Ketika pertama kali Nabi Muhammad shallallahu
`alaihi wasallam menerima wahyu, kata pertama yang disampaikan Jibril
kepada beliau ialah: iqra`. Iqra` biasanya oleh kalangan
penerjemah diartikan: “bacalah!”. Bila kita menelaah, mentadabburi,
mengaktifkan daya fikir kita, tentu saja akan ada pertanyaan-pertanyaan
demikian: Muhammad ذkan tidak bisa membaca, kenapa ayat pertama adalah perintah
untuk membaca? Okelah kalau ternyata akhirnya Muhammad bisa membaca, tapi obyek
yang disuruh untuk dibaca, itu tidak disebutkan, bukankah ini juga masalah
lain? Lalu kenapa juga Jibril terus memerintahkannya ketika Muhammad sudah
bilang tak bisa baca, dan setiap kali memerintah, Muhammad dirangkul dan
ditekan dengan keras hingga kepayahan, dan beliaupun ketakutan setelah
peristiwa itu? Bagaimana aturan-aturan dan mekanisme membaca menurut Al-Qur`an
jika membaca itu adalah perintah? Dengan menggunakan daya kontemplatif siklikal
kita sedikit demi sedikit akan menemukan titik terangnya.
Pertama: Nabi
Muhammad shallallahu `alaihi wasallam tidak bisa membaca dan menulis merupakan fakta
sejarah. Al-Qur`anpun menyebutnya dengan: ar-Rasulu al-Ummiyu. Kemudian,
kata pertama yang disampaikan adalah dengan menggunakan kata kerja perintah.
Sedangkan dalam kaidah Ushul Fiqh, kita menjumpai pernyataan: asal dari
perintah itu adalah wajib, kecuali ada indikator yang menyalahinya. Dengan
pendekatan ini, perintah “iqra`(bacalah)” bukan dan sama sekali tidak
berkaitan dengan hobi. Kata iqra` seolah ingin menegaskan kapada kita
bahwa membaca bukanlah sekadar hobi atau sebagai kesenangan belaka, tapi lebih
dari itu bisa dikatakan sebagai why of life(jalan hidup) yang oleh Dr.
Ragib As-Sirjani diistilahkan dengan: Al-Qiraa`atu Manhaju al-Hayaah(Membaca
adalah sistem kehidupan). Kemudian kata kerja perintah ini sifatnya dinamis.
Artinya perintah untuk iqra` itu harus selalu diaktualisasikan karena
itu merupakan manhaj hidup. Kemudian mengenai kenyataan bahwa Nabi Muhammad
adalah Rasul yang ummi(tak bisa membaca dan menulis) disatu sisi memang
kalau kita berpikir secara dangkal melalui konteks aibnya seseorang ketika tak
bisa baca-tulis maka ini bisa dimaklumi. Namun pikiran semacam ini sama sekali
bertentangan jika bertolak dari konsep kemukjizatan Nabi Muhammad shallallahu
`alaihi wasallam. Coba bandingkan! Mana yang lebih hebat: antara orang yang
sebelumnya bisa baca-tulis kemudian ia disuruh membaca dan bisa membaca,
dibanding dengan orang yang sebelumnya tak bisa baca-tulis lalu ketika disuruh
baca ternyata langsung bisa, padahal ia tidak pernah membaca? Tentu saja kita
akan menjawab bahwa tipe kedualah yang lebih hebat(yaitu orang yang bisa baca
padahal belum pernah belajar baca). Kemudian dari sisi orisinilitas dan
kemurnian orang yang ummi ini bisa dijamin keamanahannya karena ia sama
sekali tidak dipengaruhi oleh pemikiran dan ideologi apapun. Menyerap titahpun
lebih mudah dibanding dengan orang yang sudah pernah belajar sebelumnya. Yang
lebih penting dari semua itu ialah bahwa Nabi Muhammad langsung diajari oleh Allah
ta`ala tanpa perantara dan campur tangan manusia sehingga kemurnian
al-Qur`an tetap terjaga. Logikanya seperti ini: Fakta sejarah menyatakan bahwa
Muhammad tidak bisa baca tulis+Fakta lain menyatakan pula ternyata Ia bisa
membacakan wahyu+tidak ada satupun yang membantah kenyataan ini+kemudian ia
juga tidak pernah belajar baca baca kepada satupun manusia+ini juga kenyataan
sejarah= satuan-satuan fakta dan kenyataan tersebut mengantarkan kita pada
kenyataan logis bahwa tidak mungkin ia sesuatu terjadi tanpa sebab. Kalau
Muhammad tidak belajar pada manusia berarti yang mengajarinya ialah adalah Dzat
Pencipta Manusia yaitu Allah subhanahu wata`ala. Kesimpulan pada poin
pertama ialah: Membaca bukanlah hobi tapi manhaj/ jalan hidup. Nabi benar-benar
diajar Langsung oleh Allah. Keummiyan Rasul justru sebagai kemuliaan dan
kehebatan bila ditinjau dari konsep mukjizat. Perintah membaca ini selalu
dinamis sehingga manusia selalu dituntut untuk membaca selama hidupnya.
Kedua: Obyek bacaan tidak
disebutkan. Ini menandakan bahwa yang dibaca tak selalu ayat-ayat literal tapi
juga ayat-ayat kontekstual kauni(alam). Kalau kita bandingkan jumlah
antara ayat Qur`ani dan Kauni itu lebih besar ayat Kauni. Jadi
pada skup, ruang dan dimensi obyek bacaan sang bersifat alam kontemplatif
justru lebih luas dan tak terkira. Hal ini sangat wajar kalau pada ayat-ayat
al-Qur`an terkandung perintah berpikir dan kontemplasi karena ini erat
kaitannya dengan ayat-ayat kauniyah. Untuk berfikir saja ada digunakan
banya instrumen: Tafakkur, Tadzakkur, Tadabbur, Nadhar, Ibshar, `Aql.
Bagi subyeknyapun ada beberapa istilah: Ulul Albab, Ulin Nuha, Ulil Abshar,
Dzi Hijr. Kesemuanya merupakan paduan subyektif-obyektif sebagai instrumen
media untuk membaca ayat-ayat Allah yang terhampar di alam. Karena itulah,
tidak berlebihan jika perintah membaca ini sebanarnya bukan hanya ditujukan
pada orang Islam, tapi siapa saja yang ingin menjalani hidupnya dengan suksek
maka dia harus menerapkan iqara` dalam hidupnya. Para pemimpin misalnya
dia layak dijadikan pemimpin jika ia mampu untuk membaca secara kontekstual
kondisi sosio-historis yang dipimpin, membaca potensi yang dipimpin, membaca
setiap peluang-peluang emas yang bisa dipacai untuk mensejahterakan yang
dipimpin, juga membaca berbagai situasi dan kondisi yang bisa membahayakan yang
dipimpin sehingga pada akhirnya ia mampu melakukan usaha-usaha antisipatif
supaya tidak sampai menyengsarakan yang dipimpin. Ini juga berlaku pada subyek
yang lain misalkan: pedagang, dokter, karyawan, guru, petani, budayawan dan
berbagai profesi lainnya harus menerapkan konsep iqra` dalam arti yang
lebih luas berupa kontemplasi kontekstual alam. Mereka yang tak mampu
menerapkan konsep ini akan jatuh dengan sendirinya karena ini merupakan suatu
keniscayaan. Akan tetapi Allah memberi karunia yang begitu besar berupa ayat
literalnya berupa Al-Qur`an. Pada akhirnya setiap bacaan kontemplatif alam akan
sejalan dan sesuai dengan Al-Quran. Karena tidak mungkin kedua ayat Allah
saling bertentangan. Yang membuat terjadi pertentangan ialah karena
ketidakmampuan akal manusia dalam mencerna dan mengharmonisasikannya.
Kesimpulan pada poin kedua ialah: Obyek bacaan disembunyikan menandakan bahwa
yang dibaca bukan sekedar ayat literal tapi juga non literal seperti ayat-ayat
alam.
Ketiga: Jibril `alaihi
salam mengulang perintah sebanyak tiga kali sambil diiringi dengan
rangkulan yang kuat dan menekan sehingga membuat Rasulullah kepayahan. Di sini
ada semacam makna tersirat berupa penegasan dan penetapan secara amat intim,
terang dan nyata pada Muhammad bahwa apa yang sedang terjadi ini bukanlah
mimpi. Ia benar-benar telah dipilih oleh Allah menjadi Nabi. Sedangkan rasa
takutnya pasca peristiwa yang mencengangkan itu sebagai bukti nyata bahwa Nabi
Muhammad shallalahu `alaihi wasallam bukan secara sengaja dan aktif
menginginkan jadi Nabi. Menjadi Nabi bukanlah keinginan-Nya. Tapi itu murni hak
prerogatif Allah. Kalau sedari awal dia menyengaja dan sadar bahwa dirinya akan
mencari kenabian, maka tidak mungkin dia ketakutan ketika didatangi Jibril.
Kesimpulan poin ketiga ialah: Tindakan Jibril secara tersirat sebagai penegasan
bahwa Muhammad benar-benar menjadi Nabi, dan Muhammad sama sekali bukan sengaja
mencari kenabian tapi itu murni pilihan Tuhan.
Keempat: Mekanisme dan cara
membaca yang benar sangat bertalian dengan ayat yang pertama kali turun yaitu
surat al-`Alaq ayat 1-5. Ada beberapa prosedur supaya penerapan iqra`
itu sejalan dengan maksud Tuhan. Pertama: Membaca harus dengan Nama Allah.
Bukan karena kepentingan pribadi, bukan karena tendensi, dan bukan karena
kepentingan-kepentingan artifisial lannya. Membaca harus diniatkan dengan nama
Allah. Orientasinya harus kepada Allah. Jika tidak maka keonklusi dari iqra`
akan rancu dan sama sekali bertentangan dengan maksud Sang Pencipta. Jadi membaca
harus diniatkan karena Allah. Segala aktifitas yang diniatkan karena Allah akan
bernilai ibadah. Kedua: Secara khusus yang disebut disini nama Allah berupa
Rabb yang telah menciptakan makhluknya. Secara tersirat ini mengisyaratkan
bahwa yang dibaca juga termasuk ayat-ayat kauniyah. Dan kita harus
membangun kesadaran internal dalam jiwa kita bahwa Allahlah yang menciptakan
semua itu. Dengan keyakinan ini setiap kali membaca kita akan tertaut dengan
Allah. Semakin dalam dan intens dalam melibatkan Allah ketika ber-iqra`
maka akan semakin membuka peluang pada hakikat iqra`. Karena Allah
merupakan Dzat yang menciptakan manusia dari sesuatu yang tak berarti kemudian
menjadi berarti. Tentu saja dengan melibatkan Allah kita akan dibukakan
pintu-pintu ilham untuk memahami hakikat iqrq`. Ketiga: Membaca juga
harus dilatari dengan nama Allah yaitu Al-Akram. Perbedaan antara Al-Karim
dengan Al-Akram ialah bahwa Al-Akram ialah Mengajarkan sesuatu tanpa sebab,
sedang Al-Karim mengjarkan sesuatu dengan sebab. Artinya bahwa ketika membaca
hendaknya terpatri bahwa yang dilakukan hanya malalui sebab-sebab, terkadang
Allah juga mengajarkan ilmu tanpa sebab. Dalam proses ber-iqra` ini
peluang itu sangat mungkin terjadi. Terkadang dalam proses membaca fenomena
alam kita merasakan semacam bisikan-bisikan pada benak kita yang menyiratkan
kesimpulan-kesimpulan penting. Bila ini benar maka itulah yang disebut
inspirasi atau ilham. Buktinya disini Nabi Muhammad yang tak bisa membaca
dengan seketika atas ijin-Nya bisa membaca. Keempat: Allah mengajarkan dengan
perantara pena. Ini mengindikasikan pentingnya sarana untuk menuju pada tujuan.
Budaya membaca sangat erat kaitannya dengan pena / menulis. Orang tidak akan
mempunyai kemampuan menulis jika tak rajin membaca baik secara tekstual maupun
kontekstual. Kelima: Yang perlu menjadi kesadaran yang terpenting ialah bahwa
semua ilmu itu berasal dari Allah. Allahlah yang mengajari kita. Karena itu
dalam proses ber-iqra` kita tidak boleh sombong dan merendahkan orang
lain, karena pada dasarnya semua hasil yang dari membaca sejatinya berasal dari
Allah semata. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mekanisme dalam membaca
ayat-ayat Allah baik yang kauniyah maupun qauliyah ialah dengan
prosedur demikian: 1. Diniatkan karena Allah 2. Melibatkan Allah(dalam artian
membangun kesadaran dalam jiwa bahwa Ialah Yang Menciptakan makhluk). 3. Yakin
bahwa disamping Allah mengajarkan sesuatu dengan sebab, Ia juga mampu
mengajarkan sesuatu tanpa sebab. 4. Iqra` membutuhkan sarana dan usaha.
5. Tidak boleh sombong karena sejatinya yang mengjarkan ilmu ialah Allah subhanahu
wata`ala. Dengan melalui langkah-langkah ini insyaAllah proses ber-iqra`
akan terarah dan benar-benar terorientasikan pada Allah.
Pada akhirnya kita bisa menemukan
titik temu antara judul dan bukti yang dipaparkan barusan. Bahwa membaca adalah
jalan hidup, whay of life. Bagi siapa saja yang ingin sukses maka ia
harus membaca, bukan saja membaca ayat-ayat Allah yang qauli tapi juga
kauni. Dengan demikian kita jangan menjadikan membaca sekadar hobi tapi sebagai
titah dari Allah ta`ala. Yang perlu dicamkan dalam proses iqra`
kita harus niatkan karena Allah. Rasulullah dalam sejarah kehidupannya sangat
memperhatikan pentingnya iqra`. Salah satu kebijakan beliau adalah
mengentas buta huruf. Pasca perang Badar beliau membebaskan tawanan perang
dengan syarat mengajari anak-anak kaum muslimin membaca dan menulis. Sedangkan
membaca yang sifatnya alami kontemplatif, beliau adalah orang di garda depan
dalam hal ini. Melalui potensi akal dan pikirannya beliau merupakan seorang
yang ketika senggang selalu membaca ayat-ayat yang terbentang di alam. Tentu
saja, dalam ber-Iqra` kita jangan sampai salah niat, niatnya bukan
keuntungan duniawi semata tapi dibarengi dengan kesadaran penuh mencari ridha
Allah. Sekali lagi ditekankan: Membaca adalah manhaj hidup. Bagi siapa saja
yang menginkan kesuksesan maka dia harus menaerapkan iqra`. Jemputlah
kesuksesan anda dengan membaca. Dengan membaca anda akan mengenal Allah
ta`ala.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !