Sudah menjadi maklum bagi orang pada
umumnya, bahwa pemuda adalah salah satu aset berharga, baik bagi individu,
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Namun, yang menjadi masalah kemudian, sekadar
mengetahui keberhargaannya, tidaklah mencukupi untuk mewujudkan generasi yang
dianggap sebagai ‘tunas harapan’ tersebut yang benar-benar bernilai. Pemuda
baru akan terlihat nilainya jika potensi yang dimiliki bisa dioptimalisasikan
dengan sebaik mungkin. Karena itulah, perlu ada langkah-langkah serius untuk
merealisasikannya. Tulisan ini akan memaparkan optimalisasi potensi pemuda
dalam sejarah Islam. Semoga tulisan sederhana ini, bisa menjadi pendorong bagi siapa saja yang mempunyai perhatian besar
dalam memberdayakan potensi pemuda secara maksimal.
Dalam sejarah Nabi Muhammad shallallahu
`alaihi wasallam, ditemukan beberapa realita menarik mengenai
optimilasisasi potensi pemuda. Pertama, Beliau memiliki strategi matang dan
mengetahui secara mendetail ‘peta potensi’ mereka. Sebagai contoh kecil, sahabat,
Usamah bin Zaid(18 tahun) yang diutus menjadi panglima perang dalam ekspedisi
militer ke negeri Syam (wilayah subordinasi Romawi), padahal masih banyak
sahabat-sahabat yang berkaliber besar seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan
lain sebagainya. Demikian juga Mu`adz bin `Amru bin al-Jamuh, dan Mu`awwidz bin al-`Afrā, meski keduanya umurnya begitu muda,
namun karena memiliki kecakapan militer, mereka pun diizinkan berpartisipasi
dalam medan jihad. Zaid bin Tsabit –yang ditolak ikut serta dalam perang Badar-
diketahui mempunyai potensi dalam bidang keilmuan, sehingga dianjurkan Nabi,
untuk mempelajari bahasa asing, dan kelak menjadi penulis wahyu. Jadi, untuk
mengoptimalisasikan potensi pemuda, kita harus memiliki setrategi matang serta mengetahui
terlebih dahulu apa potensinya.
Kedua, selain hal tersebut, beliau juga sangat menyadari pentingnya pemuda. Bagi beliau mereka
mempunyai dampak besar dalam ‘roda dakwah’ Islam. Karena itu, tidak heran jika
dakwah pertama kali Rasulullah -kebanyakan- diorientasikan pada pemuda. Ini
bisa dilihat dari rata-rata sahabat besar, yang masuk Islam. Sebagai contoh
misalnya, Ali bin Abi
Thalib(10 tahun), Utsman bin Affan(35 tahun), Umar bin Khattab(31 tahun) Sa`ad
bin Abi Waqash(17 tahun), Zubair bin Al-Awwām(15 tahun), Thalha bin Ubaidillah(16
tahun), Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit, ibnu Abbas dan lain sebagainya,
kesemuanya tergolong masih muda ketika masuk Islam. Di tangan para pemuda ini
–melalui bimbingan Rasul yang sangat intensif-, dakwah Islam bisa tersebar
luas.
Ketiga, dalam sejarah disebutkan bahwa beliau sangat
perhatian dalam urusan pemuda. Salah satu contoh perhatiannya, sampai pada hal
yang menyangkut anjuran nikah pada para pemuda sebagaimana hadits berikut: “Wahai
generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia
kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan.
Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu”(Muttafaq
`Alaih). Jika urusan perkawinan saja beliau perhatikan, apalagi urusan-urusan
lainnya. Ini menunjukkan bahwa jika mau mengoptimalisasikan pemuda, maka harus
mencurahkan perhatian yang maksimal dalam kehidupan mereka, sebagaimana yang
telah dicontohkan Nabi Muhammad Saw.
Keempat, menyediakan
sarana efektif untuk pemberdayaan pemuda. Salah satunya ialah melalui media
pendidikan. Baik itu menyangkut akademis, militer, kesehatan dan lain
sebagainya. Sebagai contoh, pasca pertempuran Badar, beliau mempunyai ide
strategis berupa ‘penghapusan buta huruf’. Para tawanan Badar yang tak mampu
menebus diri(kerena miskin), akan dibebaskan jika mampu mengajari sepuluh dari
anak-anak Muslim di Madinah, hingga bisa membaca dan menulis(Raudhatu
al-Anfi, al-Suhaili, III/135). Di serambi masjid pun disediakan tempat
khusus untuk aktivitas pendidikan, yang kemudian dinamakan Shuffah. Usaha
tersebut ternyata begitu efektif dalam melejitkan potensi pemuda.
Masih terkait dengan
sarana pendidikan, pada zaman al-Khulafāu al-Rāsyidūn, apa yang telah dilakukan Rasulullah
dikembangkan sedemikian rupa. Mereka sangat peduli dalam pengoptimalan potensi
pemuda. Media pendidikan yang telah berjalan, menjadi berkembang pesat. Mereka
sangat memperhatikan nilai pemuda. Maka tidak mengherankan jika setiapa kali
menghadapi urusan pelik, sahabat sekaliber Umar bin Khattab selalu melibatkan
pemuda. Di masa daulah Umawi, didirikan banyak kuttāb(media pendidikan untuk anak setingkat
madrasah), semua itu sebagai langkah kongkrit dalam mengoptimalkan
pemuda. Di Sicilia saja, dalam satu kota.–menurut penuturan Ibnu Hauqal- ada
300 Kuttāb( Madza
Qaddama al-Muslimūn li al-`ālam, jil. I,
hal. 191). Ini mengindikasikan umat Islam sangat perhatian dalam
mengoptimalkan potensi pemuda, melalui jalur pendidikan.
Lebih dari itu, dalam
sejarah Islam ditemukan lembaga yang sangat serius dalam mengoptimalkan potensi
pemuda. Baitu al-Hikmah misalnya(lembaga pendidikan yang berkembang
pesat di zaman Ma`mun), merupakan media yang setrategis sebagai wahana
memaksimalkan potensi pemuda. Perpustakaan besar seperti di Baghdad, Andalusia,
Mesir, Syam adalah bagian dari sarana ini. Mereka mampu mengembangkan potensi pemuda dengan sebaik-baiknya. Ternyata
kepedulian ini terus berlangsung sepanjang sejarah Islam. Media pendidikan besar
seperti, Nidhāmiah, Al-Mushtanshiriyah, Nashiriyah, Shalahiyah, Al-Azhar adalah sebagai bukti
perhatian besar umat Islam dalam mengoptimalkan potensi pemuda.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan,
dalam sejarah Islam di antara cara untuk mengoptimalisasikan potensi pemuda
ialah dengan: setrategi matang, pengetahuain mendetail potensi pemuda,
perhatian yang serius dalam segenap sisinya, menyiapkan sarana pendidikan yang
kondusif dan intensif. [Telih diterbitkan di: yatimmandiri.com]
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !