Sampai saat ini permasalahan yang
menyangkut Palestina masih hangat untuk dibicarakan. Ini sangat beralasan
karena di sepanjang sejarah ia tidak pernah sepi dari konflik baik yang
menyangkut masalah agama, sosial, ekonomi, politik dan kemanusiaan. Mungkin
pembaca akan bertanya-tanya: “Kenapa Palestina tidak pernah sepi dari konflik?
Mengapa ia begitu diperubutkan oleh Yahudi, Kristen dan Islam? Bukankah wilayah
di dunia ini sangat luas, kenapa harus Palestina?”. Salah satu jawaban yang
bisa mewakili pertanyaan-pertanyaan tersebut ialah karena di Palestina ada
masjid Al-Aqsha. Karena itulah pada tulisan ini akan dibahas secara khusus
mengenai Al-Aqsha tentunya dengan pandangan hidup Islam.
Membahas Al-Aqsha dengan pandangan
hidup Islam sangat penting dilakukan mengingat kebanyakan orang menilai masalah
Palestina dengan penilaian yang parsial(sepotong-sepotong) baik itu menyangkut
urusan agama, ekonomi, sosial, politik dan kemanusiaan. Dalam Islam, ketika
melihat realitas, maka harus dibahas
secara utuh. Ia tidak pernah mengenal istilah dikotomis(pemisahan) sebagaimana
yang terjadi di Barat. Di dalamnya ada dikenal konsep tauhidi(penyatuan)
yaitu memandang sesuatu secara integral(keseluruhan) dan komprehensif. Hanya
dengan pandangan seperti itu, kita akan bisa memahaminya dengan pemahaman yang
benar dan proporsional.
Dalam Al-Qur`an Allah berfirman:
{سُبْحَانَ
الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى
الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا
إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ } [الإسراء: 1].
“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan
hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang
telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari
tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui”(Qs. Al-Isra: 1). Dari ayat ini akan diambil beberapa
perkara penting:
Pertama,
Al-Aqsha erat kaitannya dengan peristiwa sejarah ‘isrā(memperjalankan di waktu malam hari dari
Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha)’. Sebuah peristiwa luar biasa yang tak
bisa dinalar oleh akal manusia. Tetapi karena yang memperjalankan adalah Allah
SWT, maka bahasa-Nya adalah ‘kun fa yakūn’(jadilah!
Maka jadi). Ini berarti, dalam pandangan Islam, masalah Al-Aqsha adalah masalah
keimanan atau agama sekaligus sejarah. Makanya jangan heran jika dalam
sepanjang sejarah wilayah Al-Aqsha, menjadi rebutan antar-agama yang disebut
‘samawi’, Yahudi, Kristen dan Islam. Karena ketiganya merasa punya hak terhadap
wilayah yang dianggap suci itu.
Kedua,
wilayah Al-Aqsha adalah termasuk dari wilayah suci. Dalam sejarah Islam,
Masjidil Aqsha pernah dijadikan kiblat selama tujuh belas bulan. Nabi pun
sangat menganjurkan pergi ke sana sebagaimana hadits berikut:
لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ
الْأَقْصَى
“Tidak sangat (dianjurkan) bepergian, kecuali
untuk menuju tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjidku ini dan Masjidil Aqsha”(Hr. Bukhari & Muslim). Bahkan
shalat di dalamnya nilainya sama dengan limaratus kali lipat dibanding dengan
shalat di masjid-masjid lainnya sebagaimana hadits berikut:
" فَضْلُ الصَّلاةِ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
عَلَى غَيْرِهِ مِائَةُ أَلْفِ صَلاةٍ ، وَفِي مَسْجِدِي أَلْفُ صَلاةٍ ، وَفِي مَسْجِدِ
بَيْتِ الْمَقْدِسِ خَمْسُ مِائَةِ صَلاةٍ "
“Keutamaan shalat di masjidil Haram di bandingkan
dengan yang lainnya (sebanding dengan) seratus ribu shalat, sedangkan di
masjidku ini (setara) dengan seribu shalat,adapun di masjid Baitul
Maqdis(Al-Aqsha) setara dengan limaratus shalat dibanding dengan masjid lainnya”(Hr.Bazzār). Demikian juga Yahudi dan Nashrani, sebelum
Islam, mereka juga menganggapnya suci. Karena itu sekali lagi, tidak
mengherankan jika wilayah ini menjadi rebutan.
Ketiga,
penggalan ayat ini, “dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha”
mengisyaratkan satu hal penting bahwa Islam akan menjadi pembebasnya. Di saat
Islam datang, wilayah dunia dipenuhi oleh kezaliman dan kerusakan dari berbagai
seginya. Nabi Muhammad s.a.w sebagai pengemban risalah Islam, salah satu
misinya ialah “ikhrāju al-nās min al-dhulumāti ila al-nūr
(untuk mengentas manusia dari kegelapan menuju cahaya). Konsep ini menunjukkan
bahwa agama Islam adalah agama yang mempunyai watak mencerahkan, dan
membebaskan manusia dari berbagai bentuk kegelapan. Ini persis seperti yang
diungkapkan oleh Rib`i bin Abi `Amir ketika berdialog dengan Panglima Persia,
Rustum:
اللَّهُ ابْتَعَثْنَا لِنُخْرِجَ مَنْ شَاءَ مِنْ
عِبَادَةِ الْعِبَادِ إِلَى عِبَادَةِ اللَّهِ، وَمِنْ ضِيقِ الدُّنْيَا إِلَى سِعَتِهَا،
وَمِنْ جَوْرِ الْأَدْيَانِ إِلَى عَدْلِ الْإِسْلَامِ [البداية والنهاية (7/ 39)].
“Allah mengutus kamu untuk membebaskan
manusia yang dikehendaki-Nya, dari penyembahan hamba menuju penyembahan Allah;
dari kesempitan dunia menuju keluasannya, dari kezaliman agama-agama menuju
keadilan Islam”(Kitab al-Bidayah wa al-Nihayah, Ibnu Katsir, Juz: VII, hal:
39).
Ketiga, Islam dengan wataknya yang membebaskan, membebankan
tanggung jawab besar kepada pemeluknya untuk membebaskan Al-Aqsha dari berbagai
penindasan. Pada waktu itu Islam yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w masih kecil, wilayah
Makkah –sebagai tempat Masjidil Haram- saat itu dipandang sebelah mata oleh dua
imperium besar di dunia, Romawi dan Persia. Namun kemudian Islam, dalam sejarah
–sesuai dengan ayat di atas- mampu menjangkau wilayah Al-Aqsha bahkan
wilayah-wilayah disekelilingnya. Maka jangan heran jika di sepanjang sejarah
banyak pahlawan-pahlawan Islam yang dengan suka rela bahu-membahu membebaskan
kawasan ini. Usaha itu sudah dilakukan sejak zaman Umar, Imadudin Zanki,
Shalahudin Al-Ayyubi dan lan sebagainya.
Keempat, kalimat “yang telah Kami berkahi
sekelilingnya” yang terdapat pada ayat di atas, menunjukkan bahwa tempat
antara Masjidli Haram dan Al-Aqsha dan yang di sekelilingnya adalah wilayah
diberkati. Berkat di sini bisa berarti bahwa wilayah ini adalah wilayah yang
subur dan memiliki kekayaan alam. Kekayaan alam ini pada kenyataannya banyak
memicu konflik. Berkat pada ayat ini juga berarti banyaknya para Nabi dan Rasul
yang diutus di wilayah ini. Dinamika peradaban dunia baik klasik maupun modern,
ternyata tidak pernah lepas dari wilayah ini.
Kelima, dari penggalan ayat “agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami” menunjukkan hal
penting bahwa di wilayah ini akan muncul sebagian tanda-tanda besar kekuasaan
Allah. Kalau kita mengacu pada hadits Nabi, tanda-tanda besar kiamat sangat
bertalian erat dengan wilayah-wilayah ini. Dajjal munculnya di Iran, Nabi Isa
turunnya di Damaskus, Imam Mahdi dikejar-kejar Ya`juj wa Ma`juj sampai gunung
Sinai dan lain sebagainya. Satu demi satu tanda-tanda kekuasaan-Nya terbukti.
Dari kelima perkara tersebut kita bisa
mengambil beberapa kesimpulan: Pertama, masalah yang menimpa Al-Aqsha
(secara khusus) dan Palestina secara umum bukanlah sekadar masalah kemanusiaan
dan politik. Mempersempit masalah hanya pada kedua hal tersebut sengat
bertentangan dengan Al-Qur`an dan bukti sejarah. Dalam Islam, yang namanya din(agama)
itu tidak bisa dilepaskan dari masalah-masalah yang dianggap keduniaan. Karena
Islam tidak mengenal paham sekularisme, yang mengajarkan pemisahan antara
urusan agama dan urusan negara.
Kedua, karena wilayah ini adalah wilayah suci, maka
kewajiban kita –sebagai muslim- harus berusaha mensucikannya dari berbagai kotoran
baik lahir maupun batin. Apa yang dilakukan oleh Zionis Israel terhadap wilayah
ini adalah satu bentuk pengotoran. Ketiga, membebaskan Al-Aqsa dari
cengkraman Yahudi, adalah merupakan kewajiban. Keempat, karena wilayah
Masjidil Haram(Makkah) hingga Masjidil Aqsha(Palestini) dan yang di
sekelilingnya adalah wilayah yang diberkati Allah, maka sudah selayaknya kita
mengusahakan secara intensif untuk menebarkan keberkahan. Salah satu indikator
keberkahan ialah ketika terwujud perdamaian, bertambah besar mashlahat, dan
terciptanya rasa aman.
Yang terakhir, tanda-tanda besar kekuasaan
Allah akan terjadi di wilayah-wilayah tersebut. Sebagai muslim, kita harus
berupaya untuk mempersiapkan diri dengan amal sebaik-baiknya serta peduli
dengan nasib saudara-saudara yang berada di sana. Kepedulian merupakan
indikator keimanan. Apakah kita rela, wilayah yang sangat suci dan penuh berkah
itu, pada akhirnya direnggut dengan paksa oleh Zionisme Israel?.
Ketika umat Islam membebaskan Masjidil Aqsha
atau saudaranya di Palestina, bukan berarti memusuhi umat yang lain. Musuh
Islam adalah segala bentuk ketidakadilan dan tirani. Saat keadilan dan
kedamaian terwujud, yang menikmati bukan hanya umat Islam, tetapi seluruh umat
manusia, karena Islam adalah agama rahmat bagi sekalian alam. Maka tidak berlebihan
jika dikatakan: “Masalah penjajahan Palestina adalah masalah bertaraf
internasional”. Bukankah dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia
tersurat pernyataan penting yang menentang segala bentuk penjajahan di dunia.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !