Home » » Tilang, Tulang, Tolong, dan Talang

Tilang, Tulang, Tolong, dan Talang

Written By Amoe Hirata on Kamis, 09 April 2015 | 22.07




           Sewaktu sedang asyik dan maksyuk mengantar teman ke rumah yang berada di daerah Ambalat(alias: Ambeth, Pamekasan,  Madura), Sarikhuluk mendapat pelajaran berharga. Dalam sejarah hidupnya, ia mendapatkan anugerah yang luar biasa: ditilang polisi. Sarikhuluk kena dua pasal pelanggaran: Pertama, tidak punya SIM(Surat Izin Mengemudi). Kedua, temennya tak memakai helm. Lho kok kena tilang anugerah? Paling tidak ada beberapa penjelasan yang menggunakan pendekatan otak-atik gathuk, yang dijelaskan Sarikhuluk: Pertama, merasakan secara langsung penegakan hukum yang masih berjalan. Yang namanya orang melanggar hukum `kan mestinya dihukum. Salah + dihukum = benar. Salah+tak dihukum= modar. Kedua, ia ingin membuktikan secara langsung, apakah sudah tidak tersisa lagi baik, di tengah kebanyakan polisi yang disetereotipkan khalayak umum sebagai pemeras rakyat. Dari peristiwa ‘tilang’ ini, Sarikhuluk masih mendapati polisi yang baik.
            Ketika sampai di kampung Jumeneng, Sarikhuluk membagikan pengalaman ini kepada teman-temannya di pendopo al-Ikhlash. Ia bertutur, “Rek, dengan adanya peristiwa ‘tilang kemarin’, paling tidak lahir beberapa filosofi yang bisa diambil.”. “Lho, filosofi apa cak, wong ditilang kok melahirkan filosofi. Ora mudeng (red: tidak mengerti) aku” celethuk Subari. “Dengan peristiwa itu, paling tidak menggambarkan bahwa polisi ibarat tulang.” Sambung Sarikhuluk. “Walah cak, ko bisa begitu,” keluh Supadi penasaran. “Maksudku gini rek. Polisi –atau bisa diperluas tentara, prajurit, hakim dll- kalau menjadi bagian dari penegakan hukum, maka tak ubahnya ibarat tulang, bahkan ‘tulang punggung’. Kita pakai analogi badan manusia saja gampangannya. Bisakah manusia berdiri tegak, kalau tulang-tulangnya hancur? Kalaupun tidak hancur, bisakah berdiri tegak jika mengalami patah-patah?” “Yo jelas ga bisa lha cak” jawab Sumarno datar. “Demikian juga di negara tercinta ini. Ibarat organ manusia, negara ini bisa tegak jika para aparat hukum beserta jajarannya bekerjasama untuk menegakkannya.” Lanjutnya.
            Terus filosofi apa lagi cak selain ‘tulang’?” Tanya Sukarmen. “Selain tulang. Fungsi utama polisi –beserta jajaran lain- ialah: tolong-menolong. Dengan menilang orang yang melanggar –tanpa mau disogok-,  berarti ia telah menolong masyarakat untuk patuh hukum. Bila rambu-rambu dipatuhi, berarti dengan sendirinya hukum akan menjadi tegak, tanpa harus menggunakan cara-cara kekerasan. Di samping itu, memang tugas polisi `kan menolong orang yang kesusahan, bukan morotin orang susah. Lha kalau kebanyakan yang terjadi di lapangan `kan sebagaimana cerita Markoden dulu, polisi sukanya nyari-nyari kesalahan supaya dapat duit atau ceperan. Dengan peristiwa yang aku alami, paling tidak bisa membuka lebar-lebar ‘mata batin’ kita, ternyata masih ada polisi yang berfungsi dengan baik dan jujur.”. “Iyo cak. Aku ini sudah bertahun-tahun sudah apatis dengan yang namanya polisi. Bayangkan, jelas-jelas aku sudah punya pakai peralatan lengkap, SIM pun ada. Lha Cuma gara-gara tutup pentil sepeda motornya ga ada, masak ditilang. Apa ga kurang ajar itu? Sampai-sampai aku mbatin: “Ga ono polisi jujur. Sing jujur cumo polisi tidur(Tidak ada polisi jujur. Yang ada hanya ‘polisi tidur’)” sahut Satuman.
            “Lebih jauh lagi, ada satu filosofi lagi. Polisi adalah talang.” “Lha opo maneh iku Cak?(apa lagi itu cak?)” tanya Sukarji. “Kamu maknai talang dalam bahasa Indonesia, maupun dalam bahasa Jawa, sama-sama mengena. Kalau dalam bahasa Indonesia, `kan ada ungkapan, ‘menalangi’ dari kata ‘talang’ yang artinya: memberi pinjaman untuk membayar sesuatu. Kalian tahu, dalam negara bersistem demokrasi, penguasa tertinggi itu siapa? Rakyat `kan? Ketika ada rakyat kesusahan utamanya masalah keamanan, ya polisi beserta aparat penegak hukum lainnya dengan suka rela untuk meminjamkan waktu, tenaga, pikirannya untuk menalangi rasa aman kepada masyarakat. Sedangkan ‘talang’ dalam bahasa Jawa, berarti: saluran air yang biasanya dibuat dari buluh, seng dan diletakkan di  cucuran atap. Ibarat talang rumah, polisi adalah bagian fundamental yang mampu menjadi jalan bagi lancarnya air sehingga bisa terdistribusi dengan baik sampai ke tanah. Bisa kalian bayangkan kalau tidak ada talang, pasti disamping bocor, sangat memungkinkan rumah akan banjir, karena saluranyna tidak ada. Ingat talang itu letaknya di atas. Polisi yang baik, akan menjadi terhormat.” Begitulah sedikit penjelasan Sarikhuluk.
            “Cak, nuwon sewu(red: maaf), kalau ternyata di lapangan ternyata kebanyakan kondisinya adalah sebaliknya (misalkan: banyak polisi memeras, suka main tilang, hanya cari ceperan, mencari-cari kesalahan), maka filosofinya bisa terbalik juga.” Ungkap Sukarmen. “Maksudmu piye(gimana)?” tanya Sarikhuluk. “Penjelasannya begini: Polisi yang suka men-tilang, hanya karena cari uang, bukan dalam rangka penegakan hukum, maka ia ibarat tulang. Ingat, tulang itu makanannya jin atau setan.  Lha gimana coba ga jadi makanannya setan? Wong mereka melakukan sesuatu yang tidak semestinya. Berarti mereka termakan dong oleh rayuan dan godaan setan yang terkutuk. Kemudian, komitmen para polisi yang katanya mau men-tolong orang, sebenarnya untuk menolong uang. Uangnya orang memang perlu ditolong agar bisa masuk kantong pribadi. Biar rekeningnya jadi gendut imut-imut. Kemudian, polisi yang di-TALANG-i orang, karena suka morotin  uang orang. Yo bisa sih ibarat talang atap rumah. Tapi, talang bocor. Banyune(airnya) muncrat ke mana-mana. Memangsih ga sampai banjir, tapi apa ya enak rumah jadi basah semua. Sekian Cak, terima kasih.” “Yo kenek”. Sarikhuluk menimpali. Dalam hati ia berseloroh: “Lumayan juga arek-arek iki(teman-teman ini). Semoga polisi yang menilangku kemarin, benar-benar menilang, menulang, menolong dan menalang.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan