Home » » IQRA`: Membaca Sebagai Manhaj Hidup

IQRA`: Membaca Sebagai Manhaj Hidup

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 18 April 2015 | 05.11

            Ketika pertama kali Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam menerima wahyu, kata pertama yang disampaikan Jibril kepada beliau ialah: iqra`. Iqra` biasanya oleh kalangan penerjemah diartikan: “bacalah!”. Bila kita menelaah, mentadabburi, mengaktifkan daya fikir kita, tentu saja akan ada pertanyaan-pertanyaan demikian: Muhammad ذkan tidak bisa membaca, kenapa ayat pertama adalah perintah untuk membaca? Okelah kalau ternyata akhirnya Muhammad bisa membaca, tapi obyek yang disuruh untuk dibaca, itu tidak disebutkan, bukankah ini juga masalah lain? Lalu kenapa juga Jibril terus memerintahkannya ketika Muhammad sudah bilang tak bisa baca, dan setiap kali memerintah, Muhammad dirangkul dan ditekan dengan keras hingga kepayahan, dan beliaupun ketakutan setelah peristiwa itu? Bagaimana aturan-aturan dan mekanisme membaca menurut Al-Qur`an jika membaca itu adalah perintah? Dengan menggunakan daya kontemplatif siklikal kita sedikit demi sedikit akan menemukan titik terangnya.
Pertama: Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam  tidak bisa membaca dan menulis merupakan fakta sejarah. Al-Qur`anpun menyebutnya dengan: ar-Rasulu al-Ummiyu. Kemudian, kata pertama yang disampaikan adalah dengan menggunakan kata kerja perintah. Sedangkan dalam kaidah Ushul Fiqh, kita menjumpai pernyataan: asal dari perintah itu adalah wajib, kecuali ada indikator yang menyalahinya. Dengan pendekatan ini, perintah “iqra`(bacalah)” bukan dan sama sekali tidak berkaitan dengan hobi. Kata iqra` seolah ingin menegaskan kapada kita bahwa membaca bukanlah sekadar hobi atau sebagai kesenangan belaka, tapi lebih dari itu bisa dikatakan sebagai why of life(jalan hidup) yang oleh Dr. Ragib As-Sirjani diistilahkan dengan: Al-Qiraa`atu Manhaju al-Hayaah(Membaca adalah sistem kehidupan). Kemudian kata kerja perintah ini sifatnya dinamis. Artinya perintah untuk iqra` itu harus selalu diaktualisasikan karena itu merupakan manhaj hidup. Kemudian mengenai kenyataan bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul yang ummi(tak bisa membaca dan menulis) disatu sisi memang kalau kita berpikir secara dangkal melalui konteks aibnya seseorang ketika tak bisa baca-tulis maka ini bisa dimaklumi. Namun pikiran semacam ini sama sekali bertentangan jika bertolak dari konsep kemukjizatan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam. Coba bandingkan! Mana yang lebih hebat: antara orang yang sebelumnya bisa baca-tulis kemudian ia disuruh membaca dan bisa membaca, dibanding dengan orang yang sebelumnya tak bisa baca-tulis lalu ketika disuruh baca ternyata langsung bisa, padahal ia tidak pernah membaca? Tentu saja kita akan menjawab bahwa tipe kedualah yang lebih hebat(yaitu orang yang bisa baca padahal belum pernah belajar baca). Kemudian dari sisi orisinilitas dan kemurnian orang yang ummi ini bisa dijamin keamanahannya karena ia sama sekali tidak dipengaruhi oleh pemikiran dan ideologi apapun. Menyerap titahpun lebih mudah dibanding dengan orang yang sudah pernah belajar sebelumnya. Yang lebih penting dari semua itu ialah bahwa Nabi Muhammad langsung diajari oleh Allah ta`ala tanpa perantara dan campur tangan manusia sehingga kemurnian al-Qur`an tetap terjaga. Logikanya seperti ini: Fakta sejarah menyatakan bahwa Muhammad tidak bisa baca tulis+Fakta lain menyatakan pula ternyata Ia bisa membacakan wahyu+tidak ada satupun yang membantah kenyataan ini+kemudian ia juga tidak pernah belajar baca baca kepada satupun manusia+ini juga kenyataan sejarah= satuan-satuan fakta dan kenyataan tersebut mengantarkan kita pada kenyataan logis bahwa tidak mungkin ia sesuatu terjadi tanpa sebab. Kalau Muhammad tidak belajar pada manusia berarti yang mengajarinya ialah adalah Dzat Pencipta Manusia yaitu Allah subhanahu wata`ala. Kesimpulan pada poin pertama ialah: Membaca bukanlah hobi tapi manhaj/ jalan hidup. Nabi benar-benar diajar Langsung oleh Allah. Keummiyan Rasul justru sebagai kemuliaan dan kehebatan bila ditinjau dari konsep mukjizat. Perintah membaca ini selalu dinamis sehingga manusia selalu dituntut untuk membaca selama hidupnya.
            Kedua: Obyek bacaan tidak disebutkan. Ini menandakan bahwa yang dibaca tak selalu ayat-ayat literal tapi juga ayat-ayat kontekstual kauni(alam). Kalau kita bandingkan jumlah antara ayat Qur`ani dan Kauni itu lebih besar ayat Kauni. Jadi pada skup, ruang dan dimensi obyek bacaan sang bersifat alam kontemplatif justru lebih luas dan tak terkira. Hal ini sangat wajar kalau pada ayat-ayat al-Qur`an terkandung perintah berpikir dan kontemplasi karena ini erat kaitannya dengan ayat-ayat kauniyah. Untuk berfikir saja ada digunakan banya instrumen: Tafakkur, Tadzakkur, Tadabbur, Nadhar, Ibshar, `Aql. Bagi subyeknyapun ada beberapa istilah: Ulul Albab, Ulin Nuha, Ulil Abshar, Dzi Hijr. Kesemuanya merupakan paduan subyektif-obyektif sebagai instrumen media untuk membaca ayat-ayat Allah yang terhampar di alam. Karena itulah, tidak berlebihan jika perintah membaca ini sebanarnya bukan hanya ditujukan pada orang Islam, tapi siapa saja yang ingin menjalani hidupnya dengan suksek maka dia harus menerapkan iqara` dalam hidupnya. Para pemimpin misalnya dia layak dijadikan pemimpin jika ia mampu untuk membaca secara kontekstual kondisi sosio-historis yang dipimpin, membaca potensi yang dipimpin, membaca setiap peluang-peluang emas yang bisa dipacai untuk mensejahterakan yang dipimpin, juga membaca berbagai situasi dan kondisi yang bisa membahayakan yang dipimpin sehingga pada akhirnya ia mampu melakukan usaha-usaha antisipatif supaya tidak sampai menyengsarakan yang dipimpin. Ini juga berlaku pada subyek yang lain misalkan: pedagang, dokter, karyawan, guru, petani, budayawan dan berbagai profesi lainnya harus menerapkan konsep iqra` dalam arti yang lebih luas berupa kontemplasi kontekstual alam. Mereka yang tak mampu menerapkan konsep ini akan jatuh dengan sendirinya karena ini merupakan suatu keniscayaan. Akan tetapi Allah memberi karunia yang begitu besar berupa ayat literalnya berupa Al-Qur`an. Pada akhirnya setiap bacaan kontemplatif alam akan sejalan dan sesuai dengan Al-Quran. Karena tidak mungkin kedua ayat Allah saling bertentangan. Yang membuat terjadi pertentangan ialah karena ketidakmampuan akal manusia dalam mencerna dan mengharmonisasikannya. Kesimpulan pada poin kedua ialah: Obyek bacaan disembunyikan menandakan bahwa yang dibaca bukan sekedar ayat literal tapi juga non literal seperti ayat-ayat alam.
            Ketiga: Jibril `alaihi salam mengulang perintah sebanyak tiga kali sambil diiringi dengan rangkulan yang kuat dan menekan sehingga membuat Rasulullah kepayahan. Di sini ada semacam makna tersirat berupa penegasan dan penetapan secara amat intim, terang dan nyata pada Muhammad bahwa apa yang sedang terjadi ini bukanlah mimpi. Ia benar-benar telah dipilih oleh Allah menjadi Nabi. Sedangkan rasa takutnya pasca peristiwa yang mencengangkan itu sebagai bukti nyata bahwa Nabi Muhammad shallalahu `alaihi wasallam bukan secara sengaja dan aktif menginginkan jadi Nabi. Menjadi Nabi bukanlah keinginan-Nya. Tapi itu murni hak prerogatif Allah. Kalau sedari awal dia menyengaja dan sadar bahwa dirinya akan mencari kenabian, maka tidak mungkin dia ketakutan ketika didatangi Jibril. Kesimpulan poin ketiga ialah: Tindakan Jibril secara tersirat sebagai penegasan bahwa Muhammad benar-benar menjadi Nabi, dan Muhammad sama sekali bukan sengaja mencari kenabian tapi itu murni pilihan Tuhan.
            Keempat: Mekanisme dan cara membaca yang benar sangat bertalian dengan ayat yang pertama kali turun yaitu surat al-`Alaq ayat 1-5. Ada beberapa prosedur supaya penerapan iqra` itu sejalan dengan maksud Tuhan. Pertama: Membaca harus dengan Nama Allah. Bukan karena kepentingan pribadi, bukan karena tendensi, dan bukan karena kepentingan-kepentingan artifisial lannya. Membaca harus diniatkan dengan nama Allah. Orientasinya harus kepada Allah. Jika tidak maka keonklusi dari iqra` akan rancu dan sama sekali bertentangan dengan maksud Sang Pencipta. Jadi membaca harus diniatkan karena Allah. Segala aktifitas yang diniatkan karena Allah akan bernilai ibadah. Kedua: Secara khusus yang disebut disini nama Allah berupa Rabb yang telah menciptakan makhluknya. Secara tersirat ini mengisyaratkan bahwa yang dibaca juga termasuk ayat-ayat kauniyah. Dan kita harus membangun kesadaran internal dalam jiwa kita bahwa Allahlah yang menciptakan semua itu. Dengan keyakinan ini setiap kali membaca kita akan tertaut dengan Allah. Semakin dalam dan intens dalam melibatkan Allah ketika ber-iqra` maka akan semakin membuka peluang pada hakikat iqra`. Karena Allah merupakan Dzat yang menciptakan manusia dari sesuatu yang tak berarti kemudian menjadi berarti. Tentu saja dengan melibatkan Allah kita akan dibukakan pintu-pintu ilham untuk memahami hakikat iqrq`. Ketiga: Membaca juga harus dilatari dengan nama Allah yaitu Al-Akram. Perbedaan antara Al-Karim dengan Al-Akram ialah bahwa Al-Akram ialah Mengajarkan sesuatu tanpa sebab, sedang Al-Karim mengjarkan sesuatu dengan sebab. Artinya bahwa ketika membaca hendaknya terpatri bahwa yang dilakukan hanya malalui sebab-sebab, terkadang Allah juga mengajarkan ilmu tanpa sebab. Dalam proses ber-iqra` ini peluang itu sangat mungkin terjadi. Terkadang dalam proses membaca fenomena alam kita merasakan semacam bisikan-bisikan pada benak kita yang menyiratkan kesimpulan-kesimpulan penting. Bila ini benar maka itulah yang disebut inspirasi atau ilham. Buktinya disini Nabi Muhammad yang tak bisa membaca dengan seketika atas ijin-Nya bisa membaca. Keempat: Allah mengajarkan dengan perantara pena. Ini mengindikasikan pentingnya sarana untuk menuju pada tujuan. Budaya membaca sangat erat kaitannya dengan pena / menulis. Orang tidak akan mempunyai kemampuan menulis jika tak rajin membaca baik secara tekstual maupun kontekstual. Kelima: Yang perlu menjadi kesadaran yang terpenting ialah bahwa semua ilmu itu berasal dari Allah. Allahlah yang mengajari kita. Karena itu dalam proses ber-iqra` kita tidak boleh sombong dan merendahkan orang lain, karena pada dasarnya semua hasil yang dari membaca sejatinya berasal dari Allah semata. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mekanisme dalam membaca ayat-ayat Allah baik yang kauniyah maupun qauliyah ialah dengan prosedur demikian: 1. Diniatkan karena Allah 2. Melibatkan Allah(dalam artian membangun kesadaran dalam jiwa bahwa Ialah Yang Menciptakan makhluk). 3. Yakin bahwa disamping Allah mengajarkan sesuatu dengan sebab, Ia juga mampu mengajarkan sesuatu tanpa sebab. 4. Iqra` membutuhkan sarana dan usaha. 5. Tidak boleh sombong karena sejatinya yang mengjarkan ilmu ialah Allah subhanahu wata`ala. Dengan melalui langkah-langkah ini insyaAllah proses ber-iqra` akan terarah dan benar-benar terorientasikan pada Allah.

            Pada akhirnya kita bisa menemukan titik temu antara judul dan bukti yang dipaparkan barusan. Bahwa membaca adalah jalan hidup, whay of life. Bagi siapa saja yang ingin sukses maka ia harus membaca, bukan saja membaca ayat-ayat Allah yang qauli tapi juga kauni. Dengan demikian kita jangan menjadikan membaca sekadar hobi tapi sebagai titah dari Allah ta`ala. Yang perlu dicamkan dalam proses iqra` kita harus niatkan karena Allah. Rasulullah dalam sejarah kehidupannya sangat memperhatikan pentingnya iqra`. Salah satu kebijakan beliau adalah mengentas buta huruf. Pasca perang Badar beliau membebaskan tawanan perang dengan syarat mengajari anak-anak kaum muslimin membaca dan menulis. Sedangkan membaca yang sifatnya alami kontemplatif, beliau adalah orang di garda depan dalam hal ini. Melalui potensi akal dan pikirannya beliau merupakan seorang yang ketika senggang selalu membaca ayat-ayat yang terbentang di alam. Tentu saja, dalam ber-Iqra` kita jangan sampai salah niat, niatnya bukan keuntungan duniawi semata tapi dibarengi dengan kesadaran penuh mencari ridha Allah. Sekali lagi ditekankan: Membaca adalah manhaj hidup. Bagi siapa saja yang menginkan kesuksesan maka dia harus menaerapkan iqra`. Jemputlah kesuksesan anda dengan membaca. Dengan membaca anda akan mengenal Allah ta`ala.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan