(Sebuah Refleksi: Shalat Berjamaah di Masjid)
Setiap orang Islam
tentunya tidak asing dengan: shalat jama`ah di masjid. Bagi Muslim
taat-utamanya lelaki yang sudah baligh-, shalat jama`ah sudah menjadi kelaziman(mengenai
hukum shalat berjama`ah di masjid memang terjadi perbedaan pendapat di kalangan
ulama. Ada yang berpendapat bahwa shalat jama`ah di masjid bagi laki-laki
adalah sunnah muakkadah[sangat ditekankan]; ada pula yang memandangnya
sebagai kewajiban. Terlepas dari perbedaan tersebut, intinya shalat berjamaah,
minimal sangat ditekankan dalam Islam bagi laki-laki yang sudah balig). Meski
demikian, sayangnya jarang sekali yang berusaha merefleksikannya pada ranah
kontemplatif; semacam ‘metafor sarat hikmah’ yang bisa dijadikan pelajaran
dalam kehidupan sehari-hari; baik sebagai individu, keluarga, masyarakat,
bangsa hingga negara. Pada tulisan ini, penulis berusaha merefleksikan –sesuai dengan
kapasitas pengetahuan dan pengalaman-, ‘shalat berjama`ah di masjid’ sebagai
refleksi kontemplatif metaforis yang terejawantah dalam judul: “Miniatur Negara
Islam(Sebuah Refleksi: Shalat Berjamaah di Masjid).
Ada beberapa unsur penting
yang perlu dikemukakan di sini ketika menjadikan ‘shalat jama`ah di masjid’
sebagai refleksi dari ‘miniatur negara Islam’. Pertama, masjid ibarat
teritorial negara; tempat tinggal di mana penduduk hidup. Tidak bisa disebut
negara, jika tidak memiliki wilayah sendiri sebagai basis untuk membangun
bangsa yang adil dan makmur. Kedua, ma`mum, jama`ah shalat ibarat
rakyat, penduduk, atau bangsa yang menghuni teritorial negara. Tidak bisa
disebut negara, bila tidak ada bangsa(sebagai tambahan: Malik bin Nabi Pemikir
Muslim al-Jazair, menjelaskan tiga unsur penting peradaban yaitu: manusia,
tanah dan waktu). Ketiga, imam shalat ibarat pemimpin, raja, atau presiden yang
bertanggung jawab mengorganisir, memanajemeni, mengatur, organisasi besar
negara hingga mencapai negara yang adil, makmur dan bermartabat. Keempat, tata
cara shalat yang berasal dari Allah dan Rasulullah, ibarat undang-undang yang
harus dijaga bersama agar tercipta stabilitas negara. Kelima, kiblat ibarat
visi-misi dan orientasi yang jelas dalam sebuah negara.
Sebelum lebih jauh
mengurai refleksi, kita tentu tahu sebelum shalat jama`ah, itu ada adzan. Dalam
sekala negara, adzan ibarat proklamasi(berdirinya sebuah negara). Adapun
penjelasan dari kelima unsur di atas, sebagai berikut: Pertama, masjid
sebagai atau ibarat teritorial tempat tinggal suatu bangsa, negara memiliki
makna unik. Meskipun secara wadak atau lahiriah ia adalah bangunan yang berdiri
di atas tanah, namun perlu diingat ia tetap mempunyai kolerasi yang erat dengan
Allah. Dari segi namanya saja, bisa kita uraikan secara ringkas: 1. “masjid”
berarti tempat sujud. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa semua bumi yang
suci, oleh Allah dijadikan masjid(tempat suduj) yang syah untuk shalat(Hr.
Bukhari, Tirmidzi dan Nasai). Ini artinya: sejak awal harus menjadi kesadaran
bersama bahwa masalah wilayah, teritorial, atau tanah ini harus dikaitkan
dengan Allah. Tidak bisa dianggap perkara keduniaan, sebagaimana orang sekular
memandang. 2. Nama lain masjid ialah “baitullah”(rumah Allah). Orang
dalam sebuah negara yang sadar bahwa tanah, bumi yang dijadikan tempat tinggal
adalah milik Allah, maka ia akan tidak semena-mena dalam menggunakannya. Pasti
akan dibersikan ketika kotor. Dirawat, dan dijaga demi kemaslahatan bersama dan
sebagai manivestasi keimanan kepada Allah. Di samping itu, pendirian masjid,
dalam hal ini negara, -sebagaimana al-Qur`an. At-Taubah: 108- didasarkan asas
takwa (akhlak mulia), bukan berdasarkan nafsu dan kepentingan pihak tertentu
yang jauh dari takwa.
Lebih dari itu, dalam
sejarahnya, masjid bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah mahdhah:
shalat berjamaah. Ia juga digunakan untuk menyemai pendidikan. Dalam khazanah
tradisi kebudayaan umat Islam, pendidikan besar semacam Universitas, embrionya
adalah masjid. Bahkan, bukan saja sebagai tempat menempa dan kaderisasi
pendidikan, ia juga berfungsi sebaga markas untuk memusyawarahkan
permasalahan-permasalahan yang menimpa kaum Muslim sekaligus mencari solusinya.
Kalau dalam bahasa modern, pada masa Nabi –menyitir istilah penulis: “al-Rahīqi
al-Makhtūm”, karya: Shofiyurrahman Mubarakfuri- sebagai parlemen negara
yang berfungsi untuk memimpin roda pemerintahan. Dari sini kita bisa mengetahui
bahwa masjid bukan saja sebagai tempat ibadah, namun juga terkait kegiatan
sosial, pendidikan, kebudayaan, dan kenegaraan. Maka, sekali lagi tidak
mengherankan jika masjid bisa dijadikan refleksi sebagai miniatur negara Islam.
Tidak berlebihan, di sisi lain masjid bisa dianggap sebaga embrio peradaban
Islam. Bila umat Islam mau bangkit, maka gerakan-gerakan di Masjid yang pernah
semarak dan intensif di masa Rasulullah harus digali maknanya untuk
ditransformasikan dan dibahasakan dengan bahasai kekinian, sehingga manfaatnya
bisa dirasakan.
Kedua, imam sebagai
kepala negara, raja, presiden atau khalifah dipilih(yang namanya imam, dipilih
makmum bukan mengangakat atau mencalon-calonkan diri) berdasarkan kualifikasi keahlian
yang dimiliki. Minimal ada beberapa kualifikasi yang bisa dijadikan acuan untuk
memilih imam(pemimpin): 1. Beragama Islam(Qs. Ali Imran: 85). Muslim di sini
dalam pengertian lahir batin(antara agama dan perbuatan berjalinkelindan). Sebab,
tidak akan bisa mendirikan sebuah negara Islam, jika yang memimpin tidak
beragama Islam. 2. Baligh(dewasa). Dewasa dalam pengertian lahir-batin. Pemimpin
yang masih kekanak-kanakan, tidak layak menjadi pemimpin. Maka pemimpin negara
yang dewasa baik secara usia, intelektual, dan mental yang layak menjadi
pemimpin. 3. Diridhai oleh makmum(Hr. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban). Bagaimana
mungkin bisa disebut pemimpin, jika tidak ada dalam hati rakyat. Dan tidak
mungkin diridhai jika tidak memiliki hubungan emosional yang kokoh dengan
rakyat. 4. Paling pandai membaca, berilmu, dan paham(dan menguasai al-Qur`an,
dalam hal ini undang-undang). Ini juga bisa dibahasakan sebagai orator ulung.
5. Berpengalaman. Pengalaman adalah bekal penting yang perlu dimiliki pemimpin.
6. Yang paling senior(Hr. Muslim). Jika sama-sama berpengalaman. 7. Penduduk Asli.
Jika sama-sama memiliki standar serupa. Dengan standar kualitatif seperti itu, maka
dalam memilih sebuah pemimpin –sebagaimana dalam shalat berjama`ah di masjid-,
kita tidak boleh asal-asalan.
Lebih dari itu, ditinjau
dari sisi bahasa, kata “imām” berkaitan erat dengan kata “amām”(di
depan) dan “umm”(ibu). Yang namanya pemimpin, ia harus berada di garda
depan baik dalam menjadi teladan, contoh bagi rakyatnya. Ki Hajar Dewantoro
mengistilahkan: Ing Ngarso Sung Tulodho. Ia juga bersikap laiknya ibu,
yang penuh kasih sayang dalam merawat dan mendidik anaknya. Rela menderita dan berkorban
demi anak-anaknya. Pemimpin yang mempunyai kualifikasi demikian, sangat layak
bahkan harus diikuti. Dalam sebuah hadits dijelaskan: “Imam diangkat, itu untuk
diteladani”(Hr. Bukhari). Yang penting lagi, -dalam kaitannya miniatur negara
Islam-, dalam memilih pejabat pemerintahan, seorang pemimpin harus selektif.
Tidak berdasarkan kolusi, korupsi dan nepotisme. Yang dipilih adalah
orang-orang yang berkompeten dibidangnya. Sebagaimana petunjuk nabi, ketika
jadi Imam, ia menempatkan orang-orang yang berkompeten di belakangnya(istilah
haditsnya: “Ulu al-Ahlam wa Ulu al-Nuha”[intelek dan obsesif]
sebagaimana riwayat Bukhari), baik dari segi ilmu dan keahlian lainnya. Supaya
apa? Ketika imam batal, nanti langsung digantikan oleh orang yang berada di
belakangnya. Orang yang bertugas menjaga masjid atau ta`mir masjid
mempunyai kewajiban memakmurkannya. Demikian pula kepala dan pejabat negara,
mereka berkewajiban memakmurkan rakyatnya.
Ketiga, makmum,
dalam hal ini adalah rakyat, kewajibannya adalah taat dan meneladani imam.
Meski begitu, mereka memiliki hak untuk protes ketika ada yang salah dari
pemimpin. Sebagaimana ma`mum mempunyai kewajiban membenarkan imam, ketika
bacaannya salah. Kalau pun protes, maka rakyat bisa melalui prosedur yang
jelas. Sebagaimana shalat, ketika ada imam salah bacaan atau lupa rakaat sudah
ada petunjuk jelas. Kalau ada salah bacaan, maka langsung diingatkan oleh orang
dibelakangnya. Ketika lupa, bagi yang cowok dengan mengucapkan “subhanallah”,
sedangkan cewek dengan bertepuk tangan. Rakyat tidak boleh serampangan dan
maunya sendiri dalam mengingatkan, sebab jika semua diberi wewenang dengan caranya
sendiri, maka jamaah(dalam hal ini: bangsa) akan bubar. Namanya makmum(atau
rakyat dalam skala negara) harus merapatkan barisan. Bersatu padu, kompak,
sejalan dan seirama, demi terselenggaranya kegiatan secara baik dan lancar.
Kalau ada yang bolong maka segera diisi(sebagai gambaran saling menutupi aib).
Begitu seterusnya sebagai gambaran yang indah dari arti penting sebuah
persatuan dan persaudaraan dalam jama`ah shalat. Dalam shalat, semua dipandang
sama(sebuah prinsip egaliter, persamaan). Tidak ada strata sosial dikalangan
makmum dan imam. Yang paling mulia adalah yang paling bertakwa. Bila bangsa mampu
menerapkan akhlak sebagai acuan kemulian, maka bisa dijamin, akan menjadi
bangsa besar.
Keempat, tata cara
shalat, dalam hal ini adalah undang-undang, memang harus berasal dari ketentuan
Allah dan Rasul-Nya. Bagaimana mungkin bisa dikatakan negara Islam, jika undang-undang
yang dipakai bukan berasal dari Allah dan Rasulnya. Sebagai contoh kecil
misalnya: kalau ada orang shalat, kemudian menggunakan bacaan jampi-jampi
dukun, atau menggunakan doa dari agama lain, maka jelas batal shalatnya. Kelima,
kiblat sebagai arah dalam shalat. Bisa digambarkan sebagai orientasi,
visi-misi dalam sebuah negara. Tidak dikatakan sebagai negara Islam jika tidak
berorientasi kepada Tuhan. Semua bersatu padu mengarah pada satu tujuan, yaitu:
Allah. Visi misinya jelas, yaitu: di dunia menjalankan ibadah(Qs. Ad-Dzariat:
56), dan berusaha menggapai ridha-Nya. Masalah dunia-akhirat tidak pernah
dipisahkan. Bagi mereka, dunia adalah sebagai lahan untuk berdedikasi dan
berinvestasi begi kehidupan akhirat. Memang imam, makmum, masjid, tidak bisa
dipisahkan dari unsur dunia(seperti: bangunan masjid, baju imam dan makmum)
tapi semuanya diarahkan untuk beribadah dan mendapat keridhaan Allah. Dan yang
terakhir, sebagaimana masjid, masalah bentuk masjid tidak pernah ditentukan
Rasulullah, sebagaimana bentuk negara(misalnya harus khilafah, kerajaan dan
lain sebagainya) tapi yang negara harus tetap ada sebagai organisasi besar yang
mewujudkan kemaslahatan rakyat.
Mengenai pentingnya shalat
sebagai refleksi miniatur negara Islam, maka jangan heran ketika ada ayat: “(yaitu) orang-orang yang jika Kami
teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma´ruf dan mencegah dari perbuatan
yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan”(Qs. Al-Haj: 41). Kata ‘diteguhkan kedudukan
mereka di muka bumi’ menggambarkan dianugerahkannya negara yang kuat. Apa
ciri-ciri mereka: Pertama, menegakkan shalat(yang menjadi refleksi dari
tulisan ini). Kedua, menunaikan zakat(sebagai rukun Islam yang berskala
sosial). Ketiga, menyuruh kepada yang ma`ruf. Keempat, mencegah
perbuatan munkar. Kelima, mengembalikan segala urusan hanya pada Allah.
Salah satu alasan yang menjadikan shalat jamaah lima waktu di masjid begitu
istimewa hingga dijadikan miniatur negara, di antaranya: ia mengandung semua
rukun Islam: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji; Allah sendiri yang
mewajibkannya ketika mi`raj Nabi di sidratul Muntaha. Maka jangan heran,
setiap kali Rasulullah sedang menghadapi masalah pelik dan tertekan, dia
berkata pada Bilal: “Wahai Bilal, marilah kita rehat sejenak dengan shalat”.
Dan yang tidak kalah pentingnya, dalam al-Qur`an dan Sunnah, kata yang
dipasangkan dengan shalat ialah: aqāma-yuqīmi-iqāmatan berarti:
menegakkan. Karena shalat berjamaahbukan sekadar ritual biasa. Ia bisa menjadi
refleksi hingga pada taraf negara. Wallahu a`lam bi al-Shawab.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !