“Bangsa
kita berada dalam situasi yang krisis betul. Kita bukan sekadar melihat apakah Negara
ini akan bertahan atau tidak. Apakah NKRI atau tidak, apakah Papua akan
bertahan atau tidak, tapi persoalan secara keseluruhan. Kita sedang berada
dalam situasi krisis pemaknaan dan kehilangan dinamika kebudayaan.” Demikianlah
pernyataan menarik yang disampaikan oleh Bang Ashadi Siregar(seorang budayawan,
sastrawan, novelis, dan jurnalis
senior) di sela-sela wawancaranya yang tertuang dalam majalah sastra
SABANA Yogyakarta, edisi perdana: Juni 2013[baca: Majalah Sabana, Menuju
Bangsa Tanpa Sastra, (Yogyakarta: Perkumpulan Santrawan Malioboro, Juni
2013)hal.12]. Apa yang disampaikan oleh beliau sejatinya bukan perkara
sederhana. Bangsa Indonesia –dengan segenap kelebihan dan kekurangannya- sedang
menghadapi masalah serius, yang saya narasikan dengan judul: menuju bangsa tanpa
pemaknaan. Lho kok bisa, siapa
sejatinya yang bisa lepas dari makna, karena ‘tanpa makna’ adalah bermakna
bahkan bagian dari pemaknaan? Memang kita tidak akan lepas dari makna, tapi ‘pemaknaan’,
perlu yang namanya kesadaran. Orang tidak akan peduli terhadap makna, jika ia
tidak menyadari bahwa sesuatu mempunyai makna.
Meminjam
istilah Bang Hadi, ada dua idiom penting yang perlu dijelaskan sebagai dasar
pijak dari problem mendasar bangsa: krisis pemaknaan. Pertama, dalam
kehidupan manusia ada yang namanya ‘dunia pragmatig’. Sebagai contoh kecil:
orang lapar, kemudian makan; orang mengantuk, kemudian tidur; orang kedinginan,
kemudian pakai jaket atau selimut; orang sakit kemudian minum obat, dan yang
semacamnya adalah proses duniawi yang bersifat pragmatis. Apakah manusia hidup
cukup berhenti dalam tataran wadag itu? Ternyata tidak. Ada hal penting lagi
yang dijelaskan pada poin kedua, yaitu: kebudayaan. Kebudayaan oleh Bang Hadi
diartikan sebagai proses memaknai sesuatu yang pragmatig. Kegiatan pragmatig
seperti makan, tidur, memakai baju, meminum obat, akan bernilai budaya jika
malampaui sifat pragmatignya.
Cara melampauinya adalah dengan: pemaknaan. Makan menjadi bermakna ketika
meluas menjadi selamatan; tidur menjadi bermakna ketika diniati untuk ibadah; memakai
baju menjadi bermakna jika
dipahami sebagai menutup aurat; meminum obat akan menjadi bermakna jika untuk
memperoleh kesehatan yang bisa digunakan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan.
Melalui dua idiom
tersebut(pragmatig-kebudayaan[pemaknaan]), coba kita amati berbagai peristiwa
yang terjadi di negara ini. Dari banyaknya aspek kehidupan meliputi: politik,
ekonomi, pendidikan, sosial, sastra, kebudayaan, keagamaan, kesehatan dan lain
sebagainya, kalau ditimbang betul-betul lebih merupakan peristiwa pragmatig
atau kebudayaan? Kalau ada ustadz ceramah di TV, sejatinya dia benar-benar
membawa nilai Islam sejati, atau sedangan memenuhi kebutuhan pribadi; kalau ada
pejabat berkoar-koar berjuang atas dan demi nama rakyat, apakah itu betul-betul
berjuang, atau ‘ber-uang’ atas nama mlarat(kemiskinan atau kepapaan)?;
kalau ada orang-orang tiba-tiba peduli terhadap bencana sosial kemanusiaan, kemudian
minta diliput media, apakah itu benar-benar bernilai murni kemanusiaan atau
sekadar memenuhi kebutuhan pragmatig berupa sanjungan dan ketenaran?.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa dikembangkan lebih luas lagi seluas aspek
kehidupan manusia. Dari fakta-fakta yang ada, rupanya kita telah mengalami
krisis pemaknaan sebagaimana yang telah disinggung oleh Bang Ashadi Siregar di
awal kutipan tulisan. Maka tidak berlebihan jika saya memberi judul tulisan
ini, dengan judul: Menuju Bangsa Tanpa Pemaknaan.
Mengenai pentingnya
pemaknaan, saya pernah menulis catatan sederhana terkait motto blog saya yang
bisa diakses di alamat: amoehirata.blogspot.com, dengan judul: Pena Persumeya,
sebuah akronim dari, ‘Pemburu Makna dalam Perjalanan Sunyi Menuju Cahaya’. Di
situ dengan singkat, lugas dan jelas saya menyebutkan bahwa salah satu hal
penting yang dimiliki manusia adalah kemampuan untuk memaknai. Sejak awal,
manusia tidak diciptakan mengandung makna dan tujuan. Paling tidak, garis
besarnya ialah untuk: ibadah. Dari kata ‘makna’, akan muncul beberapa
variabel-variabel kata yang juga mendasar, yaitu: memaknai(sebagai proses
mencari makana dari hal-hal yang bersifat pragmatig), dan menjadi bermakna(adalah
konsekuensi sosial-religius sebagai manusia yang bermanfaat bagi lingkungannya).
Bayangkan kalau manusia hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis dan hawa
nafsunya semata, pasti ia akan tercerai dari makna awal diciptakannya. Maka
kualitasnya tak lebih bahkan lebih parah dari hewan(bisa dilampiri pada: Qs.
Al-A`raf, 179). Kalau kita jujur –dengan banyaknya peristiwa yang terjadi
sekarang ini-, bangsa Indonesa sedang menuju pada kondisi tanpa pemaknaan. Kita
benar-benar mengalami krisis pemaknaan. Sebagai contoh kecil –tanpa bermaksud
membatasi contoh-contoh lain yang bisa dieksplorasi sendiri oleh pembaca pada
segenap aspek kehidupan bangsa Indonesia-yang beberapa hari yang lalu menjadi trending
topic di berbagai media: “Presiden tidak tahu Perpres yang
ditandatanganinya”. Lha kalau sudah begini, lalu apa maknanya menjadi
PRESIDEN?.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !