Pada perjalanannya menuju akhirat, manusia muslim tak selamanya berada dalam kondisi selalu sadar. Dalam jenak-jenak waktu yang telah dilalui selalu ada jeda, celah, dan ruang dimana manusia berada pada kondisi lalai, lupa, atau tidak sadar. Ketidaksadaran bisa dipicu oleh usaha syaitan yang kontinyu untuk menyesatkan manusia, juga potensi nafsu ammâratun bi al-sû`(yang memerintahkan kejelekan) yang terkadang terlalu menguasai jiwa manusia ketika memperturutkan hawa nafsunya. Belum lagi kenikmatan dunia yang begitu melenakan, ketika bertemu dengan hawa nafsu yang begitu besar, kadang-kadang manusia bisa lalai karena itu. Salah satu kesadaran yang sangat penting di antara kesadaran-kesadaran lain yang diilhami dari al-Qur`an dan al-Hadits ialah kesadaran isrâ dan mi`râj. Kesadaran isra` dan mi`raj juga bisa dikatakan sebagai kesadaran sejarah bagi tiap umat Islam untuk senantiasa sadar bahwa perjuangan selalu membutuhkan kesadaran besar. Dengan menela`ah kembali nilai-nilai luhur dari isrâ dan mi`râj maka, kesadaran diri untuk melakukan hal-hal positif akan senantiasa terbangun; kesadaran diri untuk selalu berusaha menjadi lebih baik akan senantiasa terbina; kesadaran diri untuk berusaha berkontribusi lebih banyak untuk umat akan senantiasa terlaksana.
Kesadaran isrâ dan mi`râj adalah 'kesadaran bumi-langit'. Artinya, sebagai manusia yang tinggal di bumi, manusia tidak boleh terlena dengan segala yang ada di bumi. Senikmat-nikmat yang ada di bumi jangan sampai melupakan masalah langit, yang dalam hal ini secara konotatif dimaksudkan sebagai usaha untuk selalu mengingat yang di atas, yaitu Allah subhânahu wata`âla. Sesulit-sulit kondisi yang dihadapi di bumi, jangan sampai membuat putus asa. Muslim tak mengenal putus asa, sebab sesulit dan seberat apapun yang dihadapi di bumi, tetap saja ia memiliki Allah yang di atas. Sebagaimana kisah Nabi Muhammad menjelang isra` dan mi`raj, dimana beliau mendapat ujian yang begitu berat di bumi, istri tercinta dan paman tersayang meninggal, ia juga dimusuhi banyak orang, ketika di puncak nestapa, isra` dan mi`raj hadir sebagai pelipur lara. Karena itulah ada bumi, ada langit. Manusia harus memadukan keduanya. Ini mengingatkan kita kepada salah satu konsep penting yang digali dari al-Qur`an, yaitu: hablun minallâh dan hablun min al-nâs. Keduanya harus disinergikan supaya menjadi kuat. Sebagai manusia muslim kita mempunyai kewajiban untuk menciptakan keseimbangan antara keduanya.
Kesadaran isra` dan mi`râj adalah 'kesadaran dunia-akhirat'. Artinya, manusia tak melulu disibukkan dengan hal-hal duniawi kemudian melupakan masalah akhirat. Ingat! ketika Rasulullah sudah mengalami kegundahan yang luar biasa dibumi, Allah selalu menghibur hatinya, bahwa dunia ini sementara dan yang hakiki hanya akhirat. Pada banyak ayat-ayat al-Qur`an banyak sekali ayat-ayat yang bermakna demikian. Misalnya, inna ma`a al-`usri yusra(sesungguhnya bersama kesulitan pasti ada kemudahan), wa lal-âkhiratu khairun laka min al-ûla(dan sungguh kehidupan akhirat lebih baik bagimu daripada kehidupan di dunia), wa al-âkhiratu khairun wa abqa(dan kehidupan akhirat itu lebih baik dan kekal), dan masih banyak lagi ayat-ayat yang semakna dengan tadi. Meski akhirat lebih utama dan menjadi prioritas, Islam mengajarkan pada pemeluknya untuk tidak menjadikan dunia sebagai musuh. Justru dunia harus dijadikan sebagai mitra untuk turut serta berkontribusi akhirat. Dunia adalah jalan menuju akhirat, tanpa jalan apakah kita kan sampai ke akhirat?. Di sinilah kita mengetahui 'cara pandang' al-Qur`an mengenai dunia-akhirat dalam surat al-Qashas ayat 77: wabtaghi fîmâ âtâkallâhu al-dâra al-âkhirah wa lâ tansa nashîbaka min
al-dunya[dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi]. Peristiwa isra` dan mi`râj memberikan manusia muslim kesadaran semacam itu. Karena itulah muslim mengaktualisasikam perjuangannya di dunia dan selalu diorientasikan untuk kepentingan akhirat.
Kesadaran isrâ` dan mi`râj adalah `kesadaran susu-sidratu al-muntaha`. Artinya, ketika peristiwa isrâ ada peristiwa menarik dimana Rasulullah dikasih dua pilihan oleh Allah ta`ala melalui malaikat Jibril, antara susu dan khamr(minuman memabukkan). Rasulullah pun memilih susu, ia tak mau memilih khamr. Pilihan Rasulullah ini sangat tepat, karena susu menggambarkan fithrah Islam. Susu menggambarkan manfaat tanpa efek samping. Susu juga mengingatkan kesadaran penting untuk senantiasa berbagi, memberi, bermanfaat untuk orang meski diri sendiri tak menikmati. Seperti sapi dan onta betina misalkan, dia selalu rela membagikan susunya tanpa pernah merasakannya sendiri, intinya selalu bermanfaat untuk orang lain. Adapun khamr, bahayanya lebih besar dari manfaatnya. Mengakibatkan manusia mabuk, terlena, berhalusinasi, berkhayal untuk sesuatu yang tak mungkin diraih tanpa usaha. Khamr juga menggambarkan sifat manusia yang egois, lebih mementingkan kepentingan sendiri dari pada kepentingan sosial. Akibatnya, ia malah merusak diri sendiri. Maka sangatlah tepat jika Rasulullah memilih susu. Susu menggambarkan manfaat sebesar-besarnya untuk kepentingan sosial, sedangkan khamr(arak atau semuak yang memabukkan) menggambarkan egoisme dan harapan palsu. Adapun sidratu al-muntaha menggamparkan puncak langit ketujuh, pohon kehidupan, pohon bidara, yang pada kisah Nabi digambarkan sebagai puncak di atas langit ke tujuh, yang mana di sampingnya ada surga, di atas sana juga terdapat arsy(singgasana) Allah subhanahu wata`ala. Artinya, kesadaran sidratu al-muntaha adalah kesadaran akan Allah Yang Maha Kuasa. Dengan demikian kesadaran susu-sidratu al-muntaha adalah kesadaran tentang pentingnya bermanfaat secara horisontal (pada makhluk hidup) dan dipadukan dengan membina hubungan yang intensif secara vertikal(dengan Khaliq[Sang Pencipta]).
Pada akhirnya, setidaknya peristiwa historis isrâ` dan mi`râj seharusnya bisa dijadikan oleh setiap muslim untuk senantiasa menyatukan antara kepentingan langit-bumi; mensinergikan antara kepentingan dunia-akhirat; mengharmonikan antara kepentingan individu, sosial yang sifatnya horisontal dengan intensitas hubungan dengan Allah subhanahu wata`ala. Pantaslah di puncak sidratu al-muntaha, disamping beliau diberitahu surga dan neraka, beliau juga mendapat perintah shalat lima waktu. Ibadah shalat lima waktu ini sangat istimewa karena diperintahkan langsung oleh Allah pada Nabi Muhammad di atas langit ketujuh. Shalat lima waktu mengaktifkan semua potensi manusia baik secara fisik(jasadiah) dan non-fisik(akal, hati, dan ruhani). Shalat lima waktu menyadarkan setiap manusia muslim akan pentingnya, kedisiplinan, persatuan, kekompakan, fokus, berfikir, dan mendayagunakan segenap daya dan potensi manusia untuk difokuskan pada Allah. Sesibuk-sibuknya manusia, ia harus tetap menjaga hubungan yang baik dengan Tuhannya. Karena itulah, shalat lima waktu bisa diibaratkan sebagai 'mi`râj mini' yang seharusnya dapat menggugah kesadaran manusia muslim untuk selalu sadar bahwa di balik semua kenikmatan yang telah dirasakan dan dimilikinya, di sana ada Allah Yang Maha Pemberi Rizki; di balik kesusahan yang dialami manusia, di sana ada Allah Yang Maha Melapangkan dan Memberi kemudahan untuk manusia. Dengan demikian manusia tidak gampang terlena dengan dunia; tidak mudah putus asa karena masalah, dan tetap fokus pada Allah subhanahu wata`ala. Karena itulah, kesadaran 'isrâ` dan mi`râj' harus senantiasa dijaga oleh setiap manusi muslim. Jangan sampai hanya dijadikan sekadar peristiwa usang yang diletakkan pada musium sejarah. Kesadaran itu harus tetap eksis, baik untuk masa lalu, masa kini, dan masa depan. Karena sejarah pada dasarnya bukan sekadar berisi rekaman masa lalu, sejarah juga berisi pelajaran-pelajaran berharga untuk masi kini dan masa mendatang. Wallahu a`lamu bi al-Shawâb.
Sumengko, Rabu 28 Mei 2014/12:49.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !