Home » » Meneropong Al-Aqsha dengan Pandangan Hidup Islam

Meneropong Al-Aqsha dengan Pandangan Hidup Islam

Written By Amoe Hirata on Rabu, 01 April 2015 | 08.10



            Sampai saat ini permasalahan yang menyangkut Palestina masih hangat untuk dibicarakan. Ini sangat beralasan karena di sepanjang sejarah ia tidak pernah sepi dari konflik baik yang menyangkut masalah agama, sosial, ekonomi, politik dan kemanusiaan. Mungkin pembaca akan bertanya-tanya: “Kenapa Palestina tidak pernah sepi dari konflik? Mengapa ia begitu diperubutkan oleh Yahudi, Kristen dan Islam? Bukankah wilayah di dunia ini sangat luas, kenapa harus Palestina?”. Salah satu jawaban yang bisa mewakili pertanyaan-pertanyaan tersebut ialah karena di Palestina ada masjid Al-Aqsha. Karena itulah pada tulisan ini akan dibahas secara khusus mengenai Al-Aqsha tentunya dengan pandangan hidup Islam.
            Membahas Al-Aqsha dengan pandangan hidup Islam sangat penting dilakukan mengingat kebanyakan orang menilai masalah Palestina dengan penilaian yang parsial(sepotong-sepotong) baik itu menyangkut urusan agama, ekonomi, sosial, politik dan kemanusiaan. Dalam Islam, ketika melihat realitas,  maka harus dibahas secara utuh. Ia tidak pernah mengenal istilah dikotomis(pemisahan) sebagaimana yang terjadi di Barat. Di dalamnya ada dikenal konsep tauhidi(penyatuan) yaitu memandang sesuatu secara integral(keseluruhan) dan komprehensif. Hanya dengan pandangan seperti itu, kita akan bisa memahaminya dengan pemahaman yang benar dan proporsional.
            Dalam Al-Qur`an Allah berfirman:
{سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ } [الإسراء: 1].
Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”(Qs. Al-Isra: 1). Dari ayat ini akan diambil beberapa perkara penting:
            Pertama, Al-Aqsha erat kaitannya dengan peristiwa sejarah ‘isrā(memperjalankan di waktu malam hari dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha)’. Sebuah peristiwa luar biasa yang tak bisa dinalar oleh akal manusia. Tetapi karena yang memperjalankan adalah Allah SWT, maka bahasa-Nya adalah ‘kun fa yakūn’(jadilah! Maka jadi). Ini berarti, dalam pandangan Islam, masalah Al-Aqsha adalah masalah keimanan atau agama sekaligus sejarah. Makanya jangan heran jika dalam sepanjang sejarah wilayah Al-Aqsha, menjadi rebutan antar-agama yang disebut ‘samawi’, Yahudi, Kristen dan Islam. Karena ketiganya merasa punya hak terhadap wilayah yang dianggap suci itu.
            Kedua, wilayah Al-Aqsha adalah termasuk dari wilayah suci. Dalam sejarah Islam, Masjidil Aqsha pernah dijadikan kiblat selama tujuh belas bulan. Nabi pun sangat menganjurkan pergi ke sana sebagaimana hadits berikut:
لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Tidak sangat (dianjurkan) bepergian, kecuali untuk menuju tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjidku ini dan Masjidil Aqsha”(Hr. Bukhari & Muslim). Bahkan shalat di dalamnya nilainya sama dengan limaratus kali lipat dibanding dengan shalat di masjid-masjid lainnya sebagaimana hadits berikut:
" فَضْلُ الصَّلاةِ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ عَلَى غَيْرِهِ مِائَةُ أَلْفِ صَلاةٍ ، وَفِي مَسْجِدِي أَلْفُ صَلاةٍ ، وَفِي مَسْجِدِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ خَمْسُ مِائَةِ صَلاةٍ "
“Keutamaan shalat di masjidil Haram di bandingkan dengan yang lainnya (sebanding dengan) seratus ribu shalat, sedangkan di masjidku ini (setara) dengan seribu shalat,adapun di masjid Baitul Maqdis(Al-Aqsha) setara dengan limaratus shalat dibanding dengan masjid lainnya”(Hr.Bazzār). Demikian juga Yahudi dan Nashrani, sebelum Islam, mereka juga menganggapnya suci. Karena itu sekali lagi, tidak mengherankan jika wilayah ini menjadi rebutan.
            Ketiga, penggalan ayat ini, “dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha” mengisyaratkan satu hal penting bahwa Islam akan menjadi pembebasnya. Di saat Islam datang, wilayah dunia dipenuhi oleh kezaliman dan kerusakan dari berbagai seginya. Nabi Muhammad s.a.w sebagai pengemban risalah Islam, salah satu misinya ialah “ikhrāju al-nās min al-dhulumāti ila al-nūr (untuk mengentas manusia dari kegelapan menuju cahaya). Konsep ini menunjukkan bahwa agama Islam adalah agama yang mempunyai watak mencerahkan, dan membebaskan manusia dari berbagai bentuk kegelapan. Ini persis seperti yang diungkapkan oleh Rib`i bin Abi `Amir ketika berdialog dengan Panglima Persia, Rustum:
اللَّهُ ابْتَعَثْنَا لِنُخْرِجَ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ إِلَى عِبَادَةِ اللَّهِ، وَمِنْ ضِيقِ الدُّنْيَا إِلَى سِعَتِهَا، وَمِنْ جَوْرِ الْأَدْيَانِ إِلَى عَدْلِ الْإِسْلَامِ [البداية والنهاية (7/ 39)].
Allah mengutus kamu untuk membebaskan manusia yang dikehendaki-Nya, dari penyembahan hamba menuju penyembahan Allah; dari kesempitan dunia menuju keluasannya, dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam”(Kitab al-Bidayah wa al-Nihayah, Ibnu Katsir, Juz: VII, hal: 39).
Ketiga, Islam dengan wataknya yang membebaskan, membebankan tanggung jawab besar kepada pemeluknya untuk membebaskan Al-Aqsha dari berbagai penindasan. Pada waktu itu Islam yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w masih kecil, wilayah Makkah –sebagai tempat Masjidil Haram- saat itu dipandang sebelah mata oleh dua imperium besar di dunia, Romawi dan Persia. Namun kemudian Islam, dalam sejarah –sesuai dengan ayat di atas- mampu menjangkau wilayah Al-Aqsha bahkan wilayah-wilayah disekelilingnya. Maka jangan heran jika di sepanjang sejarah banyak pahlawan-pahlawan Islam yang dengan suka rela bahu-membahu membebaskan kawasan ini. Usaha itu sudah dilakukan sejak zaman Umar, Imadudin Zanki, Shalahudin Al-Ayyubi dan lan sebagainya.
Keempat, kalimat “yang telah Kami berkahi sekelilingnya” yang terdapat pada ayat di atas, menunjukkan bahwa tempat antara Masjidli Haram dan Al-Aqsha dan yang di sekelilingnya adalah wilayah diberkati. Berkat di sini bisa berarti bahwa wilayah ini adalah wilayah yang subur dan memiliki kekayaan alam. Kekayaan alam ini pada kenyataannya banyak memicu konflik. Berkat pada ayat ini juga berarti banyaknya para Nabi dan Rasul yang diutus di wilayah ini. Dinamika peradaban dunia baik klasik maupun modern, ternyata tidak pernah lepas dari wilayah ini.
Kelima, dari penggalan ayat “agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami” menunjukkan hal penting bahwa di wilayah ini akan muncul sebagian tanda-tanda besar kekuasaan Allah. Kalau kita mengacu pada hadits Nabi, tanda-tanda besar kiamat sangat bertalian erat dengan wilayah-wilayah ini. Dajjal munculnya di Iran, Nabi Isa turunnya di Damaskus, Imam Mahdi dikejar-kejar Ya`juj wa Ma`juj sampai gunung Sinai dan lain sebagainya. Satu demi satu tanda-tanda kekuasaan-Nya terbukti.
Dari kelima perkara tersebut kita bisa mengambil beberapa kesimpulan: Pertama, masalah yang menimpa Al-Aqsha (secara khusus) dan Palestina secara umum bukanlah sekadar masalah kemanusiaan dan politik. Mempersempit masalah hanya pada kedua hal tersebut sengat bertentangan dengan Al-Qur`an dan bukti sejarah. Dalam Islam, yang namanya din(agama) itu tidak bisa dilepaskan dari masalah-masalah yang dianggap keduniaan. Karena Islam tidak mengenal paham sekularisme, yang mengajarkan pemisahan antara urusan agama dan urusan negara.
Kedua, karena wilayah ini adalah wilayah suci, maka kewajiban kita –sebagai muslim- harus berusaha mensucikannya dari berbagai kotoran baik lahir maupun batin. Apa yang dilakukan oleh Zionis Israel terhadap wilayah ini adalah satu bentuk pengotoran. Ketiga, membebaskan Al-Aqsa dari cengkraman Yahudi, adalah merupakan kewajiban. Keempat, karena wilayah Masjidil Haram(Makkah) hingga Masjidil Aqsha(Palestini) dan yang di sekelilingnya adalah wilayah yang diberkati Allah, maka sudah selayaknya kita mengusahakan secara intensif untuk menebarkan keberkahan. Salah satu indikator keberkahan ialah ketika terwujud perdamaian, bertambah besar mashlahat, dan terciptanya rasa aman.
            Yang terakhir, tanda-tanda besar kekuasaan Allah akan terjadi di wilayah-wilayah tersebut. Sebagai muslim, kita harus berupaya untuk mempersiapkan diri dengan amal sebaik-baiknya serta peduli dengan nasib saudara-saudara yang berada di sana. Kepedulian merupakan indikator keimanan. Apakah kita rela, wilayah yang sangat suci dan penuh berkah itu, pada akhirnya direnggut dengan paksa oleh Zionisme Israel?.
Ketika umat Islam membebaskan Masjidil Aqsha atau saudaranya di Palestina, bukan berarti memusuhi umat yang lain. Musuh Islam adalah segala bentuk ketidakadilan dan tirani. Saat keadilan dan kedamaian terwujud, yang menikmati bukan hanya umat Islam, tetapi seluruh umat manusia, karena Islam adalah agama rahmat bagi sekalian alam. Maka tidak berlebihan jika dikatakan: “Masalah penjajahan Palestina adalah masalah bertaraf internasional”. Bukankah dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia tersurat pernyataan penting yang menentang segala bentuk penjajahan di dunia.
               
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan