Home » » USTADZ A.QADIR HASSAN, BUYA HAMKA, PROBLEM "ANAK HARAM" DAN KRISTENISASI

USTADZ A.QADIR HASSAN, BUYA HAMKA, PROBLEM "ANAK HARAM" DAN KRISTENISASI

Written By Amoe Hirata on Senin, 10 Oktober 2022 | 11.09


Pada umumnya, anak zina dipandang sebelah mata. Bukan saja terkait nasabnya, yang tidak lazim kebanyakan anak, yang mana ia dinisbatkan ke ibunya, tapi juga hak-haknya secara agama maupun sosial kurang mendapat perhatian.

Ungkapan seperti "anak zina", "anak haram", "anak ilegal", "anak tak sah" dan lain sebagainya menjadi momok tersendiri bagi anak yang mengalami nasib seperti ini.

Ketika Ustadz Abdul Qadir Hassan ditanya mengenai anak hasil zina, beliau memiliki pandangan yang tidak maisntrem. Dalam buku "Kata Berjawab" (I: 432)  diterangkan, "Agama tidak ada menyuruh kita menamakan demikian. Nama tersebut walaupun benar bisa membawa pengaruh yang tidak baik bagi jiwa si anak itu nanti, bila ia telah dewasa."

Lebih lanjut beliau menandaskan, "Anak zina itu pada pandangan agama tidak beda dengan anak-anak lain." Hal ini karena setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci. Maksudnya, anak tetaplah suci, yang bersalah adalah bapak dan ibu yang berzina, sedangkan anak tidak bertanggung jawab.

Suatu hari, 'Aisyah ditanya terkait "anak zina". Beliau pun menjawab, "Tidak ada (tanggungan) atas si anak itu sedikitpun dari kesalahan ibu bapaknya; seseorang tidak menganggung dosa seorang lain." (Al-Muhalla)

*****

Pada tahun 1979, Buya Hamka didatangi perempuan asal Bogor. Ia meminta nasihat tentang "anak haram".  Saat anak itu lahir, tidak ada keluarga yang peduli karena menjadi aib dan mencoreng nama baik keluarga.

Karena tidak dipedulikan, akhirnya saat sudah lahir di rumah sakit, akhirnya datanglah Rumah Piatu Kristen meminta anak itu, agar mereka bisa memeliharanya.

Karena terpaksa, sang ibu pun menyerahkan anaknya yang biasa dikenal umum sebagai "anak zina" kepada Rumah Piatu Kristen. Dan usia sang anak, saat perempuan tada bercerita kepada Buya Hamka sudah 6 tahun.

Ketika ada famili yang beragama Islam ingin memungut anak tersebut, pihak Rumah Piatu Kristen tidak mau menyerahkannya. Anak itu pun juga tidak mau. Bahkan anak itu sudah mengaku memeluk agama Kristen. 

Di sela-sela itu, Buya memberikan wejangan bahwa orang Kristen tahu betul bahwa dalam tradisi masyarakat Islam merupakan aib. Biasanya anak hasil zina tidak diakui. Tak jarang, ibunya pun diusir dari rumah. Ibarat pepatah: "Arang tercoreng di kening, malu terpampang di muka." Orang Kristen mengetahui fakta ini, sehingga mereka bersedia menampung anak-anak yang biasa disebut "anak zina" ini.

Hamka menasihati, "Anak yang dilahirkan di luar nikah itu biasa dinamai orang 'anak haram', lalu orang segan menjamah, segan menyentuh. Padahal kalau orang tahu betapa besarnya pengaruh 'perang dingin' antara agama sekarang in, apalah salahnya jika anak itu dipelihara oleh keluarga Islam, padahal adat memelihara 'anak angkat'itu telah terbiasa di negeri kita sejak ratusan tahun yang lalu."

Lebih dari itu, Hamka mengatakan, "Dalam perjoangan agama sebagai sekarang ini, memelihara anak yang tidak terang siapa bapaknya, lalu dididik dia dalam Islam, lebih baik daripada melongo melihat anak itu dipungut oleh orang Kristen, lalu di-"permandikan", sehingga ibu di Bogor itu menyesal karena setelah enam tahun dalam didikan Kristen, anak itu tidak mau pulang lagi."

*****   

Tidak ada problem yang tanpa solusi. Bila pun si anak perempuan yang disebut "hasil zina" itu menikah, kata Buya Hamka masih ada wali hakim. Jangan sampai kita melongo, menurut Hamka, melihat kristenisasi anak yang dikategorikan 'anak zina' sedangkan kita sendiri turut andil dalam mengabaikan dan mengucIlkan mereka. Akhirnya, mereka jadi sasaran empuk kristenisasi. (MB. Setiawan)

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan