Ada satu kata kunci untuk memahami
cerita tersebut, yaitu: produktivitas tulisan. Banyaknya buku yang tersimpan
diperpustakaan Baghdad adalah salah satu bukti prokdutivitas ulama dalam bidang
kepenulisan. Dalam sejarah Islam, begitu banyak contoh mengenai produktivitas
ulama dalam hal menulis di antaranya: Ibnu Jarir At-Thabari, karangannya
berjumlah 358 ribu lembar, dalam sehari ia mampu menulis sebanyak 40 lembar(Qīmatu
al-Zaman `Inda al-`Ulamā, Abdu al-Fattah
Abu Ghuddah, 43). Imam Ibnu Jauzi meninggalkan karya sebanyak lima ratus buku(Qimatu
al-Zaman, 56). Abu Bakar al-Bāqalāni tidak tidur hingga menulis 35 lembar (Qimatu al-Zaman, 86)
dan ulama lainnya.
Itu hanya contoh kecil dari sekian
banyak contoh produktivitas ulama dalam bidang tulisan. Yang menjadi pertanyaan
kemudian ialah: “Mengapa mereka bisa produktif di zaman yang fasilitas untuk
menulis begitu ala kadarnya, hanya tinta dan kertas. Pada zaman itu, untuk
menggandakan buku saja harus ditulis ulang secara manual?”. Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, berikut ini akan dijelaskan secara gambalang –melalui kaca
mata historis peradaban Islam- tentang rahasia produktivitas ulama dalam bidang
tulisan.
Di antara rahasianya ialah: Pertama, para ulama menulis didasari
keikhlasan sebagai investasi akhirat(dakwah). Dalam hadits disebutkan, bahwa
mereka adalah pewaris para Nabi(Hr. Bukhari, Abu Daud, dan Turmudzi). Bagi
mereka menulis bukan sekadar urusan hobi, karena mereka adalah penerus estafeta
perjuangan para Nabi, maka menulis adalah urusan investasi akhirat.
Kedua, manajemen waktu yang
mantap dan brilian. Mereka sadar betul bahwa waktu adalah nafas kehidupan.
Sehingga, memanfaatkannya adalah sebuah keniscayaan bagi orang yang ingin
sukses. Sebagai contoh riil-tanpa bermaksud membatasi-, Ibnu Jarir At-Thabari
yang mampu menulis 40 lembar tulisan dalam sehari sangat pandai dalam mengatur
waktu. Muridnya sendiri –al-Qadhi Abi Bakar bin Kamil-memberi kesaksian bahwa
beliau mempunyai waktu khusus untuk menulis dari ba`da Dzuhur hingga
Ashar(baca: Qīmatu al-Zaman, hal. 44). Bahkan, menjelang
meninggal pun ia menyempatkan diri untuk mencatat ilmu(hal. 44).
Ibnu Rusyd –dalam sejarah- tidak pernah meninggalkan mala-malamnya,
kecuali membaca buku. Beliau selalu begitu, kecuali dua malam saja: Pertama,
waktu ayahnya wafat. Kedua, waktu malam kemantin(baca: Kaifa
Tushbinu `Āliman, Rāghib al-Sirjāni). Lebih dari
itu, ada cerita unik mengenai Tsa`lab al-Nahwi (Ahmad bin Yahya al-Syaibani),
di antara sebab wafatnya ialah karena ditabrak kuda ketika membaca buku hingga
jatuh ke jurang(baca: wafayātu al-A`yān, Ibnu Khillikan, 1/104).
Kakek Ibnu Taimiyah pun juga sangat bagus dalam manajemen waktu. Ia minta
dibacakan buku ketika sedang buang hajat, supaya waktunya tidak sia-sia(baca: Dzailu
Thabaqāt al-Hanābilah, Ibnu Rajab al-Hanbali, 2/249). Cerita-cerita
tersebut, menunjukkan bahwa mereka sangan
pandai mengatur waktu. Sehingga, wajar kalau mereka sangat produktiv menulis.
Bagi siapa saja yang ingin produktiv menulis, maka tak ayal lagi harus
menapaktilasi jejak mereka dalam manajemen waktu.
Ketiga, apresiasi negara yang
begitu tinggi. Khalifah Ma`mun –selaku Khalifah Daulah Abbasiyah-misalnya, memberi
imbalan emas bagi para penerjemah buku(baca: `Uyūnu al-Anbā`,
Ibnu Abi Ushaibah, 2/133). Para penulis pada masa itu
sangat didukung dan dihargai oleh negara, sehingga produktivitas menulis
sedemikian tinggi. Salah satu bukti produktivitas mereka bisa dilihat dari
banyaknya perpustakaan. Pada masa keemasan Islam, perpustakaan sudah menjadi
sebuah keniscayaan, baik di rumah, gedung pemerintahan, di desa, kota, di rumah
sakit dan lain sebagainya. Waktu itu perpustakaan dibagi menjadi lima bagian: Pertama,
perpustakaan akademis. Kedua, pribadi. Ketiga, umum. Keempat,
sekolah. Kelima, perpustakaan masjid dan universitas(baca: Rāghib
al-Sirjāni, Mādza Qaddama al-Muslimūna li al-`Ālam Ishāmātu
al-Muslimīn fī al-Hadhārah al-Insāniyah,hal. 224-225)..
Di antara contoh perpustakaan
besar dalam Islam ialah: Perpustakaan Baghdad(yang jumlahnya sangat banyak,
sampai-sampai bisa dibuat jembatan oleh Tartar). Perpustakaan Darul `Ilm
Kairo(Setiap bagian berisi 18000 buku)lebih dari tujuh ratus ribu kitab. Perpustakaan
Cordova(berisi setengah juta kitab) Perpustakaan Tripoli(baca: Kaifa
Tushbihu `Āliman, Raghib al-Sirjani). Ada juga
perpustakaan koleksi pribadi. Sebagai contoh, Abu al-Fadhl bin al-`Amīd, ketika
dia mau pindah dari satu tempat ke tempat lain, ia membutuhkan seratus unta
untuk mengangkatnya. Al-Shahib bin `Abbād, menurut penuturan Gustav Lobon atau
Will Durent : “Perpustakaan al-Shahib bin `Abbād, pada abad
keempat hijriah berisi lebih dari buku-buku yang ada di semua negara Eropa.
Dari paparan di atas, kita bisa
mengetahu bahwa ada tiga hal mendasar di balik produktivitas ulama dalam bidang
tulisan: Pertama, keikhlasan. Mereka menulis dalam rangka investasi
akhirat, bukan mencari sekadar dunia atau sanjungan umat. Kedua, mereka
sangat pandai dalam manajemen waktu. Ketiga, adanya apresiasi dan
kontribusi negara. Bila ketiga hal tersebut saling bersinergi, maka
produktivitas ulama dalam bidang tulisan akan kembali bangkit.
Kalau diamati secara cermat, problem umat Islam sekarang ini, terkait
dengan lesuhnya produktivitas ulama dalam bidang tulisan, diakibatkan banyaknya
orang menulis bukan dalam rangka investasi akhirat, tapi orientasi keduniaan.
Di samping itu, tidak pandai menghargai waktu. Dan yang terpenting, negara
sebagai lembaga paling strategis dalam mengembangkan produktivitas, kurang
apresiatif dalam menghargai karya-karya penulis.
Mudah-mudahan, dengan mengetahui rahasia produktivitas ulama dalam
bidang tulisan, kita sebagai umat Islam, kembali bisa produktiv, sehingga
nilai-nilai luhur Islam bisa tersebar ke seantero alam. Bukan saja tersebar
secara lisan, namun juga tulisan. Apalagi di era perkembangan teknologi-informasi seperti sekarang ini,
keinginan itu sangat riil, bukan mustahil. Wallahu a`lam bi al-Shawab.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !