Dalam doktrin ajaran syi`ah nama
Hasan bin Ali tak begitu terang benderang sebagaimana Husain bin Ali. Meskipun
keduanya sama-sama diakui sebagai bagian dari ahlu al-bait, namun yang
begitu ditonjolkan adalah Husain bin Ali yang wafat dalam tragedi karbala`. Ada
beberapa alasan yang bisa menjelaskannya secara historis. pertama, salah
satu istri Husain bin Ali berkebangsaan Persia, sehingga mereka sangat menjunjung sekali dirinya. Kedua, berbeda
dengan Hasan, Husain mau mengikuti tawaran syi`ah untuk membelot dari
pemerintahan Umawiah serta pergi ke Kufah untuk memenuhi permintaan penduduknya
yang mau mendukungnya. Yang terjadi, mereka –yang mau mendukung- pada akhirnya
tidak jadi mendukung, dan akhirnya Husain pun terbunuh di wilayah Karbala
akibat adanya provokator yang membuat suasana semakin berkecamuk. Padahal pada
waktu itu sudah ada opsi-opsi perdamaian. Takdir Allah berkata lain, lalu
terjadilah yang terjadi. Terbunuhnya Husain di Karbala, dijadikan hari besar di
kalangan syi`ah. Masalahnya kemudian ialah apakah Hasan bin Ali tak mempunyai
jasa besar sehingga tak mendapat pengagungan layaknya Husain radhiyallahu
`anhuma?
Berkaca dengan ‘cermin sejarah’
didapati fakta menarik bahwa jasa Hasan bin Ali jauh lebih besar dibanding
Husan bin Ali. Pada tahun empat puluh satu hijriah Hasan bin Ali menetapkan
keputusan fenomenal, ia rela melepas jabatan yang dimiliki secara sah demi
terciptanya perdamaian antara kaum muslimin. Padahal pada waktu itu kedua
kelompok besar ini sudah siap-siap berperang, namun karena kebesaran jiwa Hasan,
konflik besar internal kaum muslimin tidak terjadi. Apa yang dilakukan oleh
Hasan ini ternyata jauh-jauh hari sudah diprediksikan oleh Rasulullah: “Salah
satu dari cucuku ini kelak akan mendamaikan dua kelompok yang berselisih”.
Keputusan ini lebih bisa diambil oleh Hasan karena beliau memiliki sifat seperti
Rasulullah, Abu Bakar As-Shiddiq dan Utsman. Ia memiliki sifat: lemah lembut,
bijaksana, mengutamakan perdamaian, tidak frontal dan reaktif dalam menghadapi
masalah, dan mengutamakan persatuan umat. Adapun Husain –tanpa mengurangi
kemuliaannya sedikitpun- memiliki sifat: keras, reaksioner, tidak tahan dengan
yang namanya kezaliman, memilih cara-cara frontal. Dari kasus Hasan dan Husain
ini, setidaknya ada pelajaran berharga bagi para pemimpin skala peradaban.
Bahwa pemimpin besar adalah pemimpin yang berjiwa besar. Ia reala melepaskan
jabatan demi terciptanya suatu perdamaian. Sebab apalah fungsi jabatan jika
hanya menimbulkan kesengsaraan?
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !