Sewaktu
sedang asyik dan maksyuk mengantar teman ke rumah yang berada di daerah
Ambalat(alias: Ambeth, Pamekasan,
Madura), Sarikhuluk mendapat pelajaran berharga. Dalam sejarah hidupnya,
ia mendapatkan anugerah yang luar biasa: ditilang polisi. Sarikhuluk kena dua pasal pelanggaran: Pertama,
tidak punya SIM(Surat Izin Mengemudi). Kedua, temennya tak memakai helm.
Lho kok kena tilang anugerah? Paling tidak ada beberapa
penjelasan yang menggunakan pendekatan otak-atik gathuk, yang dijelaskan
Sarikhuluk: Pertama, merasakan
secara langsung penegakan hukum yang masih berjalan. Yang namanya orang
melanggar hukum `kan mestinya dihukum. Salah + dihukum = benar. Salah+tak
dihukum= modar. Kedua, ia ingin membuktikan secara langsung,
apakah sudah tidak tersisa lagi baik, di tengah kebanyakan polisi yang
disetereotipkan khalayak umum sebagai pemeras rakyat. Dari peristiwa
‘tilang’ ini, Sarikhuluk masih mendapati polisi yang baik.
Ketika sampai di kampung
Jumeneng, Sarikhuluk membagikan pengalaman ini kepada teman-temannya di pendopo
al-Ikhlash. Ia bertutur, “Rek, dengan adanya peristiwa ‘tilang kemarin’,
paling tidak lahir beberapa filosofi yang bisa diambil.”. “Lho, filosofi
apa cak, wong ditilang kok melahirkan filosofi. Ora mudeng (red:
tidak mengerti) aku” celethuk Subari. “Dengan peristiwa itu, paling
tidak menggambarkan bahwa polisi ibarat tulang.” Sambung Sarikhuluk. “Walah
cak, ko bisa begitu,” keluh Supadi penasaran. “Maksudku gini rek. Polisi
–atau bisa diperluas tentara, prajurit, hakim dll- kalau menjadi bagian dari
penegakan hukum, maka tak ubahnya ibarat tulang, bahkan ‘tulang punggung’. Kita
pakai analogi badan manusia saja gampangannya. Bisakah manusia berdiri tegak,
kalau tulang-tulangnya hancur? Kalaupun tidak hancur, bisakah berdiri tegak
jika mengalami patah-patah?” “Yo jelas ga bisa lha cak” jawab
Sumarno datar. “Demikian juga di negara tercinta ini. Ibarat organ manusia,
negara ini bisa tegak jika para aparat hukum beserta jajarannya bekerjasama
untuk menegakkannya.” Lanjutnya.
“Terus filosofi apa
lagi cak selain ‘tulang’?” Tanya Sukarmen. “Selain tulang. Fungsi utama polisi
–beserta jajaran lain- ialah: tolong-menolong. Dengan menilang orang yang
melanggar –tanpa mau disogok-, berarti
ia telah menolong masyarakat untuk patuh hukum. Bila rambu-rambu dipatuhi,
berarti dengan sendirinya hukum akan menjadi tegak, tanpa harus menggunakan
cara-cara kekerasan. Di samping itu, memang tugas polisi `kan menolong orang
yang kesusahan, bukan morotin orang susah. Lha kalau kebanyakan
yang terjadi di lapangan `kan sebagaimana cerita Markoden dulu, polisi sukanya
nyari-nyari kesalahan supaya dapat duit atau ceperan. Dengan peristiwa
yang aku alami, paling tidak bisa membuka lebar-lebar ‘mata batin’ kita,
ternyata masih ada polisi yang berfungsi dengan baik dan jujur.”. “Iyo
cak. Aku ini sudah bertahun-tahun sudah apatis dengan yang namanya polisi.
Bayangkan, jelas-jelas aku sudah punya pakai peralatan lengkap, SIM pun ada. Lha
Cuma gara-gara tutup pentil sepeda motornya ga ada, masak ditilang.
Apa ga kurang ajar itu? Sampai-sampai aku mbatin: “Ga ono polisi jujur. Sing
jujur cumo polisi tidur(Tidak ada polisi jujur. Yang ada hanya ‘polisi
tidur’)” sahut Satuman.
“Lebih jauh lagi, ada satu
filosofi lagi. Polisi adalah talang.” “Lha opo maneh iku Cak?(apa lagi
itu cak?)” tanya Sukarji. “Kamu maknai talang dalam bahasa Indonesia, maupun
dalam bahasa Jawa, sama-sama mengena. Kalau dalam bahasa Indonesia, `kan ada
ungkapan, ‘menalangi’ dari kata ‘talang’ yang artinya: memberi pinjaman untuk
membayar sesuatu. Kalian tahu, dalam negara bersistem demokrasi, penguasa
tertinggi itu siapa? Rakyat `kan? Ketika ada rakyat kesusahan utamanya masalah
keamanan, ya polisi beserta aparat penegak hukum lainnya dengan suka rela untuk
meminjamkan waktu, tenaga, pikirannya untuk menalangi rasa aman kepada
masyarakat. Sedangkan ‘talang’ dalam bahasa Jawa, berarti: saluran air yang
biasanya dibuat dari buluh, seng dan diletakkan di cucuran atap. Ibarat talang rumah, polisi
adalah bagian fundamental yang mampu menjadi jalan bagi lancarnya air sehingga
bisa terdistribusi dengan baik sampai ke tanah. Bisa kalian bayangkan kalau
tidak ada talang, pasti disamping bocor, sangat memungkinkan rumah akan banjir,
karena saluranyna tidak ada. Ingat talang itu letaknya di atas. Polisi yang
baik, akan menjadi terhormat.” Begitulah sedikit penjelasan Sarikhuluk.
“Cak, nuwon sewu(red:
maaf), kalau ternyata di lapangan ternyata kebanyakan kondisinya adalah
sebaliknya (misalkan: banyak polisi memeras, suka main tilang, hanya cari ceperan,
mencari-cari kesalahan), maka filosofinya bisa terbalik juga.” Ungkap Sukarmen.
“Maksudmu piye(gimana)?” tanya Sarikhuluk. “Penjelasannya begini: Polisi
yang suka men-tilang, hanya karena cari uang, bukan dalam rangka penegakan
hukum, maka ia ibarat tulang. Ingat, tulang itu makanannya jin atau setan. Lha gimana coba ga jadi makanannya
setan? Wong mereka melakukan sesuatu yang tidak semestinya. Berarti
mereka termakan dong oleh rayuan dan godaan setan yang terkutuk. Kemudian,
komitmen para polisi yang katanya mau men-tolong orang, sebenarnya untuk
menolong uang. Uangnya orang memang perlu ditolong agar bisa masuk kantong
pribadi. Biar rekeningnya jadi gendut imut-imut. Kemudian, polisi yang
di-TALANG-i orang, karena suka morotin uang orang. Yo bisa sih ibarat talang
atap rumah. Tapi, talang bocor. Banyune(airnya) muncrat ke mana-mana.
Memangsih ga sampai banjir, tapi apa ya enak rumah jadi basah semua.
Sekian Cak, terima kasih.” “Yo kenek”. Sarikhuluk menimpali. Dalam hati
ia berseloroh: “Lumayan juga arek-arek iki(teman-teman ini).
Semoga polisi yang menilangku kemarin, benar-benar menilang, menulang, menolong
dan menalang.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !