I
Antara
Lulus Asli dan Imitasi
Salah
satu instrumen untuk mengetahui sejauh mana pendidikan dan pengajaran dikatakan
berhasil ialah dengan menggunakan mekanisme ujian. Ujian berasal dari kata
“uji” yang berarti: Percobaan untuk mengetahui mutu sesuatu. Variasi ujian di
dunia pendidikan meliputi ujian lisan, tulis dan praktis. Hasil dari percobaan
untuk mengetahui mutu ini selanjutnya dinamakan lulus atau tak lulus. Siswa
dikatakan lulus jika memiliki kualifikasi berikut: mengerjakan ujian secara
jujur dan mandiri, antara hasil dengan kemampuan yang dimiliki tak terlalu
terjadi kesenjangan jauh, artinya antara hasil dan kemampuan benar-benar
berbanding lurus. Siswa dikatakan tidak lulus jika memiliki kualifikasi berikut:
mengerjakan ujian secara tidak jujur dan tak mandiri, antara hasil dengan
kemampuan yang dimiliki terjadi kesenjangan yang sangat jauh, artinya antara
hasil dan kemampuan benar-benar berbanding lurus.
Di tengah euforia Kelulusan Nasional saat ini, secara hasil tentu pasti ada dua
kemungkinan. Antara lulus dan tidak lulus. Namun permasalahan kemudian ialah
apakah kelulusan dan ketidaklulusan dari proses ujian yang telah
diselenggarakan benar-benar wujud murni dari kemampuan dan potensi siswa yang
selama ini ditempa dalam infrastruktur pendidikan berupa sekolah? Apa lagi jika
dilihat dari sisi basis kurikulum pendidikan nasional didasarkan pada
pendidikan karakter, yang berarti pendidikan tak telanjang nilai, pendidikan
sangat berjalin kelindan dengan nilai-nilai akhlak dan moral. Artinya, bila
benar-benar diperaktikkan secara jujur dan obyektif, benarkah hasil kelulusan
dari ujian yang diselenggarakan benar-benarkan berbalut baju nila karakter
seperti yang diinginkan dalam kurikulum nasional yang diantaranya berupa:
kejujuran. Jawaban dari kedua pertanyaan tadi tentunya sudah barang tentu bisa
dijawab dengan mudah oleh para pendidik dan pengajar bagi para siswa-siswa yang
dididiknya.
Kalau mau berpikir jujur, arif dan bijak, pada dasarnya hakikat kelulusan
sangat mudah dipahami dan dimengerti. Siswa-siswi bisa dikatakan lulus jika
benar-benar dihasilkan dari proses yang mandiri dan jujur, bukan dihasilkan
dari pemberitahuan melalui para joki, makelar jawaban, yang pastinya tidak jujur.
Siswa-siswi dikatakan tak lulus jika benar-benar dihasilkan dari proses yang
tak mandiri dan tak jujur melalui pemberitahuan guru baik secara langsung
maupun tak langsung. Namun kendala pendidikan selama ini memang mengendapkan
suatu fakta penting bahwa ada kesenjangan yang sangat serius antara sistem yang
ideal dengan eksperimentasi fakta yang ada di lapangan. Bahwa hasil kelulusan
yang keluar tak mesti berbanding lurus dengan kemampuan dan kejujuran siswa.
Apa lagi bila diperparah dengan kenyataan lain berupa maraknya joki-joki kunci
jawaban yang turut serta menyukseskan kelulusan nasional. Akhirnya sudah pasti
bisa ditebak. Kelulusan yang ada bila dibangun dengan ketidakmandirian dan
ketidakjujuran adalah kepalsuan. Yang sangat parah dan mengerikan jika hal ini
sudah dianggap legal secara kolektif baik oleh siswa maupun jajaran pendidik.
Ini berakibat fatal pada tujuan awal diadakannya ujian yang dibangun
berdasarkan kemampuan dan kejujuran siswa. Pendidikan semacam ini hanya
mengajarkan anak pada orientasi sangat dangkal dan superfisial dari hakikat
inti pendidikan. Ini juga bisa menghancurkan sistem pendidikan yang selama ini
berusaha dibangun dengan susah payah berdasarkan karakter. Jangan heran jika
akan muncul generasi yang akan mempunyai prinsis: tujuan boleh dilakukan dengan
segala cara walaupun dilakukan dengan cara tak benar dan merugikan orang lain.
Bila ini benar-benar terjadi maka pendidikan yang selama ini dibangun adalah
pendidikan yang palsu.
Ujian sudah mengalami semacam dekadensi supra liberal. Dekadensi karena tujuan
mulia dari pendidikan tidak tercapai dengan baik walau hanya target standart,
dan ini sangat-sangat bebas bahkan anti nila. Titik fokus bukan lagi pada
proses pendidikan yang membuat siswa menjadi berkarakter dan beradab. Titik
fokusnya berubah haluan pada hasil. Jadi akan muncul – dan pasti muncul –
kenyataan yang menggelikan berupa: pendidik yang sukses adalah pendidik yang
mampu meluluskan semua siswa walau dengan cara membocorkan jawaban atau
mengajari langsung siswa sewaktu ujian; sekolah yang sukses adalah sekolah yang
mampu membuat seluruh siswanya lulus meski harus ditempuh dengan membeli kunci
jawaban. Secara natural hal ini akan berdampak negatif baik bagi para guru
maupun siswa. Jangan heran jika ada guru yang malas ngajar karena merasa
percuma karena pengajaran dan pendidikannya selama ini dicurangi dengan hasil
kelulusan yang tak jujur; jangan heran jika para siswa akan lebih nyantai dan
tak serius akibat mendapat pengaruh negatif dari kakak-kakak kelasnya bahwa
tidak usah belajar serius-serius wong pada akhirnya nanti ujian diberi kunci
jawaban dan pasti lulus. Kalau fakta demikian sudah menyebar kemana-mana dan
menjadi semacam rahasia umum, maka lembaga pendidikan beserta jajaran
pendidiknya sudah bisa dikatakan tak produktif alias mandul. Sangat wajar jika
ada yang mengatakan bahwa ini bisa dikatakan sebagai usaha membisniskan
pendidikan. Yang penting untung, semua jalan dilakukan; yang penting laba semua
cara dilaksana.
Pada akhirnya memang fenomena maupun kenyataan demikian tidak lantas membuat
rasa pesimis yang demikian parah. Lulus dan tak lulus secara hakiki tetap bisa
ditempuh asalkan berbagai pihak baik secara individu maupun sosial mau bekerja
sama dalam menciptakan kondisi yang sangat bisa menumbuhkan kejujuran dan
kemampuan siswa yang berkualitas. Bila kerjasama yang jujur dan mandiri sudah
tercerabut dari hati setiap pendidik dan lembaga pendidikan untuk menciptakan
pendidikan yang menghasilkan kelulusan yang jujur mandiri, maka selamat
merayakan Hari Kepalsuan Kelulusan Ujian Nasional; selamat merayakan Hari
Imitasi Nilai Ujian Nasional.
**********
II
Lulus
Benar Lulus
Hati
Rani berdebar-debar penuh harap dan cemas. Ia bersama teman-teman sedang menuju
sekolah untuk melihat langsung hasil kelulusan Ujian Nasional tingkat SMA. Segala daya dan upaya sudah dikerahkan
sedemikian rupa. Belajar sudah. Berdoa sudah. Tawakkal sudah. Tapi tetap saja
merasa harap-harap cemas. Kecemasan Rani memang sangat beralasan. Di samping
karena jumlah paket yang bertambah banyak menjadi 20 paket, ia juga termasuk
siswi yang secara peringkat prestasinya sangat rendah. Bisa dikatakan peringkat
pertama dari bawah. Kenyataan-kenyataan inilah yang membuat Rani cemas.
Meski
cemas tak sampai membuat ia putus asa dan lemas; meski khawatir, tak sampai
membuatnya putus harapan dan ketar-ketir. Ia merasa beruntung punya ibu
yang benar-benar bijak dan arif. Ibunya, sebelum Ijian Nasional berlangsung,
selalu mewantikan padanya nasehat yang sangat berkesan dan sulit dilupakan: Nak!
Pada dasarnya ujian tak hanya terbatas pada ujian sekolah belaka. Hidup ini
juga merupakan ujian besar yang dibuat Allah untuk menguji siapa yang terbaik
amalnya. Sebagaimana ujian sekolah, pasti dalam menjalankannya ada yang lulus
dan ada yang tidak. Permasalahannya bukan terutama pada lulus atau tidak lulus.
Permasalahannya sejauh mana kamu bisa menjadi berkarakter dalam proses
pendidikan sehingga kamu benar-benar mendapat nilai yang nyata dan jujur. Meski
tak lulus tapi kamu sudah berusaha dan jujur maka ketidaklulusanmu hanyalah
kesuksesan yang tertunda. Tapi jika kamu lulus tapi dengan cara yang curang,
maka hal itu merupakan kegagalan yang tertunda yang kelak bikin sengsara.
Sesampainya
di sekolah, Rani dan teman-teman agak merasa tidak enak. Pasalnya, mimik muka,
air muka Kepala Sekolah terlihat sedih dan seakan menahan kepedihan.
Dikumpulkanlah para siswa di aula sekolah untuk mendengarkan hasil ujian
nasional. Setelah salam dan pembukaan Kepala Sekolah menyatakan: Dengan
pasrah dan penuh tawakkal kepada Allah, saya harap semua siswa tetap bersyukur
bagi yang lulus, dan bagi yang tak lulus tetap bersabar. (Para siswa sudah
mulai khawati jangan-jangan diantara mereka ada yang benar-benar tak lulus).
Berdasarkan hasil yang saya terima dari Sub Rayon, bahwa semua siswa SMA
Al-Fatihah, tidak ada yang tak lulus, alias lulus semuanya. (Para siswa
mengekspresikan kegembiraannya. Ada yang berhamdalah, bertakbir, nyengir ada
juga yang sujud syukur). Nilai yang terbaik diraih oleh siswi yang bernama:
....................................(semua siswa menunggu. Ada yang berkata:
pasti si Mustika. Dia kan bintang kelas kita)...........oleh siswi yang
bernama: Rani Dwi Trisnawati. (Rani tertegun demikian juga teman-temannya,
seolah-olah sedang dalam alam mimpi).
Kejujuran,
usaha, doa, kemandirian dan tawakkal yang dilakukan Rani benar-benar membuahkan
hasil. Bukan saja ia mendapat sekedar kelulusan. Lebih dari itu, ia telah
mendapatkan nilai terbaik, yang sontak membuat teman-teman lainnya heran. Tidak
ada yang meragukan kejujuran Rani. Selama ini memang mereka tak pernah
menjumpai Rani berbohong. Meski prestasi dibawah rata-rata dia tetap memiliki
kejujuran terbaik diantara kawan-kawannya. Rani adalah anak yang lulus benar
lulus. Tak hanya itu, ia juga mendapat bonur dari ketekunan usaha, doa, dan
tawakkal berupa nila terbaik. Ia bukan hanya sukses dalam mengamalkan setiap
karakter pendidikan yang dicanangkan dalam kurikulum sekolah, ia juga sukses di
akhir kelulusannya mencapai nilai akademik terbaik yang patut diabanggakan dan
diapresiasi di tengah situasi kondisi
menyebarnya ketidakjujuran ujian nasional di negeri ini.
**********
III
Tak
Lulus Benar Tak Lulus
Ketika
diberitahukan kepada Arman bahwa dia tak lulus Ujian Nasional, Arman bersikap
dingin dan berkomentar: Ya wajarlah aku gak lulus. Aku jarang masuk, ga
pernah belajar, dan aku tidak ada mood untuk sekolah. Tapi meski begitu aku gak
pernah nyontek atau pakai kunci jawaban. Kalau ga bisa ya ga bisa aja ngapain
dipaksa-paksain lulus. Ini adalah gambaran bagi siswa yang, “Tak Lulus
Benar Tak Lulus”. Perlu diancungkan jempol untuk kejujurannya dalam ujian. Ia
tidak mencontek, tidak memakai kunci jawaban seperti teman-teman yang lain.
Namun kejujuran yang membuatnya tak lulus gara-gara kurang usaha dan pasrah
saja merupakan cerminan sikap yang menggambarkan ketidak lulusannya dalam
menginstrospeksi diri untuk melakukan perubahan diri yang lebih baik. Ia seolah
sudah kehilangaan harapan dan asa. Tak ada masa depan, tak ada rencana, tak ada
menejemen. Semua dibiarkan berlalu begitu saja. Nurani dan hati kecilnya tak
mempu menciptakan arus kesadaran yang membuatnya bangkit dan bangun dari
kegagalan. Kegagalan berupa ketidaklulusan yang mestinya jadi cambuk untuk
menjadi lebih baik dari sebelumnya malah hanya dibiarkan bahkan dinikmati.
Sungguuh menyedihkan. Ia sudah tak bisa mencapai kelulusan akademis. Ia juga
sudah kehilangan asa untuk bangkit dan lulus dari kegagalannya. Hayaatihi ka
`adamihi(hidupnya seperti tiadanya). Pasrah pada keadaan.
**********
IV
Lulus
Tapi Tak Lulus
“Saya
selaku Kepala Sekolah, mewakili segenap dewan guru merasa bangga dan bersyukur
karena siswa dan siswi kami bisa lulus semua, dan berhasil mendapat nilai
terbaik. Saya mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada dewan guru dan wali
murid yang tak henti-hentinya memberi suport, semangat pada anaknya agar
belajar sungguh-sungguh. Semoga hasil yang baik ini bisa dicapai lagi pada masa
ke depan. Aamin ya Rabbal `Aalamin”. Demikian salah satu petikan sambutan
Bpk. Wagiman selaku Kepala Sekolah di hadapan jajaran guru dan wali murid ketika
diundang acara tasyakuran kelulusan. Mendengar pernyataan Kepala Sekolah
yang bangga dan percaya diri ini, Pak Romli selaku Keamanan Sekolah alias
Satpam membatin dalam nurani: Dasar Kepala Sekolah Mbladhus, ngrowos.
Wong lulus karena ada kunci jawaban saja kok dibanggakan. Guru-guru juga nemen.
Wong sudah tahu itu salah dan tak baik untuk pendidikan malah didiamkan dan
didukung sepenuhnya asal ada fee-nya. Yang penting duit beres, pengawasan
luwes. Siswa-siswinya juga gitu(meski tidak semuanya) kebanyakan rada kenthir
dan kurang pikir. Apa yang ndak mikir dengan akal sehat: “Buat apa sekolah
sampai sekian tahun kalau ternyata ujian nasional diberitahu kunci jawaban”.
Yang lebih parah, wes jelas kelulusannya ga jujur, dilampiaskan dengan cara
urakan, pakai coret-coret baju, semprot pilok, arak-arakan motor. Halah semua
hidup dalam kepalsuan dan tabdzir(pemborosan).
Betul
Pak Romli tak pernah mengenyam bangku sekolah. Pekerjaannyapun hanya menjadi
bawahan, yaitu satpam. Tapi masalah kejujuran, kekritisan, dan belajar tak
pernah lekang dari semangat hidupnya. Memang secara formal tak pernah belajar,
tapi dia belajar langsung dari kehidupan. Kehidupan, mengajarkan padanya
kearifan, kebijaksanaan dan pelajaran yang begitu luar biasa yang mungkin tak
dijumpai di bangku sekolahan. Tapi tetap saja apa saja yang diomongkan Pak
Romli dianggap tak penting. Wong memang dia tak pernah dianggap intelek
dan lagian memang tingkatan bawah dan awam ngapain ngurus masalah
pendidikan bisa berabe nanti. Demikian citra Pak Romli di mata mereka.
Makanya, yang dibisa Pak Romli hanya membatin seperti yang di atas. Yang
menarik dari ungkapan hati Pak Romli ialah suatu kenyataan pahit dimana
nilai-nilai kejujuran sudah tanggal dari lembaga pendidikan. Orientasi
pendidikan hanya pada hasil ujian. Demi pamor, citra, dan nama baik sekolah,
rela untuk membeli kunci jawaban agar nama baik sekolah terselamatkan. Apa lagi
di zaman yang dana BOS sangat subur makmur, membuat lembaga tertentu merasa
terancam secara finansial jika ada siswa yang tak lulus. Logikanya, kalau
lulus, pamor sekolah bagus, kalau pamor bagus siswa-siswi semakin banyak masuk
terus, kalau masuk terus duwit BOS mulus. Seolah Pak Romli mengisyaratkan
betapa pendidikan sudah dikapitalisasikan dan dibisniskan. Seakan pendidikan
sudah mengalami dan berada pada titik nadir kebejatan pendidikan.
Siswa-siswi
yang sudah tahu bahwa hasilnya tak jujur, tak segera sadar malah mengekspresikannya
dengan berhura-hura, corat-coret, arak-arakan motor dan lain sebagainya. Memang
benar telah mendapatkan kelulusan. Kelulusan yang tak jujur, ketika tak
menggugah benak pikiran dan hati, sejatinya adalah, “Lulus Tapi Tak Lulus”.
Ketidakjujuran seharusnya membuat tersadar dan insaf, sehingga bergerak lebih
maju untuk menuju perubahan lebih baik. Tapi kenyataannya malah bangga dan
berhura-hura. Lebih memilih hidup dalam bayang-bayang semu yang seolah indah
menentram hati, padahal merupakan kegagalan besar yang siap menanti. Mereka gembira
dengan kelulusan palsunya untuk mendapat kesenangan sesaat, padahal mereka
telah gagal bersikap, gagal menghikmahi, gagal mempelajari, bahwa kesemuanya
bak galian-galian kolektif yang secara tak sadar digali untuk mengubur diri
dalam kubur “KEGAGALAN”. Betapa bijak kata-kata Pak Romli. Tapi, sekali lagi
sudah pasti tak akan ada yang memperdulikannya. Karena wujuudihi ka`adamihi(keberadaan
Pak Romli dianggap tiada). Menjadi Satpam yang baik dan pendiam sudah merupakan
prestasi terbaik, menurut mereka.
**********
V
Tak
Lulus Tapi Lulus
“Meranaa
hati meranaa ........ Meranaa hati meranaa........... Meranaa hati meranaa”
Demikian ejek teman-teman Asyarafi meminjam lirik lagu: Rindu Merana, karya
Davinci Band, gara-gara Asyrafi tak lulus Ujian Nasional. Mereka mengejek
Asyrafi karena keteguhan Asyarafi pada prinsipnya: Ia tak mau menerima kunci
jawaban dari gurunya. Ia bertekad untuk jujur meskipun tak lulus. Terang saja,
dia dianggap sok suci, sok alim, bahkan mereka sudah menyiapkan surprise
cibiran dan ejekan khusus kalau-kalau nanti Asyrafi benar-benar tak lulus.
Ternyata benar-benar terjadi. Petikan nyanyian Davinci, Rindu Merana di atas
diulang-ulang dihadapannya oleh Rico, Slamet, Antok dan Eko. Asyrafi nyantai
saja tak menggubris mereka. Baginya, lebih baik ga lulus tapi jujur
daripada lulus tapi ga jujur.
Ternyata
bukan hanya Asyrafi yang tak lulus ujian. Ada juga teman ceweknya yang bernama
Artika Cinta Dewi. Kesamaan Artika dengan Asyrafi ialah sama-sama berpegeng
teguh pada kejujuran. Cuman bedanya, Artika tak mengungkapkannya secar verbal,
dia tak sampai ngomong sama teman-temannya. Dan Artika juga rajin belajar dan
berusaha dengan sesungguh-sungguhnya, sedang Asyrafi biasa-biasa saja tak
terlalu serius. Yang menarik, pada akhirnya keduanya sampai pada kesimpulan
yang sama yaitu: merasa salah dan harus berbenah. Asyrafi merasa salah karena
tak sungguh-sungguh dalam belajar. Artika merasa salah karena kurang jeli dalam
memahami soal. Karena itu keduanya ke
depan berusaha menjadi lebih baik dan ingin membuat perubahan nyata demi
menggapai hasil yang lebih baik. Keduanyapun bersabar, walau tak dapat
dipungkiri bahwa keduanya merasa malu. Nilai positif dari keduanya ialah: meski
keduanya tak lulus gara-gara ketidaksungguhan dan ketidakjelihan, keduanya mau
mengevaluasi diri, bersabar dan tetap berusaha menjadi lebih baik. Kesadaran
demikian membuat mereka lulus dalam menyikapi dan menghikmahi ketidaklulusan.
Keduanya Tak Lulus(secara formal akademik) Tapi Lulus(secara penyikan dan
pengambilan pelajaran).
Pada
dasarnya hidup ini adalah ujian. Ketidaklulusan ujian akademik sangatlah kecil
dibandingkan dengan ketidaklulusan dalam hidup. Dengan menginsafi dan menyadari
ketidaklulusan akademik dengan kesadaran dan perubahan yang mendasar sehingga
membuat maju maka ini merupakan salah satu hasil kelulusan dari ujian
kehidupan. Kesadaran ini akan mendewasakan siswa menjadi lebih arif dan bijak
dalam menilai setiap ujian yang menimpa. Tidak grusah-grusuh tapi
direnungkan, diinstrospeksi sedemikian rupa untuk menggapai kelulusan yang
lebih besar.
**********
VI
Kalau
Harus Memilih
Kalau
harus memilih
Pilihlah!:
Lulus
Benar Lulus
Atau
Tak
Lulus Tapi Lulus
Jangan
pernah memilih!:
Tak
Lulus Benar Tak Lulus
Atau
Lulus
Tapi Tak Lulus
Bila
tak demikian
Selamat
menggapai kegagalan
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !