Salah satu keputusan fenomenal yang –baik
sengaja atau tidak- disalahpahami oleh sebagian orientalis dan musuh Islam
terkait dengan khalifah Utsman bin Affan ialah tentang istisyhād(red:
berkorban hingga syahid) di penghujung kepemimpinannya(tahun tiga puluh lima
hijriah). Pengorbanan yang dilakukan Utsman hingga nyawanya terenggut
pemberontak, dianggap sebagai bentuk kelembekan, kelemahan bahkan itu terjadi disebabkan
karena nepotisme yang dijalankannya. Padahal apa yang dilakukan Utsman bin
Affan sama sekali tidak seperti yang dituduhkan mereka. Paling tidak ada
beberapa hal yang menjelaskan masalah tersebut. Pertama, karakter Utsman
yang lemah lembut, tidak menghendaki terjadinya pertumpahan darah di antara
kaum muslimin(apa lagi pada waktu itu usianya sudah menginjak delapan puluhan
lebih). Kedua, berbeda dengan Umar(yang terkenal tegas), dalam
menyelesaikan masalah, Utsman begitu toleran dan cendrung menggunakan
pendekatan persuasif(pendekatan ini acap kali dimanfaatkan oleh
musuh-musuhnya). Ketiga, tuduhan bahwa Utsman melakukan nepotisme memang
terjadi, namun perlu digarisbawahi di sini apa yang dilakukannya bukanlah
nepotisme negatif, karena yang dia pilih berdasarkan spesifikasi keahlian yang
dimiliki. Contoh saja misalkan Mu`wiyah bin Abi Sufyan, ia tetap dijadikan
sebagai gubernur Damaskus karena pengalaman menjabat sejak masa Abu Bakar dan
Umar. Keempat, sebelum kejadian, ia bermimpi bertemu Rasulullah, dalam
mimpi itu ia diajak berbuka bersamanya. Secara tersirat ia menyadari bahwa hal
itu akan terjadi. Kelima, sejak jauh-jauh hari di waktu Rasulullah masih
hidup ia telah mendengar bahwa ia akan mati syahid.
Bila dianalisis lebih mendalam apa
yang dilakukan Utsman memiliki porsi kebenarannya. Pasalnya, pada masanya Islam
begitu tersebar luas di berbagai penjuru negeri. Sudah menjadi maklum jika
wilayah semakin luas, maka tingkat kompleksitas masalahnya juga akan bertambah
besar. Para sahabat kenamaan pun pada masanya diizinkan untuk menyebar di
seluruh pelosok negeri(berbeda dengan zaman Umar yang mempertahankan para sahabat
besar untuk dijadikan mitra musyawarah). Belum lagi luasnya negara yang
demikian besar berpusat di Madinah yang waktu itu –bila dibandingkan dengan
wilayah-wilayah lain- terbilang kecil dan tidak memiliki pertahanan dan militer
yang kuat. Sebenarnya sempat juga Muawiyah menawarkan padanya agar memindahkan
ibu kota negara ke Damaskus, karena dirasa di sana lebih aman daripada Madinah.
Ia tetap menolak dan tak kuasa meninggalkan daerah yang pernah ditinggali
Rasulullah shallahu `alaihi wassalam. Terjadilah apa yang terjadi di
tahun 45 Hijriah. Utsman terbunuh dalam kondisi puasa dan membaca ayat fasayakfīkahumullāh wa
huwa al-samī`u
al-`alīmu(Qs.
Al-Baqarah: 137). Bahkan jemari tangan dari istrinya yang bernama Na`ilah pun
terputus lantaran menangkis pedang pemberontak.
Apa yang dilakukan oleh Utsman adalah
pengorbanan yang luar biasa. Dengan keikhlasan hati, kasih sayang tinggi,
kelapangan dada, kebesaran jiwa, ia rela mengorbankan jiwanya demi persatuan
umat. Walaupun pada akhirnya penggorbanan yang dilakukan tidak serta merta
meredam fitnah yang sedang terjadi, tapi paling tidak spirit nilai yang
diajarkan oleh khalifah Utsman bin Affan begitu agung dan abadi, di antaranya: “pemimpin
besar adalah pemimpin yang berani mati untuk kepentingan rakyatnya; mampu
melampaui kepentingan pribadi; mengusahakan perdamaian secara intensif; cekatan
dalam memberi solusi dan sedapat mungkin mengatasi perpecahan internal”. Semuanya
masuk pada satu kata yaitu, ‘pengorbanan’. Karena pada dasarnya beberapa hal
seperti kuat, berani mati, tidak egois, pejuang perdamaian, pemecah solusi,
tidak akan bisa dijelmakan ketika semakan berkorban mengikis dalam jiwa
seseorang. Dengan semangat itulah sejarah mengabadikan namanya. Memang banyak
sekali yang berusaha memperburuk citranya, namun bagi siapa saja yang munshifi(adil)
dalam membaca sejarah –tentunya dengan sumber yang otoritatif- pasti akan
mengakui bahwa yang dilakukan oleh Utsman bin Affan Ra. , adalah pengorbanan
yang luar biasa yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Hanya pemimpin yang
mempunyai pengorbanan tinggi yang akan mampu memimpin sebuah peradaban dan senantiasa
berkesan di hati umat ke depan. Wallahu a`lam bi al-Shawāb.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !