Home » » Miniatur Negara Islam

Miniatur Negara Islam

Written By Amoe Hirata on Minggu, 19 April 2015 | 18.27

(Sebuah Refleksi: Shalat Berjamaah di Masjid)

            Setiap orang Islam tentunya tidak asing dengan: shalat jama`ah di masjid. Bagi Muslim taat-utamanya lelaki yang sudah baligh-, shalat jama`ah sudah menjadi kelaziman(mengenai hukum shalat berjama`ah di masjid memang terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang berpendapat bahwa shalat jama`ah di masjid bagi laki-laki adalah sunnah muakkadah[sangat ditekankan]; ada pula yang memandangnya sebagai kewajiban. Terlepas dari perbedaan tersebut, intinya shalat berjamaah, minimal sangat ditekankan dalam Islam bagi laki-laki yang sudah balig). Meski demikian, sayangnya jarang sekali yang berusaha merefleksikannya pada ranah kontemplatif; semacam ‘metafor sarat hikmah’ yang bisa dijadikan pelajaran dalam kehidupan sehari-hari; baik sebagai individu, keluarga, masyarakat, bangsa hingga negara. Pada tulisan ini, penulis berusaha merefleksikan –sesuai dengan kapasitas pengetahuan dan pengalaman-, ‘shalat berjama`ah di masjid’ sebagai refleksi kontemplatif metaforis yang terejawantah dalam judul: “Miniatur Negara Islam(Sebuah Refleksi: Shalat Berjamaah di Masjid).
            Ada beberapa unsur penting yang perlu dikemukakan di sini ketika menjadikan ‘shalat jama`ah di masjid’ sebagai refleksi dari ‘miniatur negara Islam’. Pertama, masjid ibarat teritorial negara; tempat tinggal di mana penduduk hidup. Tidak bisa disebut negara, jika tidak memiliki wilayah sendiri sebagai basis untuk membangun bangsa yang adil dan makmur. Kedua, ma`mum, jama`ah shalat ibarat rakyat, penduduk, atau bangsa yang menghuni teritorial negara. Tidak bisa disebut negara, bila tidak ada bangsa(sebagai tambahan: Malik bin Nabi Pemikir Muslim al-Jazair, menjelaskan tiga unsur penting peradaban yaitu: manusia, tanah dan waktu). Ketiga, imam shalat ibarat pemimpin, raja, atau presiden yang bertanggung jawab mengorganisir, memanajemeni, mengatur, organisasi besar negara hingga mencapai negara yang adil, makmur dan bermartabat. Keempat, tata cara shalat yang berasal dari Allah dan Rasulullah, ibarat undang-undang yang harus dijaga bersama agar tercipta stabilitas negara. Kelima, kiblat ibarat visi-misi dan orientasi yang jelas dalam sebuah negara.
            Sebelum lebih jauh mengurai refleksi, kita tentu tahu sebelum shalat jama`ah, itu ada adzan. Dalam sekala negara, adzan ibarat proklamasi(berdirinya sebuah negara). Adapun penjelasan dari kelima unsur di atas, sebagai berikut: Pertama, masjid sebagai atau ibarat teritorial tempat tinggal suatu bangsa, negara memiliki makna unik. Meskipun secara wadak atau lahiriah ia adalah bangunan yang berdiri di atas tanah, namun perlu diingat ia tetap mempunyai kolerasi yang erat dengan Allah. Dari segi namanya saja, bisa kita uraikan secara ringkas: 1. “masjid” berarti tempat sujud. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa semua bumi yang suci, oleh Allah dijadikan masjid(tempat suduj) yang syah untuk shalat(Hr. Bukhari, Tirmidzi dan Nasai). Ini artinya: sejak awal harus menjadi kesadaran bersama bahwa masalah wilayah, teritorial, atau tanah ini harus dikaitkan dengan Allah. Tidak bisa dianggap perkara keduniaan, sebagaimana orang sekular memandang. 2. Nama lain masjid ialah “baitullah”(rumah Allah). Orang dalam sebuah negara yang sadar bahwa tanah, bumi yang dijadikan tempat tinggal adalah milik Allah, maka ia akan tidak semena-mena dalam menggunakannya. Pasti akan dibersikan ketika kotor. Dirawat, dan dijaga demi kemaslahatan bersama dan sebagai manivestasi keimanan kepada Allah. Di samping itu, pendirian masjid, dalam hal ini negara, -sebagaimana al-Qur`an. At-Taubah: 108- didasarkan asas takwa (akhlak mulia), bukan berdasarkan nafsu dan kepentingan pihak tertentu yang jauh dari takwa.
            Lebih dari itu, dalam sejarahnya, masjid bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah mahdhah: shalat berjamaah. Ia juga digunakan untuk menyemai pendidikan. Dalam khazanah tradisi kebudayaan umat Islam, pendidikan besar semacam Universitas, embrionya adalah masjid. Bahkan, bukan saja sebagai tempat menempa dan kaderisasi pendidikan, ia juga berfungsi sebaga markas untuk memusyawarahkan permasalahan-permasalahan yang menimpa kaum Muslim sekaligus mencari solusinya. Kalau dalam bahasa modern, pada masa Nabi –menyitir istilah penulis: “al-Rahīqi al-Makhtūm”, karya: Shofiyurrahman Mubarakfuri- sebagai parlemen negara yang berfungsi untuk memimpin roda pemerintahan. Dari sini kita bisa mengetahui bahwa masjid bukan saja sebagai tempat ibadah, namun juga terkait kegiatan sosial, pendidikan, kebudayaan, dan kenegaraan. Maka, sekali lagi tidak mengherankan jika masjid bisa dijadikan refleksi sebagai miniatur negara Islam. Tidak berlebihan, di sisi lain masjid bisa dianggap sebaga embrio peradaban Islam. Bila umat Islam mau bangkit, maka gerakan-gerakan di Masjid yang pernah semarak dan intensif di masa Rasulullah harus digali maknanya untuk ditransformasikan dan dibahasakan dengan bahasai kekinian, sehingga manfaatnya bisa dirasakan.
            Kedua, imam sebagai kepala negara, raja, presiden atau khalifah dipilih(yang namanya imam, dipilih makmum bukan mengangakat atau mencalon-calonkan diri) berdasarkan kualifikasi keahlian yang dimiliki. Minimal ada beberapa kualifikasi yang bisa dijadikan acuan untuk memilih imam(pemimpin): 1. Beragama Islam(Qs. Ali Imran: 85). Muslim di sini dalam pengertian lahir batin(antara agama dan perbuatan berjalinkelindan). Sebab, tidak akan bisa mendirikan sebuah negara Islam, jika yang memimpin tidak beragama Islam. 2. Baligh(dewasa). Dewasa dalam pengertian lahir-batin. Pemimpin yang masih kekanak-kanakan, tidak layak menjadi pemimpin. Maka pemimpin negara yang dewasa baik secara usia, intelektual, dan mental yang layak menjadi pemimpin. 3. Diridhai oleh makmum(Hr. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban). Bagaimana mungkin bisa disebut pemimpin, jika tidak ada dalam hati rakyat. Dan tidak mungkin diridhai jika tidak memiliki hubungan emosional yang kokoh dengan rakyat. 4. Paling pandai membaca, berilmu, dan paham(dan menguasai al-Qur`an, dalam hal ini undang-undang). Ini juga bisa dibahasakan sebagai orator ulung. 5. Berpengalaman. Pengalaman adalah bekal penting yang perlu dimiliki pemimpin. 6. Yang paling senior(Hr. Muslim). Jika sama-sama berpengalaman. 7. Penduduk Asli. Jika sama-sama memiliki standar serupa.  Dengan standar kualitatif seperti itu, maka dalam memilih sebuah pemimpin –sebagaimana dalam shalat berjama`ah di masjid-, kita tidak boleh asal-asalan.
            Lebih dari itu, ditinjau dari sisi bahasa, kata “imām” berkaitan erat dengan kata “amām”(di depan) dan “umm”(ibu). Yang namanya pemimpin, ia harus berada di garda depan baik dalam menjadi teladan, contoh bagi rakyatnya. Ki Hajar Dewantoro mengistilahkan: Ing Ngarso Sung Tulodho. Ia juga bersikap laiknya ibu, yang penuh kasih sayang dalam merawat dan mendidik anaknya. Rela menderita dan berkorban demi anak-anaknya. Pemimpin yang mempunyai kualifikasi demikian, sangat layak bahkan harus diikuti. Dalam sebuah hadits dijelaskan: “Imam diangkat, itu untuk diteladani”(Hr. Bukhari). Yang penting lagi, -dalam kaitannya miniatur negara Islam-, dalam memilih pejabat pemerintahan, seorang pemimpin harus selektif. Tidak berdasarkan kolusi, korupsi dan nepotisme. Yang dipilih adalah orang-orang yang berkompeten dibidangnya. Sebagaimana petunjuk nabi, ketika jadi Imam, ia menempatkan orang-orang yang berkompeten di belakangnya(istilah haditsnya: “Ulu al-Ahlam wa Ulu al-Nuha”[intelek dan obsesif] sebagaimana riwayat Bukhari), baik dari segi ilmu dan keahlian lainnya. Supaya apa? Ketika imam batal, nanti langsung digantikan oleh orang yang berada di belakangnya. Orang yang bertugas menjaga masjid atau ta`mir masjid mempunyai kewajiban memakmurkannya. Demikian pula kepala dan pejabat negara, mereka berkewajiban memakmurkan rakyatnya.
            Ketiga, makmum, dalam hal ini adalah rakyat, kewajibannya adalah taat dan meneladani imam. Meski begitu, mereka memiliki hak untuk protes ketika ada yang salah dari pemimpin. Sebagaimana ma`mum mempunyai kewajiban membenarkan imam, ketika bacaannya salah. Kalau pun protes, maka rakyat bisa melalui prosedur yang jelas. Sebagaimana shalat, ketika ada imam salah bacaan atau lupa rakaat sudah ada petunjuk jelas. Kalau ada salah bacaan, maka langsung diingatkan oleh orang dibelakangnya. Ketika lupa, bagi yang cowok dengan mengucapkan “subhanallah”, sedangkan cewek dengan bertepuk tangan. Rakyat tidak boleh serampangan dan maunya sendiri dalam mengingatkan, sebab jika semua diberi wewenang dengan caranya sendiri, maka jamaah(dalam hal ini: bangsa) akan bubar. Namanya makmum(atau rakyat dalam skala negara) harus merapatkan barisan. Bersatu padu, kompak, sejalan dan seirama, demi terselenggaranya kegiatan secara baik dan lancar. Kalau ada yang bolong maka segera diisi(sebagai gambaran saling menutupi aib). Begitu seterusnya sebagai gambaran yang indah dari arti penting sebuah persatuan dan persaudaraan dalam jama`ah shalat. Dalam shalat, semua dipandang sama(sebuah prinsip egaliter, persamaan). Tidak ada strata sosial dikalangan makmum dan imam. Yang paling mulia adalah yang paling bertakwa. Bila bangsa mampu menerapkan akhlak sebagai acuan kemulian, maka bisa dijamin, akan menjadi bangsa besar.
            Keempat, tata cara shalat, dalam hal ini adalah undang-undang, memang harus berasal dari ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Bagaimana mungkin bisa dikatakan negara Islam, jika undang-undang yang dipakai bukan berasal dari Allah dan Rasulnya. Sebagai contoh kecil misalnya: kalau ada orang shalat, kemudian menggunakan bacaan jampi-jampi dukun, atau menggunakan doa dari agama lain, maka jelas batal shalatnya. Kelima, kiblat sebagai arah dalam shalat. Bisa digambarkan sebagai orientasi, visi-misi dalam sebuah negara. Tidak dikatakan sebagai negara Islam jika tidak berorientasi kepada Tuhan. Semua bersatu padu mengarah pada satu tujuan, yaitu: Allah. Visi misinya jelas, yaitu: di dunia menjalankan ibadah(Qs. Ad-Dzariat: 56), dan berusaha menggapai ridha-Nya. Masalah dunia-akhirat tidak pernah dipisahkan. Bagi mereka, dunia adalah sebagai lahan untuk berdedikasi dan berinvestasi begi kehidupan akhirat. Memang imam, makmum, masjid, tidak bisa dipisahkan dari unsur dunia(seperti: bangunan masjid, baju imam dan makmum) tapi semuanya diarahkan untuk beribadah dan mendapat keridhaan Allah. Dan yang terakhir, sebagaimana masjid, masalah bentuk masjid tidak pernah ditentukan Rasulullah, sebagaimana bentuk negara(misalnya harus khilafah, kerajaan dan lain sebagainya) tapi yang negara harus tetap ada sebagai organisasi besar yang mewujudkan kemaslahatan rakyat.
            Mengenai pentingnya shalat sebagai refleksi miniatur negara Islam, maka jangan heran ketika ada ayat: “(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma´ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan”(Qs. Al-Haj: 41). Kata ‘diteguhkan kedudukan mereka di muka bumi’ menggambarkan dianugerahkannya negara yang kuat. Apa ciri-ciri mereka: Pertama, menegakkan shalat(yang menjadi refleksi dari tulisan ini). Kedua, menunaikan zakat(sebagai rukun Islam yang berskala sosial). Ketiga, menyuruh kepada yang ma`ruf. Keempat, mencegah perbuatan munkar. Kelima, mengembalikan segala urusan hanya pada Allah. Salah satu alasan yang menjadikan shalat jamaah lima waktu di masjid begitu istimewa hingga dijadikan miniatur negara, di antaranya: ia mengandung semua rukun Islam: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji; Allah sendiri yang mewajibkannya ketika mi`raj Nabi di sidratul Muntaha. Maka jangan heran, setiap kali Rasulullah sedang menghadapi masalah pelik dan tertekan, dia berkata pada Bilal: “Wahai Bilal, marilah kita rehat sejenak dengan shalat”. Dan yang tidak kalah pentingnya, dalam al-Qur`an dan Sunnah, kata yang dipasangkan dengan shalat ialah: aqāma-yuqīmi-iqāmatan berarti: menegakkan. Karena shalat berjamaahbukan sekadar ritual biasa. Ia bisa menjadi refleksi hingga pada taraf negara. Wallahu a`lam bi al-Shawab.


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan