Kalau kita masih
diberi kesempatan hidup lagi dari kematian kecil – tidur -, apa yang akan kita
lakukan? Masihkah kita acuh dan semena-mena menggunakan kenikmatan besar itu?
Padahal kita tidak tahu dan tak bisa menjamin apakah hingga pada detik yang
akan datang kita masih tetap hidup. Kalau bicara nikmat Allah yang dikaruniakan
kepada kita sungguh tak terkira sedangkan kesyukuran yang diekspresikan kita
sama sekali belum sebanding dengan nikmat itu. Kita sudah paham dan tahu bahwa
bila kita bersyukur Allah akan menambah nikmat, bila kufur siksa-Nya sungguh
sangat pedih. Ironisnya ayat itu masih dijadikan sebagai `museum sejarah` yang
tersimpan pada otak kita. Ia tidak bisa menggugah dan membangunkan kesadaran
hati kita. Kita secara adil diberi kesempatan dan waktu yang sama, tapi sekali
lagi itu hanya menjadi aksesoris bagi kita. Lagi-lagi kita tak mampu menata,
mengatur, memenejnya dengan kegiatan-kegiatan yang mengantarkan kita pada
kesyukuran. Mungkin di depan umum kita berteriak-teriak lantang menyerukan:
“Mari kita bersyukur. Mari tinggalkan kekufuran”. Sedangkan diam-diam dalam hati
kita mentertawakan ucapan itu. Kita
sebenarnya tak sungguh-sungguh serius mengamalkan isi kata-kata itu. Kita
secara tak sadar sebenarnya sedang membuat lelucon yang sama sekali tak lucu.
Mungkin kita tak ingat dan tak sadar bahwa perbuatan kita itu akan menjadi
bumerang bagi masa depan akhirat kita, namun sekali lagi kita mengacuhkannya.
Kita ini adalah manusia yang punya tradisi sadar ketika kepepet; punya budaya
ingat ketika sudah terpaksa; punya budaya insaf ketika sudah tertimpa mushibah;
punya kebiasaan dzikir, kalau ditimpa bencana. Kita masih belum lulus-lulus
menjadi manusia seutuhnya, apalagi khalifah. Kita habiskan waktu untuk meng-ghibahi
orang; mencari-cari kesalahan orang; memfitnah, menuduh, memfetakompli,
memojokkan, dan berbagai pekerjaan negatif lainnya. Sehingga ketika kita
melihat orang lain bahagia, kaya, kecukupan, cermin batin kita cendrung
memantulkan suudzan-suudzan. Ada orang punya mobil, kita bilang: Oh itu
hasil korupsi. Ada orang punya rumah mewah, kita bilang: alhah
paling-paling hasil mendzalimi orang lain.
Allah
memberikan kita pikiran, memberikan kita akal tapi kita tak sungguh-sungguh
menggunakannya. Kita masih cendrung la`ibun wa lahwun. Padahal kalau
kita mau bercermin ke Al-Qur`an betapa banyak ayat-ayat yang menganjurkan dan
mendorang untuk mendayagunakan akal. Sebenarnya banyak sekali peristiwa dan
kejadian di luar diri kita yang perlu dinalar, dianalisa, dihikmahi, diarifi,
namun kita juga tak terlalu serius dalam menyikapi dan menghadapinya. Peristiwa
itu datang tidak membuat kita terangsang untuk berpikir. Malah kalau
menurut istilah Arab sebagai: mururul kiram(cepat landas tak berbekas)
hanya sliweran saja tidak membuat kita arif dan bijaksana. Makanya
jangan heran orang di luar kita yang sudah jauh melangkahkan kakinya menuju
pencapaian-pencapain monumental dan bertaraf internasional. Itu karena mereka
lulus dalam mengoptimalkan fungsi akalnya dengan baik dan brilian. Apakah kita
tidak tergugah dengan pernyataan yang melecut jiwa kita: fabiayyi alaa`i
Rabbikuma tukadzzibaan (dari nikmat Tuhan-mu yang mana lagi yang akan kamu
dustakan). Ketika para jin mendengar ayat tersebut, langsung tergugah dan
menjawabnya dengan penuh antusias. Sampai-sampai Rasul mengatakan jawaban jin
lebih baik daripada manusia mengenai komentar ayat tersebut. Demikian juga
kalau kita kembangkan lebih jauh: Kita punya mata tapi tak kita pergunakan
untuk menyerap informasi dari luar diri kita untuk dijadikan pengetahuan yang
berisi hikmah sehingga membuat kesadaran radikal dalam hati kita. Mata kita tak
mampu melihat gejala-gejala diluar kita untuk dijadikan obyek tafakkur dan
tadabbur. Kita hanya menggunakannya untuk main-main, nonton hal-hal yang
sebenarnya tidak mendukung kelulusan kita sebagai manusia bahkan semua itu
tidak akan , kita bawa mati. Kita punya telinga, tapi tak mau mendengarkan yang
baik-baik; kita punya tangan, kaki, tapi tak benar-benar digunakan untuk
kepentingan yang membuat kita semakin dewasa dan arif dalam menilai kehidupan
yang sementara ini. Bahkan kita punya hati, tapi hati sudah mengalami kerusakan
fungsi. Hati sebagai raja yang mengontrol jiwa dan raga sudah tak mempunyai
pengaruh. Komando sudah dipegang oleh nafsu dan syahwat yang sangat dekat dan
identik dengan langkah-langkah setan.
Coba
bayangkan jika akhirnya semua itu dicabut dari kita semua. Apakah kita akan
pilu menyesal seperti orang kafir di akhirat yang mengatakan: ya laitani
kuntu turooba(andai saja aku jadi tanah saja). Ya laitani qoddamtu
lihayaati (Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh)
untuk hidupku ini)". Padahal itu
adalah harapan yang mustahil. Bagai memasukkan gajah melalu lubang jarum,
sindir Al-Qur`an. Apakah kita mau mengikuti jejak kaum Nuh, Aad, Tsamuud,
Madyan, Fir`aun dan lain sebagainya yang mengukir pelajaran penyesalan ketika
sudah terlambat dan mustahil? Tentu saja jawaban ideal kita mengatakan
tidak. Dalam hati kita sebenarnya masih
ada potensi nafsu lawwamah(nafsu yang mengkritisi setiap apa yang kita
lakukan), apalagi nafsu muthmainnah(nafsu yang berada pada level tenang
dan menenangkan), tapi kalau yang hidup dan dominan malah nafsu ammarah
bissu` yang salalu dominan mendorong pada tindakan dan perilaku negatif
maka kita telah mengubur harapan kita sendiri menuju perubahan yang berarti.
Dan yang kita jalani saat ini, yang kita rasakan, yang kita bangga-banggakan
masih berada taraf ketidaksadaran yang supra dahsyat. Butuh berapa tahunkah
kita mau merubah diri? Butuh berapa lamakah kita mau memperbaiki diri? Apakah
kita pasrah dan setuju dengan ungkapan malaikat yang menyatakan: Kenapa
Engkau menciptakan makhluk yang kerjaanya hanya menumpahkan darah dan membuat
kerusakan di muka bumi? Mungkin kita akan menjawab tidak. Tapi laku kita
mengiyakannya.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !