Home » , » TERPERANJATNYA MUCHTAR LUTHFI SAAT BERTEMU A. HASSAN

TERPERANJATNYA MUCHTAR LUTHFI SAAT BERTEMU A. HASSAN

Written By Amoe Hirata on Senin, 17 Oktober 2022 | 07.00


Di antara perdebatan cukup penting yang pernah dilakukan Tuan A. Hassan adalah dengan Muchtar Luthfi. Alhamdulillah Babe Ridwan Saidi menulisnya secara global pada bukunya yang berjudul “Islam dan Nasionalisme Indonesia” (1995: 61-75) yang didasarkan pada brosur terbitan Persis Bandung bertajuk “Risalah Debat Kebangsaan.”

Polemik asas Islam dan kebangsaan sebenarnya sudah terjadi sebelumnya dengan Bung Karno. Bahkan A. Hassan kemudian menerbitkan buku "Islam dan Kebangsaan". Ketika Muchtar Luthfi menyokong paham kebangsaan, maka saat ada kesempatan pada 8 Oktober 1932, Pembela Islam mengirim tantangan debat di gedung Persatuan Islam Bandung.
Namun A. Hassan dan kawan-kawan kecewa. Sebab, perdebatan yang sempat disepakati dalam surat, dibatalkan sepihak melalui surat Bung Karno. Perdebatan itu dianggap kurang berfaedah.
A. Hassan tak pantang menyerah. Bersama kawan-kawan, beliau mencari keberadaan Muchtar Luthfi saat di Bandung. Rupanya, terjadi pertemuan tidak sengaja di rumah tokoh Sarekat Islam, Sabirin.
Muchtar Luthfi yang dikenal dengan sebutan “Bung Haji” belum pernah melihat sebelumnya A. Hassan. Waktu di rumah Sabirin, A. Hassan ditemani oleh M. Natsi, Syamsuddin dan kawan-kawan.
Berceritalah Muchtar Luthfi –tanpa tahu bahwa yang di hadapannya adalah A. Hassan—bahwa ia ditantang debat oleh Pembela Islam dan dijelaskan pula yang menulis surat bukan dirinya, tapi Soekarno. Ketika A. Hassan memberi tahu identitasnya, tiba-tiba Muchtar Luthfi terperanjat. Rupanya yang sedang diomongkan sedang berada di dalamnya.
Berikut ini sedikit petikan perdebatan Muchtar Luthfi secara indoor dan tak disengaja di kediaman Sabirin:
ML : Pejuangan di zaman Nabi ialah antara Islam versus kufur. Perjuangan zaman ini antara bangsa versus bangsa.
AH : Kaum kebangsaan sudah puas mencela dan menghina agama kami.
ML : Tuan-tuan belum propaganda betul-betul kepada kaum nasional, mereka bodoh, perlu dikasih mengerti.
AH : Orang mencela agama rakyat sebelum periksa itu, amat jahat dan bodoh. Tidak layak jadi pemimpin.
Dalam keterangan selanjutnya A. Hassan menambahkan, “Tuan, kita orang Islam, tidak pernah mendahului apa-apa terhadap kepada kaum kebangsaan. Tuan boleh baca surat-surat khabar kita dan lainnya.
ML : Itu perasaan tuan.
Hadiri serentak menyela : Ini bukan perasaan. Ini kejadian yang bisa diperiksa.
Syamsuddin : Apa alasan buat kita membolehkan kita berasas kebangsaan?
ML : Firman Allah: “Inna ja’alnakum syu’uban waqabaa`ila”, artinya satu bangsa yang sama keperluannya.
AH : Arti yang begini bunyinya tidak ada di bahasa Arab.
ML : Ada dalam kamus.
AH : Boleh jadi di kamus bikinan zaman baru.
ML : Ada di kamus Lisanul-‘Arab
AH : Ya itu kamus baru.
ML : Tiap-tiap bahasa ada perubahan menurut masa.
AH : Ya, betul, tetapi turunnya Qur`an dengan arti bahasa yang terkenal zaman itu, bukan dengan arti yang dibikin di zaman ini.
ML : Tuan, saya ahli dalam bahasa Arab.
AH : Biar, tetapi arti yang begitu tanggung tidak ada di kamus dulu-dulu.
ML : Tuan tidak ada hak campur di dalam urusan kebangsaan kami, karena perasaan tuan ada lain daripada perasaan kami. (Selesai Nukilan)
Itulah sekilas perdebatan tokoh Pembela Islam dan Aliran Kebangsaan yang diabadikan dalam brosur terbitan persatuan Islam. Perdebatan itu tak berujung memuaskan. Kata Babe Ridwan, “Perdebatan yang amat penting ini mungkin ‘menguap’ begitu saja bila salah seorang di antara yang hadir dari pihak Pembela Islam tidak membuat catatan stenografi, Kemungkinan catatan stenografi dibuat oleh Mohammad Natsir.” (1995: 72)
Kisah ini diangkat oleh Ridwan dalam rangka penjelasan peran politk A. Hassan sampai menjelangnya bubarnya RIS. Sejak pindah di Bangil, A. Hassan tidak menekuni lagi tulisan di bidang politik. Namun, pada 26 Oktober 1950 A. Hassan menulis masalah politik di majalah Hikmah dengan judul “Baldatun Thayyibatun”. Demikian tulis Ridwan.
Setelah saya cocokkan dengan koleksi majalah Hikmah saya, rupanya tulisan A. Hassan ini dimuat dalam edisi istimewa Maulid tahun 1375, edisi nomer 43-44 tahun 1955, bukan 1950. Adapun tanggal dan bulannya sama. Judulnya dengan ejaan lama "Baldatun Thaijibatun".
Sangat menarik memang perbincangan tentang keterlibatan A. Hassan dalam bidang politik. Lebih menarik lagi, bila ada yang bisa mengungkap keterlibatan beliau dalam bidang politik sejak masa penjajahan Jepang dan beliau berada di Bangil. (MB. Setiawan, 24 Januari 2022)
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan