Ada banyak hal yang bisa diteladani dari figur Tuan A. Hassan. Di antaranya masalah kedermawanan. Yang terkenal adalah terkait dewma harta yang berasal dari keringat beliau sendiri berupa buku, majalah yang diterbitkan dan lain-lain.
Dalam buku “Surat2 Islam
dari Endeh” (1937) terlihat dengan jelas kedermawanan A. Hassan. Beliau sering
memberi buku dan majalah gratis untuk Soekarno. Saya nukilkan kesaksian
Soekarno dalam balasan suratnya kepada A. Hassan 25 Januari 1935.
“Kiriman buku2
buku gratis beserta kartu pos , telah saja terima dengan girang hati dan terima
kasih jg tak berhingga. Sadja mendjadi termenung sebentar, karena merasa ta’
selajaknja dilimpahi kebaikan hati saudara jang sedemikian itu. Ja Allah jang
mahamurah!” (Hal. 2). Bahkan pada surat 26 Maret 1935, selain buku-buku yang
dikirim A. Hassan, ia juga berterimakasih atas jambu mede yang dikirim ulama
Persis itu ke Endeh sehingga bisa dinikmati Soekarno sekeluarga.
Apa sampai di sini? Tidak.
Bahkan A. Hassan membantu kesulitan ekonomi Soekarno untuk memasarkan hasil
terjemahan Soekarno terkait biografi Ibnu Sa’ud. Demikianlah salah satu bentuk
kedermawanan A. Hassan, selalu total dan tulus. Padahal pada waktu itu, Soekarno
belum jadi presidan dan belum menjadi orang terkenal di seantero negeri.
Informasi menarik lain
yang bisa diangkat dalam tulisan ini adalah sebagaimana yang diinformasikan
dalam majalah Hikmah tahun 1958. Intinya, beliau mencetak 3000 tafsir Al-Furqan
yang disumbangkan untuk pembangunan Pesantren Persatuan Islam putri Bangil yang
saat itu membutuhkan biaya 3000 rupiah. Masing-masing tafsir Al-Furqan seharga
100 rupiah. Jumlah ini tentu cukup besar, tapi atas kedermawanannya, A. Hassan
dengan ringan menyumbangkannya demi terwujudnya pendidikan Islam di pesantren,
khususnya untuk putri yang waktu itu memang sedang dirintis.
Simak juga kesaksian
Deliar Noer berikut , tepatnya seminggu setelah berkunjung ke rumah A. Hassan
di Bangil tahun 1958 yang terdapat dalam buku “Aku Bagian Ummat, Aku Bagian
Bangsa Otobiografi Deliar Noer” (1996: 416-419). Seminggu setelah bertemu dengan
A. Hassan, Deliar dihadiahi sekotak besar berisi buku-buku dan majallah yang
diterbitkan Persis seperti Pembela Islam dan lainnya. Beliau terlihat sangat
antusian ketika melihat pemuda yang sungguh-sungguh. Bagi Deliar, tidak
berlebih-lebihan jika A. Hassan disebut sebagai sosok yang budiman.
Sepeninggal A. Hassan,
hubungan Deliar Noer tetap bersambung dengan putra beliau Abdul Qadir Hassan.
Deliar masih dikirimi buku-buku olehnya. Hanya saja, yang membuat Deliar heran,
sampai Ustadz A. Qadir meninggal, ia tidak pernah sama sekali bertemu walau
sekali.
Data terkati kedermawaan A. Hassan juga
bisa dibaca dalam majalah Ar-Risalah Persatuan Islam No. 25-26 (IV, 1965) yang
menceritakan bahwa A. Hassan sering memberikan bantuan buku dan majalah secara
gratis sebagaimana yang diminta oleh pembaca melalui surat-surat yang ditujukan
kepada beliau. Mereka banyak mengemukakan alasan, misalnya karena tidak mampu
beli. Yang meminta bukan saja di dalam negeri, pembaca luar negeri pun juga
ikut meminta.
Sudah banyak sekali yang dipenuhi A. Hassan. Hanya saja, dengan kondisi keuangan yang pas-pasan, kalau semua dituruti permintaannya, maka bisa bangkrut usaha percetakannya. Maka dalam salah satu surat A. Hassan kepada Ketua Bahagian Pendidikan Persatuan Islam Bandung, beliau mengemukakan masalah tersebut sebagai berikut:
“..........dari beberapa tempat saja dapat soerat meminta kitab-kitab. Saja teringat satoe tjeritera:
A: Boekankah kita sama2 anak Adam bersaudara?
B: Jaa, betoel!
A: Nah, saja saudara toean, saja dalam soesah, Tolonglah!
B: Ambil ini satoe sen.
A: Apakah ini pemberian saudara kepada saudaranya?
B: Kalau tiap2 saudara jang soesah saja kasi satoe sen, nistjaja saja djadi saudara jang ta’ bisa kasi apa2 lagi.”
Begitulah surat yang
bernada humor yang ditulis A. Hassan. Meski beliau dermawan, tapi juga perlu
diukur dengan kemampuan. Sebab, kalau setiap orang diberi, maka ia tidak akan
punya apa-apa lagi untuk diberikan.
Maka sangat menarik
diperhatikan nasihat A. Hassan kepada anak cucunya mengenai derma: “Menderma
dan bermurah hati memang baik, tetapi hendaknya dengan pencarianmu sendiri,
bukan dari pemberian ibu-bapak, dan juga sesudah engkau cukupkan nafkah dan
belanja anak-istri, rumah-tangga, ibu-bapak, dan kaum keluarga yang bergantung
denganmu.” (A. Hassan,
Hai Anak Cucuku, 2020: 67, 68)
Kedermawanan A. Hassan dalam bentuk lain
bisa dilihat dalam penyambuatan tamu yang begitu luar biasa diperlakukan bak
orang yang menginap di hotel. Bahkan, dalam dengan lawan debatnya pun, kalau
tidak punya ongkos untuk berangkat ke lokasi debat, maka beliau akan
membiayainya. Dalam buku “Riwayat Hidup A. Hassan” (1980: 29) karya Tamar Djaja
disebutkan, “Dengan siapa saja dan di mana saja dan pada waktu apa saja, ia (A.
Hassan) sanggup mengadakan debat walaupun untuk itu ia sendiri harus
membiayainya.”
Untuk hal ini, Buya Natsir
juga memberi kesaksian, “Untuk keperluan debat tersebut beliau tak keberatan di
manapun saja tempatnya, bahkan kalau perlu semua biaya atas tanggungannya
sendiri.” (1980: 10)
Itulah sekelumit kisah
tentang kedermawanan A. Hassan. Barangkali para pembaca memiliki bahan lain,
bisa ditambahkan. Rahimahullah rahmatan waasi’ah. (MB. Seiawan, 19/10/2022)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !