Home » » Membaca Sejarah Berdasarkan Paradigma “Kisah Al-Qur`an”

Membaca Sejarah Berdasarkan Paradigma “Kisah Al-Qur`an”

Written By Amoe Hirata on Rabu, 28 Mei 2014 | 21.22

     Sejarah senantiasa menjadi perbincangan menarik di sepanjang kehidupan manusia. Menarik karena pada dasarnya sejarah merupakan cermin dari peristiwa yang telah, sedang dan akan terjadi. Namun jika dilihat dari realita yang ada, sejarah bisa menjadi tidak menarik lantaran disajikan dengan metode yang menjemukan dan tidak edukatif. Sejarah menjemukan karena dipandang hanya berisi rekaman peristiwa masa lalu, yang dipenuhi deretan nama, angka, tahun dan misteri-misteri yang tak pernah terjawab. Tidak edukatif karena sejarah hanya dijadikan hiburan dan rekaman sunyi orang-orang yang telah tiada sehingga tak berimbas sedikitpun pada  kehidupan nyata dan tak bernilai mendidik.
            Melihat realita demikian, penulis merasa tergugah untuk mengkaji dan mengaji sejarah melalui “kisah al-Qur`an”. Melalui “kisah al-Qur`an” karena kisah al-Qur`an memiliki keistimewaan tersendiri dibanding dengan kisah-kisah yang lain. Diantara keistimewaannya ialah bahwa kisah yang disajikan adalah kisah nyata, sarat akan pelajaran, sekaligus tak menafikan estetika. Jadi, kisah al-Qur`an disamping bernilai fakta, sekaligus bernilai pelajaran dan estetika. Berangkat dari pemahaman tersebut, sekali lagi penulis merasa perlu untuk menggunakan paradigma al-Qur`an dalam menganalisa sejarah.
            Untuk mengungkap cerita, al-Qur`an menggunakan istilah, ‘Qisshoh/Qhoshos’ yang secara bahasa berarti: tatabbu`ul atsar(mengikuti jejak, menapaktilas). Jadi dari pemilihan kata saja kita bisa mengambil makna bahwa sejatinya apa yang diceritakan al-Qur`an itu bukan utuk sekadar dijadikan bacaan, hiburan tetapi untuk ditapaktilasi. Dengan mengetahui jejak-jejak kisah itu kita bisa mengambil pelajaran, hikmah dan pencerahan. Demikian juga ketika kita mau membaca sejarah pada umumnya, kita membacanya bukan untuk sekadar memenuhi hobi atau menghibur diri saja tapi berusaha menapaktilas jejak-jejak orang yang berhasil dan yang gagal, sehingga bacaan kita lebih bermanfaat dan bermakna.
            Analogi “mengikuti jejak” bisa kita kembangkan pada analisa yang lebih jauh dan rinci. Ada beberapa unsur yang perlu diurai. Pertama ada yang namanya jejak. Kedua ada yang namanya pembuat jejak. Ketiga ada yang namanya pengikut jejak. Keempat ada yang namanya arah jejak. Kelima: ada yang namanya tujuan mengikuti jejak. Kalau kita mengkaji sejara melalui perspektif al-Qur`an, maka kita harus memiliki kelima unsur tadi. Jejak atau peristiwaya beserta pembuat jejaknya benar-benar ada(ini berkaitan dengan faktualitas sejarah); arah jejaknya sudah pasti ke depan(jadi belajar sejarah untuk mengantisipasi masa depan); pengikut jejaknya ialah pembaca sejarah; tujuan mengikuti jejak ialah untuk menggali pelajaran-pelajaran berharga dari pembuat jejak untuk diaplikasan sebagai upaya antisipatif menghadapi masa kini dan masa depan. Dengan melibatkan lima unsur ini, maka bacaan kita terhadap sejarah akan lebih bermanfaat dan mencerahkan.
            Kisah dalam al-Qur`an selalu mengandung `ibrah(pelajaran) sebagaimana yang tercantum dalam surat Yusuf ayat 111. Jadi dalam membaca sejarah harus didasari dengan kesadaran untuk mengambil pelajaran dari sejarah yang sedang dibaca. “Pelajaran” adalah kata kunci untuk membaca sejarah. Kata, ‘ibrah’ sendiri secara bahasa memiliki arti melewati, melampaui, memasuki, menembus, pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Jadi dengan membaca sejarah seolah-olah kita sedang melewati, melampaui, memasuki, menembus, pindah dari suatu tempat ke tempat lain membaca realitas sejarah untuk kemudian diambil pelajaran-pelajaran darinya. Secara ringkas bisa diungkapkan dengan kata: mempelajari realitas untuk melahirkan produk abstrak berupa pelajaran.
Menurut al-Qur`an, yang bisa mengambil pelajaran dari kisah-kisah ialah hanya orang-orang yang mau menggunakan akal pikirannya. Al-Qur`an menyebutnya dengan istilah ulil albab(orang-orang yang punya akal). Karena itulah di ayat yang lain ditegaskan bahwa kisah merupakan media untuk berfikir(Qs. Al-A`raf: 176). Tanpa dipikirkan, tanpa direnungi, hingga mendapat pelajaran dari kisah maka membaca sejarah hanya sia-sia belaka. Di sini kita menemukan benang merahnya kenapa sepertiga al-Qur`an isinya ialah kisah-kisah, ini menggambarkan tentang urgensi kisah. Karana itulah, hanya orang-orang yang mau mengaktifkan dan mendayagunakan akal-pikirannya yang mampu mengupas pelajaran-pelajaran berharga darinya. Orang yang belajar sejarah tanpa mengambil pelajaran darinya bagaikan pohon yang tak berbuah.
Membaca kisah tak selalunya berarti membaca dalam pengertian tersurat yaitu melalui membaca teks-teks tertulis. Menurut al-Qur`an metode lain untuk membaca kisah ialah dengan cara melakukan perjalanan tafakkur di muka bumi (perjalanan yang disertai analisa dan penelitian). Seperti yang tercantum dalam surat Ali Imran: 137; Al-An`am: 11; An-Nahl: 36; An-Naml: 69; Al-`Ankabut: 20; Ar-Rum: 42. Ini artinya untuk membaca sejarah tak selalu harus dengan yang tersurat tapi dengan yang tersirat dengan cara melakukan penjelajahan-penjelajahan, penelitian-penelitian secara langsung melihat lokasi kejadian-kejadian besar peninggalan sejarah di muka bumi untuk diambil pelajaran. Al-Qur`an menyebutnya dengan istilah: as-Sairu ma`a an-nadhar(perjalanan yang disertia kegiatan pengamatan dan pemikiran) untuk mengetahui `aaqibah(akibat, dampak, pelajaran) dari sejarah yang sedang dikaji. Dengan demikian membaca sejarah tak boleh merasa cukup dengan membaca yang tersurat melalui teks-teks buku sejarah tetapi harus didukung dengan penjelajahan-penjelajahan sejarah analitis. Hal ini sangat penting mengingat sejarah ditulis oleh para pemenang, karena itulah untuk mengetahu kebenarannya perlu diadakan penelitian.
Walaupun al-Qur`an berbicara mengenai cerita-cerita, namun al-Qur`an bukanlah kitab sejarah. Al-Qur`an tidak menceritakan kisah-kisah secara kronologis, lengkap dan detail. Hanya satu surat yang berisi kisah yang utuh yaitu surat Yusuf, adapun yang lainnya terpencar-pencar diberbagai surat al-Qur`an. Yang dipotret al-Qur`an dari sejarah ialah kisah-kisah penting yang sarat akan pelajaran baik itu berupa kisah para Nabi dan Rasul maupun kisah-kisah lain yang berkaitan dengan masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan detang. Pelajaran penting yang dapat diambil dari sini ialah bahwa ketika membaca sejarah tidak harus menguasai, mengahafal detail-detail peristiwa dan nama orang, tapi yang menjadi subtansi ialah rangkaian pelajaran yang terkandung di dalamnya. Yang kita baca ialah hal-hal yang penting dan fundamental untuk dijadikan sebagai pelajaran.
            Yang dapat disimpulkan dari analisa tadi ialah bahwa membaca sejarah berdasarkan paradigma al-Qur`an meliputi poin-poin berikut: 1. Tidak terfokus pada detail peristiwa. 2. Dibaca dengan kesadaran untuk mengambil pelajaran. 3. Dibaca melalui buku dan penelitian secara langsung. 4. Dibaca dengan mendayagunakan potensi akal-pikiran secara optimal. 5. Pelajaran diambil dari kisah  nyata.  6. Pelajaran yang didapat ialah sebagai upaya antisipatif untuk diikuti jika baik dan untuk dijauhi jika jelek. Dengan demikian, membaca sejarah dengan metode “kisah al-Qur`an” akan lebih bermanfaat dan menghibur daripada sekadar menguasai nama-nama dan peristiwa tanpa berusaha mengerti dan memikirkan pelajaran yang terkandung di dalamnya. Membaca sejarah dengan metode demikian akan menjadikan sejarah lebih hidup dan menggairahkan, karena seolah-olah sejarah adalah masa lalu, masa sekarang dan masa depan kita. Orang yang belajar sejarah adalah orang yang bisa memandang masa depannya. Sejarah kembali terulang. Hanya orang yang mau mengambil pelajaran darinya yang akan sukses.

Sabtu, 14 Desember 2013 
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan