Beberapa waktu lalu; ketika aku berkunjung di rumah kos kawan kuliah, ada satu perkataan yang ia ungkapkan dengan apa adanya dan spontan. Ia berkata: "Rasanya bagai diperkosa". Mendengar ucapan itu aku segera merespon dengan pertanyan spontan juga:" Lho, emang kamu habis ngapain?". Dengan mimik muka yang terlihat menyesal ia menjawab: "Gini bro, lagi-lagi aku terlambat shalat Shubuh; aku shalat Shubuh ketika matahari sudah terbit. Dulu sewaktu masih di rumah aku ga pernah ketinggalan shalat Shubuh pada waktunya, makanya saking menyesalnya aku merasa seakan-akan habis diperkosa".
Kasus diatas cukup menarik untuk diangkat menjadi sebuah bahan renungan, kontemplatif. Ungkapan penyesalan berupa 'bagai diperkosa' merupakan kesadaran internal yang lahir dari jiwa seseorang akibat adanya tindakan-tindakan yang menyalahi prinsip atau kebiasaan baik seseorang. Pada kasus di atas kita dapat menilai betapa nilai telat mengerjakan shalat Shubuh itu begitu beratnya sampai harus mengungkap, 'bagai diperkosa". Diperkosa berarti harga diri dan harta berhaganya telah terenggut. Meski ungkapan itu terkesan hiperbolis tapi mengandung nilai spritualitas yang luar biasa. Ungkapan itu hanya timbul pada pribadi yang benar-benar sadar dan awas akan nilai spritualitas yang dipegang. Orang yang tidak memiliki iman yang kuat dan mengakar maka peristiwa telat shalat Shubuh akan dianggap biasa dan tidak penting.
Dari ungkapan 'bagai diperkosa', kita bisa melihat seolah-olah perbuatan yang telah ia lakukan berupa "telat shalat Shubuh", begitu berpengaruh besar pada sikap dan mentalnya. Bahkan kalau tidak berlebihan, ungkapan itu sebagai pengejawantahan secara verbal dari seseorang yang secara psikologis dan sosiologis telah mengalami kegagalan spritual. Sebagaimana telah maklum bahwa orang yang telah diperkosa pasti merasa hancur dan malu karena harga diri dan harta paling berharganya telah direnggut secara paksa yang pada giliranya akan mempengaruhi mentalitas kepribadian hingga menjalar pada ranah psikologis dan sosiologis. Secara psikologis dia merasa telah gagal dan hancur. Secara sosiologis dia merasa malu karena telah kehilangan harga diri.
Mungkin, kalau tidak bisa dikatakan pasti; kita pernah telat shalat Shubuh. Bahkan Nabi pun dan sahabat pernah ketinggalan shalat Shubuh hingga menunaikannya di waktu matahari terbit. Tapi perlu diketahui bahwa perbuatan yang dilakukan nabi itu sebagai sebuah kelalaian manusiawi yang pada berikutnya ada hikmah syar`inya. Ia terlambat bukan karena kesengajaan, pada waktu itu konteksnya sehabis perang, para sahabat dan nabi merasa lelah dan payah, meski demikian Nabi tidak lupa mengamanati Bilal untuk menjaga agar bisa membangunkan Nabi dan sahabat yang lain untuk shalat Shubuh pada waktunya. Namun, Bilal pun tertidur karena kecapean.
Telat shalat Shubuh sampai tergelincir matahari, bila terjadi karena hal diluar batas kemampuan manusia itu tak jadi masalah secara syar`i. Masalahnya ialah ketika hal itu telah menjadi kebiasaan dan tidak memiliki udzur yang bisa dipertanggungjawabkan secara syar`i. Kasus di atas tadi menggambarkan kepada kita bahwa ia bersikap menyesal bukan karena tidak memiliki uzur atau punya. Lebih dari itu ia merupakan semangat iman yang kokoh yang melahirkan penyesalan mendalam akibat telah menyalahi perintah wajib dari Tuhannya. Merupakan sikap yang luar biasa bila ungkapan tadi benar-benar juijur dari lubuk hati yang terdalam dan memiliki dampak positif yang dapat membantu dirinya agar tidak terjatuh pada kesalahan kedua kalinya. Jika kata "Bagai diperkosa" hanya sebatas ucapan apologis maka ia tak ubahnya sebagai omong kosong dan tak memiliki pengaruh apa-apa.
[by Mahmud Budi Setiawan on Saturday, November 27, 2010 at 1:23am]
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !