Berdasarkan cerita Ustadz A. Qadir Hassan, pesantren Persis dibangil mulai digerakkan pada tahun 1941. Awalnya, dibuka bagian puteri dengan murid sebanyak 12 orang.
Menariknya, pada awal masuk itu, semua murid ditetapkan memakai baju kurung dan kerudung bersama kain sarung atau batik. Suatu gaya busana yang mirim dengan murid-murid Rahmah el Yunusiyah, Padang Panjang.
Pada masa kefakuman aktivitas pesantren Persis Bangil, apa yang dilakukan oleh para guru dan tenaga pengasuh pesantren?
Dalam wawancaranya dengan wartawan Harmonis, A. Qadir Hassan menyatakan:
"Para guru dan seluruh tenaga pengasuh Pesantren kemudian melibatkan diri dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Selama perjuangan itu, bangunan-bangunan pesantren hanya dimanfaakan untuk penggemblengan umat menuju syahid."
Pesantren baru dibuka kembali pada 1 Muharram 1371 (3 Oktober 1951). Atas anjuran dan bantuan Mohammad Natsir yang waktu itu menjadi Perdana Menteri.
(Sumber: Majalah Al-Muslimun, No. 204 [15 Mei 1980])
*****
Jadi, pada masa kefakuman, asatidz dan pengurus pesantren Persis Bangil tidak berpangku tangan atau cuek dalam melihat kondisi yang mencekam.
Mereka menjadikan pesantren Persis Bangil sebagai tempat penggemblengan para pejuang muslim yang ingin mempertahankan kemerdekaan Indonesia menuju syahid. Rahimahumullah rahmatan waasi'ah.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !