Menurut
KBBI(Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata “budaya” berarti: Pikiran; akal budi,
adat istiadat, sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang, sesuatu yang
sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah. Sedangkan kata “instan”
berarti: Langsung(tanpa dimasak lama) dapat diminum atau dimakan. Sedangkan
kata “kualitas” berarti: Tingkat baik buruknya sesuatu; kadar, derajat,
taraf. Adapun kata “karbidan” berarti:
Hasil mengarbida, belum saatnya ditampilkan, belum tarafnya. Maksud dari judul
di atas ialah ingin menyoal suatu diskursus sosio-kultural mengenai merebaknya
tradisi masyarakat yang menginginkan sesuatu serba cepat dan langsung tanpa
melalui proses dialektika dan mekanisme yang panjang dan mendewasakan sekaligus
mematangkan. Budaya ini mempunyai konsekuensi negatif bagi tumbuh-kembangnya
suatu komunitas -dalam perjalanannya- menuju masyarakat beradab, maju dan
berbudaya tinggi. Out put dari budaya instan yang begitu menggejala
bahkan mendarah daging dalam jiwa dan raga kebanyakan masyarakat menjadikan
taraf dan kualitas kehidupannya sangat rendah bahkan cenderung dipaksakan.
Layaknya kita menggunakan karbida untuk mempercepat proses kematangan buah.
Benar buah akan matang namun hasilnya akan tak maksimal dan tak sebagus yang
benar-benar matang secara natural.
Budaya
instan sebagai suatu gejala sosial tumbuh berkembang berkat faktor eksternal
dan faktor internal. Faktor eksternal misalnya ketidaksiapan masyarakat yang
berbudaya timur menghadapi revolusi industri, modernasi science, dan
kemajuan ilmu dan teknologi yang mau tidak mau akan memasuki segenap elemen
masyarakat karena disokong oleh pola budaya yang sampai pada taraf globalisasi.
Bagi masyarakat yang memiliki kesadaran signifikan dan ketahanan budaya, tentu
mereka akan bisa menyaring dan menfilter dengan baik setiap efek buruk dari
budaya baru yang sedang memasukinya. Namun itu sama sekali tidak relevan bagi
masyarakat yang belum dewasa dan cenderung latah. Di sinilah bahayanya. Mereka
yang belum dewasa dalam arti kesiapan mental berupa filter budaya akan sangat
mudah mengimani serta mengamini tanpa reserve (syarat). Apa lagi sudah
terjerembab pada kebiasaan konsumerisme yang begitu tinggi yang dikatalisatori
oleh industri yang menyajikan produk-produk instan. Faktor kedua yang turut
berkontribusi secara masif dan berskala makro ialah kerapuhan jiwa dan nurani
akibat tergerusnya masyarakat dari keluhuran nilai budi dan kekuatan rohani.
Bisa dimetaforkan laksana fungsi kekebalan tubuh pada diri manusia. Selama
fungsi kekebalan tubuh berjalan normal, maka virus-virus yang menyerang bisa
diatasi dengan mudah; adapun jika kekebalan tubuhnya sudah melemah atau bahkan
sudah tak berfungsi maka rawan terserang penyakit dan tentu saja amat
membahayakan badan manusia. Demikian faktor eksternal-internal yang minimal
bisa menjelaskan proses terjadinya
budaya instan.
Setiap
pilihan pasti mempunyai dampak, baik itu positif maupun negatif. Demikian juga
misalnya ketika manusia memilih budaya yang diusahakan -baik sadar maupun tak
sadar- untuk menjadi tradisi. Kita mulai dari sisi positif dari budaya instan.
Sisi positifnya di antaranya dapat membuat waktu lebih efisien, meminimalisir
terjadinya pemborosan waktu, membantu terciptanya produktifitas yang tinggi,
dan yang utama bisa memenuhi kebutuhan orang secara lekas dan cepat. Adapun
sisi negatifnya ialah: manusia akan lebih memprioritaskan kuantitas daripada
kualitas, akan tercerabut darinya salah satu sifat yang penting berupa
kesabaran, ketahanan terhadap proses-proses menghasilkan sesuatu secara
maksimal dan optimal semakin melemah, kesadaran akan mutu akan semakin memudar,
terlalu menyederhanakan sesuatu, melemahnya daya kritis, kehilangan ketajaman
intuisi dalam menilai berharga tidaknya sesuatu, atau maaf- meminjam istilah
seksologi- terkena ‘ejakulasi kepuasan hasil dini’, dan masih banyak lagi yang
lainya. Dari paparan itu minimal kita bisa menakar, menimbang dengan akurasi
penilaian yang obyektif bahwa kadar dampak negatif dari budaya instan ini lebih
banyak daripada positifnya.
Coba kita
perhatikan pada segenap media, baik cetak maupun elektronik, akan kita dapati
fenomena-fenomena seperti itu. Misalkan dalam pendidikan, kebanyakan sudah
kehilangan orientasi ideal. Pendidikan tidak berfungsi lagi sebagai suatu proses
untuk menjadikan seseorang menemukan potensi dirinya, ia sudah berubah ke ranah
pencapain hasil berupa ijazah. Akhirnya karena ingin instan banyak sekali yang
membeli ijazah-ijazah palsu karena ingin cepat-cepat mendapat keuntungan kerja
secara instan. Kita juga bisa melihat misalkan terjadi perubahan kiblat acuan
dalam menentukan kealiman seseorang. Orang alim seperti ustadz, kiai atau
muballigh begitu disimplifikasi sedemikian rupa dengan mengadakan audisi-audisi
di media. Acuannya bukan lagi kualitas ilmu yang dipunya tapi sejauh mana ia
bisa beretorika dan menghibur penonton. Demikian juga misalnya dengan
kepemimpinan. Akibat budaya intan yang sedemikan merasuki batin kebanyakan
manusia akhirnya mereka berlomba-lomba secara instan ingin menjadi pemimpin,
dengan mengajukan dan mencalonkan diri, bahkan kalau perlu dengan money
politic dan money laundry. Makanya jangan heran jika efek yang
ditimbulkan begitu negatif karena titik tolak mereka berangkat dari budaya
instan. Begitu pula kalau kita mau melihat segmen lain yang sudah diwarnai oleh
budaya instan. Politik instan, pendidikan instan, pemimpin instan, kesenian
instan, makan minum instan, media instan, produk instan dan semua serba instan.
Kearifan dan kebijakan akan mengantarkan kita pada suatu pelajaran dan
pembelajaran penting bahwa benar memang di satu sisi kita ingin lekas dan cepat
namun untuk meraih hasil yang berkualitas kita harus membudayakan proses yang
mengarah pada mutu yang baik. Butuh kesabaran, butuh keuletan dan butuh
ketlatenan masif dan komunal. Saya masih optimis dan yakin bahwa kita: BISA.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !