Di sepertiga malam yang sunyi, Aji
menyimpuhkan kaki bermunajat ke hadirat Allah Swt. Setelah menunaikan shalat
tahajud, ia mulai membuka mushaf al-Qur`an sembari melantunkannya dalam suasana
hening. Dengan tatapan yang teduh, sembari tepekur merenungi ayat-ayat
Al-Qur`an Ia berusaha menyimpan rapat-rapat suasana hatinya. Dirinya merasa
bingung bukan main. Hatinya berkecamuk laksana lautan digoyang angin membentuk pusaran
gelombang. Gelombang ‘pilihan rumit’ begitu menderu menggalaukan pikiran dan
hatinya. Di hadapannya ada pilihan pelik: memilih cinta Aisyah Dwi Artanti atau
Sabrina Cinta As-Syifa? Bagaimana tidak berat, keshalihan dari keduanya sudah
tak diragukan lagi. Masing-masing dari keduanya juga memiliki keunggulan dan
kelebihan masing-masing. Aisyah Dwi Artanti di samping shalihah, ia adalah akhwat
yang baru lulus dari pondok tahfidz al-Qur`an, dan al-hamdulillah ia juga telah
menamatkan hafalan al-Qur`an. Sejak dahulu Aji mengidam sosok pendamping hidup
yang shalihah dan penghafal al-Qur`an. Sedangkan Sabrina Cinta As-Syifa
merupakan anak dari sahabat bapaknya yang dulu pernah diceritakan ke Aji, bahwa
papa dari Sabrina menginginkan perjodohan antara Sabrina dan Aji. Sabrina di
samping cantik, kalem, cerdas, lulusan kedokteran –bahkan sudah praktik- ia
juga termasuk cewek yang sangat menjaga aurat. Dan yang pasti, Sabrina merupaka
tipikal cewek yang sangat taat pada orang tua. Sewaktu masih kuliah di Madinah,
ia memang pernah mengidamkan sosok dokter sebagai pasangan untuk melengkapi
perjuangan dakwah.
Malam itu keresahan hati Aji belum
juga reda. Keraguan semakin menjadi-jadi. Besok adalah hari penentuan
keputusan. Aisyah apa Sabrina? Begitu kurang-lebih suara hatinya yang tak
kunjung diam. Padahal ia sudah mengiyakan Shinta Aulia untuk mendatangi rumah
Aisyah. Ia juga tak pernah menolak permintaan ayah dan ibunya ketika ditawari
Sabrina. Benar-benar membingungkan. Ia pun memutuskan untuk shalat istikharah.
Di saat-saat seperti ini, jangan sampai ia dikuasai oleh nafsu. Bagaimanapun
juga ia harus hati-hati dalam memilih calon ibu dari anak-anaknya. Ia tahu
betul bahwa memilih calon istri yang tepat merupakan gambaran masa depannya. Laksana bahtera yang
mengarungi samudera, maka seorang calon suami harus berhati-hati dalam
menentukan calon pendampingnya. Bila salah pilih, maka penderitaan akan selalu
mengiring pelayarannya, menuju pulau impian. Istri tak shalihah ibarat duri
dalam daging. Bayangkan ketika menyusuri samudera dengan bahtera, di luar ada
ombak bergulung-gulung, diri sendiri sibuk mengemudikannya, sedang istri tak
mau mendukung, selalu membuat resah dan bingung, bahkan begitu menyakitkan bagai
duri dalam daging, oh alangkah sengsaranya jika salah pilih. Ia pun
beristikharah dengan penuh khusyu`. Setelah itu ia berbaring sebentar untuk
menunggu shalat shubuh.
*********
Pagi hari di samping rumah, Aisyah
terlihat sumringah. Dari kejauhan ia terlihat asyik duduk di samping kolam ikan.
Tatapannya syahdu, bibirnya terlihat selalu bergerak melantunkan dzikir. Ia
bergumam dalam hati: “Alangkah indahnya sepasang ikan emas itu. Hidupnya
terlihat rukun, disertai banyak anak yang begitu indah mirip seperti kedua
orang tuanya. Heemm bagaimana ya nanti kalau aku berumahtangga? Apakah akan
sebahagia itu. Berjuang bersama mas Aji. Saling mendukung. Saling mengingatkan.
Bercengkrama penuh bahagia, dan memiliki banyak anak yang akan dipersiapkan
untuk menjadi mujahid-mujahid pejuang agama. Oh betapa Indahnya, membangun
bahtera rumahtangga bahagia. Mempunyai suami yang shalih, bertanggungjawab,
penyayang, dan pejuang merupakan idamanku sejak dulu” tak terasa ia hanyut
dalam lamunan sampai akhirnya lamunannya buyar lantaran dipanggil ibunya. “Aisyah.......Aisyah....Aisyah”
panggil ibunya. “Astaghfirullah...ternyata aku terlena dalam lamunan
orang yang belum halal untukku. Maafkan aku ya Allah”gumam hatinya. “Iya bu, Aisyah
sedang di samping kolam. Ibu tidak usah kesini, biar Aisyah saja yang ke situ”.
“Baik nak, kamu kesini sebantar ibu ada perlu”. “Iya bu saya ke situ sekarang”
jawab Aisya disertai senyum khasnya yang beriring lesung pipi.
“Aisyah, tolong kamu pergi ke dapur
membantu bibi. Ibu mau pergi ke pasar untuk membelikan bumbu-bumbu dan
keperluan-keperluan lain yang belum lengkap untuk acara lamaran nanti sore”
pinta ibunya. “Iya bu dengan senang hati akan saya bantu bibi di dapur” jawab
Aisyah. Sejurus kemudian, dengan lekas ia pergi ke dapur membantu bibi Salimah.
Bibi Salimah adalah pembantu rumah yang sudah Aisyah anggap seperti bibinya sendiri.
Bibi Salimah mulai bekerja sejak Aisyah baru dilahirkan yaitu sekitar duapuluh
tahun silam. Keduanya begitu akrab. Bibi Salimah sangat tau betul karakter
Aisyah. Bahkan ketika Aisyah lagi bersedih, ia selalu dijadikan sebagai
tumpahan curhatnya. Bagi bibi Salimah, Aisyah sudah seperti anaknya sendiri, ia
begitu menyayanginya. Ini sangat beralasan, bertahun-tahun ia belum dikaruniai
anak, Aisyah ba` anaknya sendiri. “Assalamu`alaikum bi” sapa Aisyah dengan
senyum merekah pada bibi Salimah. “Eh, Chacha - panggilan khas Aisyah - , sini
nak bantu bibi. Tak terasa ya sekarang usiamu sudah genap duapuluh tahun. Tapi bagi
bibi kamu masih imut-imut dan masih lucu seperti waktu kecil dulu, hehehe. Ingat
ga ketika kamu dulu ngambek gara-gara ndak dibelikan boneka sama ayahmu? Kamu mendatangi
bibi sambil memohon dan memelas dengan bahasa yang belum begitu jelas agar bibi
bisa membujuk ayahmu. Karena bibi berhasil membujuk ayahmu, akhirnya kamu
menjuluki bibi sebagai “bibi peri” hehehe, ingat itu kamu sangat lucu sekali
dan manja” ucap bibi Salimah mengingatkan. “Hehe...ah bibi, kalau aku ingat itu
jadi malu rasanya. Sekarang `kan Chacha sudah tumbuh dewasa. Lihat Chacha
sekarang sudah lebih tinggi dari bibi. Menurut bibi Chcaha masih manja ya?”. “Hehehe,
Cha, gayamu masih seperti yang dulu. Kamu tambah cantik dan manis, seperti anak
peri di tv tv. Cuma kamu masih terlihat manja. Tak terasa ya, nanti sore kamu
akan dikhitbah(dilamar). Jujur bibi sebenarnya belum siap ditinggal kamu”. “Bi,
jangan gitu dong, Chacha jadi terharu. Nanti Chacha janji, insyaallah akan
selalu saya sempatkan berkunjung kerumah sebulan sekali”. “Baik nak, bibi pegang
janjimu. Ayo sini cepat bantu bibi bikin kue”. “Siap bibi peri, anak peri akan
mengerahkan segenap bantuannya, hehehe” sahut Chacha.
********
Wajah Sabrina terlihat sayu. Tatapannya
kosong. Matanya berkaca-kaca. Beberapa hari yang lalu ia terlihat begitu
gembira meluap asa ketika tahu kalau akan dilamar oleh Aji, anak sahabat
papanya yang lulusan universitas Madinah. Namun sekarang ia bersedih. Harapan
pernikahannya seolah buyar seketika. Baru saja ia mendapat kabar tak baik dari
mamanya. Keluarga Bapak Yuda Karisma, tadi pagi ke rumah. Intinya, mereka
memohon maaf sebesar-besarnya kalau ternyata lamaran tidak jadi. Mereka juga
merasa sangat bersalah dengan keputusan yang mendadak ini. Mereka mengira, dulu
ketika Sabrina ditawarkan ke Aji, mereka anggap Aji setuju lantaran tak
berkomentar apa-apa melainkan senyuman. Kemarin baru mereka tahu kalau Aji
sudah punya calon yang akan dilamar. Aji memang pada waktu itu dirundung
bingung. Ia sudah terlanjur berjanji ke Shinta untuk melamar Aisyah, di sisi
lain ia juga seolah mengiyakan tawaran ayahnya. Sehingga ia berada pada posisi
sulit, meskipun memang menurut penuturan Aji keduanya merupakan wanita idaman
Aji. Namun bagaimanapun juga Aji harus tetap memilih. Dalam istikharahnya kemarin,
Aji diberi tanda-tanda melalui mimpi bahwa yang nampak ialah gadis berjilbab
pembawa al-Qur`an. Akhirnya ia mantap kalau yang dimaksud adalah Aisyah, karena
Aisyah lah yang memang hafal al-Qur`an. Mama Sabrina pun menyadari dan tak
memaksakan kehendak. Bagaimanapun juga jodoh sudah ditentukan sama Yang Di
Atas. Manusia hanya bisa berusaha, sedang takdir berada di tangan Tuhan. Ketika
berita itu disampaikan pada Sabrina, karuan aja ia langsung sedih.
Beberapa
hari kemarin sewaktu ia mendengar profil dan fhoto Aji, ia seolah jatuh cinta
pada pandangan pertama. Ia sangat mengidamkan sosok laki-laki shalih yang mempu
mengayomi dan menjaga dirinya. Hati kecilnya begitu yakin, bahwa sosok
impiannya berada pada pribadi Aji. Melihat anaknya yang dirundung gulana,
dengan sigap ibunya menasehati: “Nak, jangan terlalu larut dalam kesedihan. Jodoh
itu berada di tangan Tuhan. Kamu tentunya masih ingat kata-kata papa yang
disadur dari al-Qur`an. ‘Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik
bagimu; boleh jadi kamu mencintai sesuatu padahal itu buruk bagimu’. Mungkin
kamu benci dengan keputusan Aji, ibu juga menyadarinya, tapi kamu perlu ingat,
barangkali di balik kebencianmu, Allah akan menyiapkan calon imam yang lebih
baik daripada Aji, untukmu, tentunya jika kamu mampu melewati semua ini dengan
sabar dan hanya berharap padanya” nasihat mamanya mendinginkan suasana hati. Lambat
laun Sabrina sadar juga. Ia tak boleh larut dalam kesedihan. Buat apa bersedih
terhadap sesuatu yang tak mungkin diraih. Ia harus tetap optimis. “Terima kasih
ma. Mama selalu pandai dari dulu dalam mendamaikan hatiku” tukas Sabrina. “Sekarang
tenangkan dirimu. Perbanyak memohon pada-Nya. Tenang aja mama punya sahabat,
yang anaknya tak kalah baik dengan Aji meskipun bukan lulusan Arab. Kapan-kapan
kalau kondisi hatimu sudah benar-benar membaik, nanti akan mama kenalkan. Ingatnya
ya nak, sekaran kamu jangan sedih lagi. Fokuslah pada pekerjaanmu. Yang lalu
biarlah berlalu. Tataplah masa depan yang cemerlan” pungkas mama Sabrina.
*******
Di kediaman Aisyah, ba`da ashar
persiapan sudah sempurna. Meski tak terlalu mewah, tetapi suguhan yang
disajikan juga tak murah. Semua keluarga diundang untuk menyambut kedatangan
tamu agung. Sebentar lagi, putri meraka akan dilamar oleh laki-laki shalih
lulusan Madinah. Buraian senyum menghiasi bibir mereka. Kebahagian terlihat
jelas dari muka mereka. Hati Aisyah berdegup kencang, ia larut dalam
bayang-bayang cinta yang sebentar lagi datang. Bagai di alam mimpi, ia
mencubit-cubit pipinya, seakan tak percaya kalau sebentar lagi ia akan dilamar
oleh calon imam yang ia cintai. Ia berdo`a dala hati: “Ya Allah Ya Rahman Ya
Rahim, tautkanlah hati-hati kami dengan ikatan cinta sejati. Cinta yang dibina
karena cinta kepada-Mu. Cinta yang dibangun berdasarkan ketaatan pada-Mu. Cinta
yang tak kan lekang oleh waktu. Anugerahkan kami cinta sejati, yang selalu membuat
kami sadar akan cinta-Mu”.
Jam menunjukkan pukul 16.00 Wib.
Rombongan yang ditunggu-tunggu sedari tadi akhirnya datang juga. Beberapa sanak
keluarga yang ditugasi menyambut kedatangan rombongan keluarga Aji sudah siap
menyambutnya dengan suka-cita. Anak-anak kecil juga tak kalah semangat untuk
turut menyalami para tamu yang baru datang. Sambutan sore ini dari keluarga
Aisyah begitu hangat dan bersahabat. Diajaklah keluarga Aji memasuki rumah
Aisyah. “Assalamu`alaikum” rombongan bapak Yuda Karisma mulai menyapa keluarga
Aisyah dengan senyuman. Keluarga Aisyah pun berdiri menyambut keluarga bapak
Yuda Karisma. Ketika dua keluarga besar sama-sama bertatap muka, sesuatu yang
tak diinginkan pun terjadi. Dengan tanpa bisa mengontrol diri, ibu Aisyah yang
bernama Marta Anjani Mustika langsung menampar wajah bapak Yuda Karisma. Kegaduhan
pun terjadi. Orang-orang pada bingung bertanya-tanya dalam hati. “Oh, ternyata
kamu di sini. Akhirnya Allah mempertemukan kita juga. Masih tidak puaskah kau
membohongiku seperti dulu. Tidak, aku tak mau tertipu untuk yang kedua kalinya.
Kita batalkan saja lamaran ini. Aku tak mau mendapat besan penipu” ungkap Marta
dengan luapan amarah.
Dengan segera ayah Aisyah, Hamdani
Syahbani menenenangkan istrinya. “Bu, kendalikan emosimu. Malu banyak orang di
sini. Memangnya ada apa kok kamu tiba-tiba bersikap seperti itu? Tanya Hamdani
keheranan. “ Ayah, kamu masih ingat kan ceritaku dulu sebelum aku menjadi
istrimu? Aku dulu pernah dijanjikan oleh seorang laki-laki -yang aku cintai-
untuk dinikahi. Ia sudah datang melamarku. Ia berjanji menikahiku. Lalu pas
acara pernikahan, tiba-tiba ia tak datang dengan alasan yang sampai sekarang
aku tak tahu. Keluargaku dibikin malu dengan peristiwa itu. Hatiku seakan remuk
berkeping-keping saat itu. Itulah laki-laki yang aku ceritakan dulu padamu,
Mahesa Muhammad. Meskipun namanya diganti Yuda Karisma, tapi aku tak akan lupa
dengan ciri bekas luka yang ada di dagunya. Sudah kita batalkan aja, ga ada
acara lamaran hari ini” dengan penuh emosi yang belum juga redam ibu Aisyah
membuat suasana sore hari itu semakin gaduh.
Ibu Aji, Sekar Ayu Wulandari merasa
tidak terima dengan kejadian ini. Dengan segera ia menarik tangan suaminya dan
mengajak rombongan Aji beserta keluarga pulang segera. Ia berkata pada Aji: “Ini
yang kamu bilang keluarga agamis dan taat beragama? Beginakah cara orang yang
taat beragama menyambut tamu? Begitukah Islam mengajarkan? Aku sudah lama tahu
cerita tentang Marta dari ayahmu, tapi aku menyadari kekhilafannya. Tapi yang
tidak bisa aku terima, kenapa masalah ini diselesaikan dengan cara yang tak
begitu sopan seperti ini. Mengapa ayahmu tak diberi kesempatan untuk
menjelaskan? Martabatku sebagai manusia seolah-olah diinjak oleh Marta
gara-gara perilakunya tadi. Ayo kita pulang ga usah ada lamaran. Aku tak sudi
menjadi besannya” ungkap Sekar sambil marah. Batallah lamaran pada sore hari
itu. Suasana yang sebelumnya hangat dan penuh bahagia, tiba-tiba berubah
menjadi dingin dan penuh amarah. Sebenarnya ayah Aisyah berusaha menahan
keluarga Aji untuk membicarakan masalah ini dengan baik, tapi seperti pepatah:
ibarat nasi sudah menjadi bubur. Segala upaya menjadi percuma. Akhirnya
keluarga Aji pulang dengan tangan hampa.
*******
Malam hari Aisyah mengurung diri di
kamar bibi Salimah. Ia sangat sedih bukan main. Hatinya dipenuhi rasa malu,
sedih, marah, resah yang begitu besar. Ia tak percaya, kalau ternyata hari
kebahagiaan yang dimimpikan hanya seperti fatamorgana di padang pasir. Cinta
yang bersemi dalam hatinya seakan gugur layu dihempas prahara. Cintanya diterpa
prahara. Hati dan pikirannya serasa sakit tak terhingga. “Bi, kenapa aku diuji
dengan ujian seberat ini? Setahuku ibu adalah sosok yang sangat ramah,
berakhlak mulia, dan selama ini belum pernah aku melihatnya seperti ini. Seberat-berat
masalah, aku tak pernah melihat dia kehilangan kontrol. Kalaupun itu berkaitan
dengan masa lalunya yang kelam, kenapa dikait-kaitkan dengan anak. Bukankah tak
ada manusia yang tak pernah salah? Kenapa ibu tak memaafkannya” tanya Aisyah
sesenggukan. “Nak, kamu harus memahami ibumu. Luka yang dialami ibumu dulu
memang begitu dalam. Ia pernah dikhianati oleh seorang yang ia cintai. Tanpa
dinyana sama sekali, ternyata orang yang mengkhianati cintanya adalah bapaknya
Aji. Kalau saja ibumu tahu kalau bapaknya Aji itu adalah Mahesa Muhammad, pasti
sejak awal tidak akan direstui” jawab bibi Salimah.
********
Di kamar atas tempat istirahat ayah
dan ibu Aisyah suasananya lenggang. Tak seperti biasanya kondisinya begitu sunyi. Marta masih terlihat
bermuram durja. Perlahan-lahan, suaminya pun berusaha menenangkan hatinya. “Dik,
aku tahu kamu pernah mengalami masa-masa pahit dengan Mahesa. Aku pun kalau
jadi kamu juga akan marah sejadi-jadinya kalau diperlakukan seperti itu. Tapi
kamu harus ingat, Islam selalu mengajarkan untuk memaafkan kesalahan orang. Allah
saya Maha Pemaaf. Kenapa kita sebagai manusia tak bisa memaafkan kesalahan
orang lain. Kenapa kamu tidak memberinya kesempatan untuk menjelaskan? Ayolah dik,
bukalah hatimu. Kamu apa tidak kasihan dengan Aisyah. Secara sadar atau tidak
kita telah menghancurkan kebahagiannya. Bagaimanapun juga, anak `kan tidak
ikut-ikut dengan kesalahan ayahnya. Aku lihat Aji adalah anak yang berbakti dan
shalih. Keduanya pun juga saling mencintai. Kamu masih ingat `kan hadits
Rasulullah yang berbunyi: ‘Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang
kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan
terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar’?. Kalau kita salah
mengambil keputusan, maka dampak negatif akan menimpa putri kita. Menurut
saranku, kamu selesaikan masalahmu dengan ayahnya Aji dengan baik-baik, nanti
aku temani. Kemudian lamaran anak, kita teruskan lagi” saran Hamdani Syahbani. “Iya
mas, sebenarnya aku juga sangat menyesal melakukan perbuatan tadi. Setan
menguasai diriku, aku merasa diperbudak nafsu dan amarah. Besok kita segara
menyelesaikan masalah ini. Kita pergi ke rumah Aji Kurniawan” balas Marta
dengan penuh kesungguhan. “Baiklah. Sekarang kita istirahat dulu” ajak Hamdani.
********
Kondisi di rumah Aji pun tak kalah suram.
Perasaan malu, kecewa, mangkel, marah bercampuraduk jadi satu. Ia tak pernah
mengira hubungannya akan berakhir menjadi seperti itu. Sempat terlintas dalam
benaknya pertanyaan: “apakah tanda yang diberikan Allah lewat mimpi itu salah,
apau aku yang salah memahaminya?”. Di ruang tamu mereka berkumpul membicarakan
masalah yang terjadi dengan sisa-sisa amarah. “Pokoknya aku tidak setuju mas.
Aku tau sampean itu memang pernah melakukan salah. Mas juga pernah
menjelaskannya panjang lebar kepadaku. Dan aku sudah memakluminya.
Bertahun-tahun aku juga melihat kesungguhanmu mencari Marta untuk minta maaf,
tapi tak juga bisa ditemukan. Ternyata tanpa dinyana kita dipertemukan
dengannya dalam momen seperti ini. Kamu tak sempat menjelaskan, malah
dipermalukan di depan umum seperti itu. Benar-benar bukan akhlak islami.
Sebagai wanita aku sudah tak mau meneruskan hubungan anak kita dengan Aisyah”
ungkap Sekar. “Tolong tenangkan hatimu, apapun pendapatmu aku setuju. Tapi
urusan pribadiku harus tetap diselesaikan dengan cara sebaik-baiknya. Untuk
Aji, aku pikir kamu sudah dewas dan bisa menentukan sikap. Kamu jangan putus
asa karena putus cinta. Barangkali Aisyah bukan jodohmu. Kalau kamu mau nanti
aku sama ibu ke rumah Sabrina memintanya untuk menjadi istrimu” balas Yuda
Karisma. “Kepada-Nya lah aku berserah yah. Begitu berat cobaan yang menimpaku. Berkali-kali
aku gagal menjalin hubungan. Semoga setelah ini, aku dipertemukan dengan
kekasih yang benar-benar sejati” tanggapan Aji menimpali ayahnya.
*******
Kabar gagalnya lamaran Aji lambat
laun terdengar oleh keluarga Sabrina. Namun apa daya, ternyata Sabrina sudah
menerima lamaran Muhammad Syahdu Al-Hiqni, anak sahabat mamanya yang berkerja
sebagai pengacara profesional. Ingin rasanya Sabrina kembali menerima Aji,
namun janji sudah kadung dibuat dengan Syahdu. Ibunya pun sudah bilang
ke keluarga bapak Yuda, bahwa tak mungkin Sabrina menerima tawaran Aji
Kurniawan, karena Sabrina sudah dilamar orang. Cinta Aji pun ditimpa prahara.
Benih-benih harapan yang selama ini tumbuh, semakin melayu. Ia serba bingung.
Kalau kembali ke Aisyah, ibunya pasti tak setuju.Sabrina pun sudah dilamar
orang. Beberapa hari ia merenung tepekur. Berusaha mendekatkan diri dengan
Tuhan. Berserah dan meminta kepada-Nya, barangkali selama ini ada yang salah
dengan dirinya. Hampir-hampir ia putus asa dengan yang namanya cinta. Hanya
saja, keimanan tak pernah mengijinkan seorang mukmin putus asa. Ia ingat betul
bahwa hanya orang-orang yang tak beragama yang putus asa dengan rahmat Tuhan. Bagaimanapun
juga ia harus tetap bertahan. Mengaduh hanya kepada-Nya. Allah pasti akan
mempertemukan jodoh untuknya. Peristiwa ini ia torehkan dalam bait-bait puisi:
Ketika hati sudah yakin
Bahwa cinta kan terjalin
Tak dinyana
Cinta ditimpa prahara
Hati kaya menjadi miskin
Jalan mudah menjadi labirin
Apa benar cinta
Jika berakhir duka
Tapi iman membuatku yakin
Bahwa Tuhan kan prihatin
Pada hamba yang tak putus
asa
Yang hanya pada-Nya ia
meminta
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !