Home » » Budaya Instan, Kualitas Karbidan

Budaya Instan, Kualitas Karbidan

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 03 Mei 2014 | 03.55


            Menurut KBBI(Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata “budaya” berarti: Pikiran; akal budi, adat istiadat, sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah. Sedangkan kata “instan” berarti: Langsung(tanpa dimasak lama) dapat diminum atau dimakan. Sedangkan kata “kualitas” berarti: Tingkat baik buruknya sesuatu; kadar, derajat, taraf.  Adapun kata “karbidan” berarti: Hasil mengarbida, belum saatnya ditampilkan, belum tarafnya. Maksud dari judul di atas ialah ingin menyoal suatu diskursus sosio-kultural mengenai merebaknya tradisi masyarakat yang menginginkan sesuatu serba cepat dan langsung tanpa melalui proses dialektika dan mekanisme yang panjang dan mendewasakan sekaligus mematangkan. Budaya ini mempunyai konsekuensi negatif bagi tumbuh-kembangnya suatu komunitas -dalam perjalanannya- menuju masyarakat beradab, maju dan berbudaya tinggi. Out put dari budaya instan yang begitu menggejala bahkan mendarah daging dalam jiwa dan raga kebanyakan masyarakat menjadikan taraf dan kualitas kehidupannya sangat rendah bahkan cenderung dipaksakan. Layaknya kita menggunakan karbida untuk mempercepat proses kematangan buah. Benar buah akan matang namun hasilnya akan tak maksimal dan tak sebagus yang benar-benar matang secara natural.
            Budaya instan sebagai suatu gejala sosial tumbuh berkembang berkat faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal misalnya ketidaksiapan masyarakat yang berbudaya timur menghadapi revolusi industri, modernasi science, dan kemajuan ilmu dan teknologi yang mau tidak mau akan memasuki segenap elemen masyarakat karena disokong oleh pola budaya yang sampai pada taraf globalisasi. Bagi masyarakat yang memiliki kesadaran signifikan dan ketahanan budaya, tentu mereka akan bisa menyaring dan menfilter dengan baik setiap efek buruk dari budaya baru yang sedang memasukinya. Namun itu sama sekali tidak relevan bagi masyarakat yang belum dewasa dan cenderung latah. Di sinilah bahayanya. Mereka yang belum dewasa dalam arti kesiapan mental berupa filter budaya akan sangat mudah mengimani serta mengamini tanpa reserve (syarat). Apa lagi sudah terjerembab pada kebiasaan konsumerisme yang begitu tinggi yang dikatalisatori oleh industri yang menyajikan produk-produk instan. Faktor kedua yang turut berkontribusi secara masif dan berskala makro ialah kerapuhan jiwa dan nurani akibat tergerusnya masyarakat dari keluhuran nilai budi dan kekuatan rohani. Bisa dimetaforkan laksana fungsi kekebalan tubuh pada diri manusia. Selama fungsi kekebalan tubuh berjalan normal, maka virus-virus yang menyerang bisa diatasi dengan mudah; adapun jika kekebalan tubuhnya sudah melemah atau bahkan sudah tak berfungsi maka rawan terserang penyakit dan tentu saja amat membahayakan badan manusia. Demikian faktor eksternal-internal yang minimal bisa  menjelaskan proses terjadinya budaya instan.
            Setiap pilihan pasti mempunyai dampak, baik itu positif maupun negatif. Demikian juga misalnya ketika manusia memilih budaya yang diusahakan -baik sadar maupun tak sadar- untuk menjadi tradisi. Kita mulai dari sisi positif dari budaya instan. Sisi positifnya di antaranya dapat membuat waktu lebih efisien, meminimalisir terjadinya pemborosan waktu, membantu terciptanya produktifitas yang tinggi, dan yang utama bisa memenuhi kebutuhan orang secara lekas dan cepat. Adapun sisi negatifnya ialah: manusia akan lebih memprioritaskan kuantitas daripada kualitas, akan tercerabut darinya salah satu sifat yang penting berupa kesabaran, ketahanan terhadap proses-proses menghasilkan sesuatu secara maksimal dan optimal semakin melemah, kesadaran akan mutu akan semakin memudar, terlalu menyederhanakan sesuatu, melemahnya daya kritis, kehilangan ketajaman intuisi dalam menilai berharga tidaknya sesuatu, atau maaf- meminjam istilah seksologi- terkena ‘ejakulasi kepuasan hasil dini’, dan masih banyak lagi yang lainya. Dari paparan itu minimal kita bisa menakar, menimbang dengan akurasi penilaian yang obyektif bahwa kadar dampak negatif dari budaya instan ini lebih banyak daripada positifnya.

Coba kita perhatikan pada segenap media, baik cetak maupun elektronik, akan kita dapati fenomena-fenomena seperti itu. Misalkan dalam pendidikan, kebanyakan sudah kehilangan orientasi ideal. Pendidikan tidak berfungsi lagi sebagai suatu proses untuk menjadikan seseorang menemukan potensi dirinya, ia sudah berubah ke ranah pencapain hasil berupa ijazah. Akhirnya karena ingin instan banyak sekali yang membeli ijazah-ijazah palsu karena ingin cepat-cepat mendapat keuntungan kerja secara instan. Kita juga bisa melihat misalkan terjadi perubahan kiblat acuan dalam menentukan kealiman seseorang. Orang alim seperti ustadz, kiai atau muballigh begitu disimplifikasi sedemikian rupa dengan mengadakan audisi-audisi di media. Acuannya bukan lagi kualitas ilmu yang dipunya tapi sejauh mana ia bisa beretorika dan menghibur penonton. Demikian juga misalnya dengan kepemimpinan. Akibat budaya intan yang sedemikan merasuki batin kebanyakan manusia akhirnya mereka berlomba-lomba secara instan ingin menjadi pemimpin, dengan mengajukan dan mencalonkan diri, bahkan kalau perlu dengan money politic dan money laundry. Makanya jangan heran jika efek yang ditimbulkan begitu negatif karena titik tolak mereka berangkat dari budaya instan. Begitu pula kalau kita mau melihat segmen lain yang sudah diwarnai oleh budaya instan. Politik instan, pendidikan instan, pemimpin instan, kesenian instan, makan minum instan, media instan, produk instan dan semua serba instan. Kearifan dan kebijakan akan mengantarkan kita pada suatu pelajaran dan pembelajaran penting bahwa benar memang di satu sisi kita ingin lekas dan cepat namun untuk meraih hasil yang berkualitas kita harus membudayakan proses yang mengarah pada mutu yang baik. Butuh kesabaran, butuh keuletan dan butuh ketlatenan masif dan komunal. Saya masih optimis dan yakin bahwa kita: BISA.


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan