Home » » Hulu Hilir Lebaran

Hulu Hilir Lebaran

Written By Amoe Hirata on Rabu, 28 Mei 2014 | 21.11


            Secara linguistik bisa dikatakan bahwa akar kata ‘lebaran’ memang tidak ada dalam bahasa Indonesia. Kata ‘lebaran’ secara khusus memang dicantumkan di Kamus Besar Bahasa Indonesia, namun tanpa menyebut akar kata. Ada yang berpandangan bahwa kata ‘lebaran’ berasal dari akar bahasa Jawa ‘lebar’ yang artinya habis. Mengapa lebaran dikatakan habis? Karena perayaan hari raya terjadi setelah habis puasa Ramadhan yang ditandai pergantian bulan menuju 1 Syawal.

Ada juga yang berpendapat bahwa kata ‘lebaran’ sangat dipengaruhi oleh tradisi Hindu. Terlepas dari benar tidaknya akar kebahasaan kata ‘lebaran’, yang lebih urgen atau penting ialah bagaimana kita mengambil makna dari lebaran. Bagaimana kita bisa memaknai dan menggali spirit lebaran yang dibahasakan oleh agama sebagai ‘`Iidun’(hari raya).

`Iid sendiri berarti: kembali. Dalam Islam ada beberapa hari raya besar yang secara legal diperkenankan yaitu: Fithri, Adha dan Jum`at. Dengan pengertian yang sederhana, `iidul fithri berarti kembali ke fitrah (tauhid). Sedangkan `iidul adha berarti: kembali berkorban. Adapun Jum`at merupakan tempat berkumpulnya orang muslim setiap pekan yang mana dikatakan oleh Nabi sebagai Hari Raya juga.

Budaya merayakan Hari Besar Islam ini memang begitu menarik perhatian. Di seluruh dunia, penduduk yang beragama Islam memiliki budaya yang beranekaragam dalam merayakannya. Di Indonesia ada budaya mudik sebelum lebaran. Sebagai gambaran betapa pada akhirnya orang merasa harus kembali ke udik (hulu; tempat asalnya) untuk saling bersilaturrahmi, saling meminta maaf dan temu kangen dengan kampung halaman serta keluarga yang membesarkannya.

Bila ditarik benang merahnya dengan nilai sakral agama, konsep mudik ini mirip dengan penggalan ayat: inna lillahi wa inna ilaihi rooji`un (sesungguhnya kita kepunyaan Allah dan hanya kepadanyalah akan kembali). Bagaimana pun juga manusia akan kembali pada Sang Pencipta. Orang Indonesia membahasakan konsep inna lillahi wa inna ilaihi roji`un kedalam tradisi budaya mudik untuk mendapatkan fitri hakiki. Mereka sadar bahwa sebesar apa pun capaian pada masa ini, pada dasarnya ia mulai dari titik tempat tinggal semula.

            Untuk memaknai lebaran ada baiknya digunakan pendekatan metaforis berupa: hulu-hilir sungai. Kalau manusia muslim dimetaforkan sebagai sungai yang mengalir dari hulu ke hilir hingga muara sampai laut, maka mengalir adalah proses dinamis untuk menuju muara kejernihan. Ibaratnya puasa ialah kemampuan bertahan untuk tetap mengalir.

Dalam proses mengalir ini banyak sekali hambatan-hambatannya. Betapapun hambatan ini begitu besar, asalkan kesadaran mengalir tetap bertahan, maka peluang untuk menjernihkan diri sangatlah terbuka lebar.

Hambatan aliran bisa berupa kotoran, sampah, pencemaran lingkungan dan lain sebagainya yang mengontaminasi kejernihan sungai dan menahan arus air di tengah proses mengalirnya. Sungai yang tak mengalir dan tak berproses menuju hilir adalah sungai yang tak mampu meraih kejernihan. Sungai yang tak mengalir menimbulkan dampak negatif berupa: bau, berubah warna dan tak bisa dikonsumsi bahkan tidak layak untuk menjadi sumber kehidupan. Kata kuncinya ialah bertahan mengalir.

Manusia muslim yang mau berproses sedemikian rupa untuk tetap mengalir melalui hulu-hilir Ramadhan adalah manusia yang punya tekad kuat untuk berubah menuju manusia fitri. Setelah proses panjang menjalani kehidupan yang tak luput dari berbagai kesalahan dan dosa, ia tidak mandeg sampai di situ, kesadaran yang begitu mengakar dalam jiwa, melalui instrumen taubat ia berupaya untuk menjernihkan kembali jiwa dan raganya.

Memang kesadaran ‘bertahan mengalir’ ini jarang dimiliki oleh kebanyakan manusia muslim. Dalam proses mengalir ini banyak manusia muslim berhenti di tengah jalan karena terlena oleh hal-hal wadag yang membuatnya jumud. Kebanyakan manusia muslim sangat tertaut dengan bujukan-bujukan duniawi. Sekilas memang terasa menggiurkan dan melenakan, namun dengan tidak mengalir maka ia sedang merencanakan proses bunuh diri. Artinya jika orientasi manusia muslim hanya berhenti sampai dunia saja maka ini akan memasung perjalanannya menuju akhirat.

Maka lebaran ialah ketika air sungai mampu menjalani proses mengalirnya menuju muara hingga lautan. Dalam bahasa lain jika puasa hanya sekadar menahan lapar dan haus tetapi tidak menumbuhkan kesadaran hakiki untuk tetap mengontrol dan tau batas maka puasa hanya bernilai superfisial dan dan sangat rendah.
Di lautlah yang paling pas menggambarkan suasana hari raya. Mengapa demikian? Karena laut merupakan tempat berkumpulnya air-air yang mengalir dari berbagai macam sungai. Dan di laut pula terjadi proses ‘penguapan’. Penguapan ini pada gilirannya akan menjadi awan kemudian sampai terjadi proses turunnya hujan.

Air hujan ini pada gilirannya akan turun ke bumi dan diserap sedemikian rupa kemudian menjadi sumber mata air jernih yang kemudian mengalir kembali dari hulu ke hilir. Manusia muslim yang sukses dan berhak merayakan Idul Fitri adalah manusia yang mempunyai kesadaran tahan mengalir menuju kejernihan rohani  di tengah banyaknya godaan yang membuatnya merasa puas berupa dunia. Puasa mengajarkan pada manusia untuk mempunyai ketahanan sedimikian rupa untuk tetap mengalir meski dalam proses mengalir banyak sekali aral merintang.

Dengan terus mengalir sampai muara inilah nantinya manusia muslim bisa menemukan kata ‘penguapan’ yang membantu proses penjernian air hingga kembali ke bumi menjadi sumber mata air. Penguapan ini bisa berupa mendapatkan ‘lailatul qadar’ (malam kemuliaan) yang lebih baik dari seribu bulan atau bisa juga diampuni dosa-dosanya oleh Allah subhanahu wata`ala sehingga ia menjadi muslim yang fitri sebagaimana fitrah bayi yang baru dilahirkan yang tak terkontaminasi dengan apapun dan masih mempunyai tauhid yang benar kepada Tuhannya.

Tentu saja dalam proses mengalir menuju kejernihan ini tidak lepas dari peran Allah Yang Maha Membimbing. Manusia muslim yang tidak mau bertahan mengalir (puasa) sebagaimana yang diwajibkan Allah, sangatlah tidak pantas untuk berlebaran. Bagaimana berlebaran wong ia tak sampai ke muara. Ia tidak tahan dengan hambatan-hambatan mengalir sehingga menjadi bau, tercemar dan tidak bisa dimanfaatkan.

Lebaran hanya layak dirayakan oleh orang-orang yang benar-benar menjalankan puasa dengan sebenar-benarnya. Layaknya sungai yang terus mengalir dari hulu ke hilir untuk meraih takdirnya menjadi mata air jernih melalui proses hujan. Masalahnya sekarang sudah pantaskah kita merayakan lebaran? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing.

By: Amoe Hirata(Mahmud Budi Setiawan).
Sumengko, Ahad, 28 Juli 2013

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan