yai Syukran esok
hari.
Berkunjunglah
ia ke kediaman Pengasuh Pondok Pesantran Al-Ghuroba itu. Diceritakanlah semua
yang ia alami selama beberapa bulan. Dengan sangat serius beliau menyimak
sampai Setir selesai. Ketika sudah tuntas, akhirnya –dengan kepala dingin- Yai
Syukran menjelaskan: “Tir –maaf sebelumnya-, sebenarnya penjelasanku tentang
pahala, sama sekali tidak ada yang salah. Hanya saja, kamu kurang tepat
memahaminya. Padahal waktu itu `kan sudah aku buka kesempatan bertanya
selebar-lebarnya, namun di antara yang nanya tidak ada nama kamu”.
“Jadi begini
Tir, yang namanya pahala, itu hanya sebagai stimulus untuk menggiatkan ibadah.
Memang setiap orang akan mendapat pahala, jika ikhlas dan sesuai petunjuknya.
Namun perlu kamu ingat, dalam beribadah jangan main perhitungan dengan Allah. Lha
kenapa kita ga usah itung-itungan? Sederhana saja sebenarnya, apa yang
dianugerahkan Allah pada kita, tak ada putus-putusnya, dan kalau pun kita mau menghitung-hitungnya,
maka tidak akan mampu. Allah sendiri ketika memberi tak pernah menghitung. Di
samping itu Tir, yang namanya orang ngitung `kan barang yang dihitung jelas.
Lha kalau pahala, emang kamu bisa memastikan dapat pahala?”
“Perlu kamu
ketahui juga bahwa rejeki Allah itu tak terbatas pada penghasilan, uang. Kesehatan,
keimanan, kesempatan, dan umurmu adalah bagian dari rezeki-Nya. Mentang-mentang
ibadah banyak, jangan lantas dikaitkan dengan penghasilanmu. Kalau kamu
beribadah masih pamrih, kenapa kamu menuntut Allah memberi? Daganganmu ga laku,
jangan langsung dikaitkan dengan ibadahmu. Pastikan selalu husnudzan
pada-Nya.” Tukas Yai Yusran menasihati. “Lalu aku haru bagaimana yai, biar
pemahaman benar, tapi usahaku lancar?” tanya Setir. “Dalam menjalani hidup
berbekallah taqwa, karena ia adalah sebaik-baik bekal. Dengan takwa –sebagaimana
yang terdapat dalam surat At-Talaq: 2, 3, 4, dan 5- kamu akan mendapat beberapa
hal: diberi jalan keluar, dianugerahi rezeki yang tiada disangka-sangka,
dipermudah urusannya, dosa-dosanya dihapus dan ganjaran dibesarkan. Ingat! Justru
dengan taqwa, Allah akan memberi sesuatu yang tidak pernah diperhitungkan”.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !