Sekitar tanggal 9 Juli 2014, akan diadakan pesta demokrasi sepesial
rakyat lima tahunan yang biasanya diselenggarakan pemerintah Indonesia untuk
menentukan secara demokratis siapa yang layak menjadi presiden. Kali ini
pemilihan presiden di Indonesia dilaksanakan dengan mengangkat dua calon
sebagai capres dan cawapres. Terbatasnya calon hanya pada dua pasangan
sebenarnya dapat meminimalisir terjadinya pembengkakan dana atau anggaran
pemilu sehingga dapat digunakan untuk keperluan yang lebih bermanfaat untuk
rakyat. Di sisi lain juga akan mengurangi tindak kecurangan-kecurangan seperti mony
politic(politik uang) dan praktik perjudian masal -yang biasa berbentuk
taruhan dan lain sebagainya-, agar terselenggara pemilihan umum yang
benar-benar fair, demokratis dan akuntabel(bertanggung jawab). Meski
juga harus diakui keminiman calon akan membuat pesta demokrasi kurang begitu meriah.
Minimnya calon akan terlihat menggelikan juga di sisi lain karena negara yang
begitu besar ini yang memiliki penduduk sekitar 240 juta lebih hanya
mencalonkan dua pasangan capres dan cawapres. Dengan demikian sangat wajar jika
ada yang bertanya: Apa negara yang begitu besar ini mengalami kelangkaan pemimpin
yang adil, handal dan tepercaya sehingga calon hanya mengerucut pada dua
pasangan.
Sebelum membahas lebih jauh
mengenai pemilihan presiden(Kepala Negara), ada baiknya kita memperkaya konsep
linguistik mengenai kepemimpinan dalam bahasa Indonesia dan Arab. Mengapa
memilih Indonesia dan Arab? Ini sangat beralasan karena bahasa Indonesia adalah
bahasa kita sendiri dan khazanah kebahasaannya perlu diungkap di sini.
Sedangkan bahasa Arab adalah bahasa yang sangat kaya kosakata sehingga layak
untuk dijadikan sebagai acuan dalam hal ini. Bahasa Indonesia memiliki beberapa
kosakata dalam pemakaian idiom kepemimpinan. Ada ketua, atasan, pemimpin, penguasa,
kepala, sampai pada camat, bupati, gubernur, hingga presiden. Ketua adalah
jenis kepemimpinan yang titik tekannya ialah berlandaskan pada kesepuhan,
ketuaan, atau senioritas seseorang; berpijak dari suatu pemikiran dimana
semakin tua seseorang maka pengalaman makin banyak. Karena pengalaman banyak,
maka akan sangat efektif jika dijadikan sebagai ketua. Atasan ialah salah kata
yang dipakai untuk menyebut orang yang jabatannya di atas para pekerja biasa. Biasanya
ini berkaitan erat dengan kepegawaian dan urusan pekerjaan dan bisnis. Pemimpin
merupakan salah satu idiom yang digunakan untuk seseorang yang mempunyai
karakter membimbing, mengarahkan orang lain; efek sosialnya begitu banyak dan
masif sehingga dia mempunyai kekuatan untuk membimbing dan menggerakkan masa. Penguasa
ialah jenis kepemimpinan yang dilatari oleh kuasa(kemampuan, kesanggupan,
kekuatan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: orang yg menguasai; orang yg
berkuasa (untuk menyelenggarakan sesuatu, memerintah, dsb). Sedangkan ‘Kepala’ merupakan derivasi biologis dari anggota badan manusia yang
paling atas. Kepala merupakan salah satu bentuk kepimpinan model vertikal yang
keberadaannya bisa mengatasi, memenej dan menggerakkan organisasi-organisasi
yang ada di bawahnya. Kepala merupakan wadah tempat otak dan pikiran untuk
menggerakkan organ tubuh. Ciri khas model kepemimpinan kepala ialah selalu ada
jarak dan tingkatan dengan anak buah. Adapun kades, camat(Kepala Pemerintahan
Daerah di bawah Bupati), bupati(Kepala Daerah Kabupaten), gubernur(Kepala
Pemerintah Tingkat Provinsi) sampai presiden(Kepala Negara) maknanya tak jauh
berbeda sebagaimana kata ‘kepala’, hanya saja yang membedakan ialah dalam hal
kuantitas, skala dan volume wilayah kekuasaannya.
Bahasa Arab juga
memiliki beberapa idiom kepemimpinan. Diantaranya ialah: al-Rôi, al-Ro`îs, al-Za`îm, al-Imâm, al-Qôid, al-Amîr hingga khalîfah. Al-Rôi merupakan model
kepemimpinan yang dianalogikan(disepadankan) dengan penggembala kambing.
Karakternya: membaur, perhatian, peduli, telaten, sabar, dan ulet. Dalam bahasa
kita tipe kepemimpinan ini bisa dikatakan sebagai pemimpin yang merakyat dan
peduli pada kepentingan rakyat. Pemimpin model ini tidak membuat jawak dengan
rakyat, karena hubungannya sangat dekat. Al-Ro`îs statusnya relatif sama dengan kata
“kepala” dalam bahasa indonesia. Al- Za`îm merupakan tipe kepemimpinan yang secara spesifik
memiliki kemampuan menanggung dan menyokong kebutuhan yang dipimpin dan
memiliki progesivitas yang tinggi. Ia memiliki daya duga, dan prediksi bagi
kemungkinan-kemungkinan masa depan. Al-Imâm memiliki dua ciri paling
mendasar, yang pertama: letaknya dalam aksi dan sikap selalu terdepan
sebagaimana ungkapan Ki Hajar Dewantoro, “Ing ngarso sung tulodho(di
depan memberi keteladanan)”, kedua: dia memiliki sifat sayang dan perhatian laksana
ibu. Tingkat kasih sayang dan kepeduliannya bagaikan seorang ibu. Ia rela
menderita, susah payah supaya anaknya bisa tumbuh berkembang. Intinya
kepemimpinan jenis ini menomersatukan dan memprioritaskan kepentingan rakyat
yang dipimpin walau dirinya merasakan penderitaan. Al-Qôid gaya
kepemimpinan yang sifatnya teknis dan aplikatif. Diibaratkan pengendara mobil
yang menyetir jalannya kendaraan. Biasanya juga digunakan dalam pemimpin jenis kemiliteran,
sekup kepemimpinannya terbilang relatif sempit dari pada jenis yang lainnya. Al-Amîr merupakan tipe kepemimpinan yang
mengedepankan otoritas yang dimiliki, suka memerintah, dan secara karakter
kepribadian lebih dekat pada kepribadian koleris. Al-Amîr juga bisa dikaitkan dengan
kepemimpian model pemerintah dalam suatu negara. Yang terakhir dan mencakup
semua tadi ialah kata khalîfah. Khalîfah bermakna:
Pemimpin, pengganti, pengatur, pengasuh, pembimbing, wakil, pemakmur, pengelola
yang mempunyai tugas kompleks dan bersifat mengembangkan. Kata khalîfah sendiri dalam al-Qur`an disebut
sebagai profesi atau fungsi manusia di bumi. Masing-masing manusia memiliki
kadar kekhalifaannya sendiri-sendiri.
Kaitannya dengan
idiom “Kepala Negara(Presiden)” secara jelas, eksplisit menggunakan idiom “kepala”.
Kepala merupakan wadah diantara organ tervital dalam mengoprasikan gerak
seluruh anggota badan setelah hati. Di dalam kepala – kalau kita menggunakan
istilah komputer - tersimpan seperangkat alat keras(hard ware)bernama
otak yang berfungsi sebagai penggerak dan motor berupa seperangkat alat lunak(soft
ware), akal. Kerusakan kepala bisa berakibat fatal. Jika kepala tidak
berfungsi dengan baik maka akan mempengaruhi kinerja organ-organ atau
bagian-bagian tubuh yang lain secara total. Letak kepala yang di atas ini
sebagai suatu istilah di mana pemimpin mampu mengatasi, mengontrol dan
menguasai laju gerak dan dinamika organisasi. Pemimpin bertipe “kepala” lebih
tepatnya mempunyai kemampuan organisatorial yang sangat tinggi. Mampu mengatur,
mengatasi, memenej dan menginstruksikan kerja-kerja organisasi secara dinamis,
harmonis dan penuh sinegi yang tinggi. Meskipun perlu diakui juga bahwa
kepemimpinan model ini bercirikan dengan adanya jarak tertentu antara pemimpin
dengan yang dipimpin.
Dalam pemilihan Kepala
Negara(presiden), teknis pemilihan dari tahun ke tahun mengalami perkembangan
pesat. Kalau dahulu Kepala Negara dipilih lantaran kemampuan, dan kecakapannya
dalam mengatasi dan mengatur organisasi rakyat, sedangkan sekarang –melalui mekanisme
demokrasi- yang ada bukannya dipilih tapi mengajukan diri dan membiayai diri
untuk menjadi Kepala Negara. Urusan kecakapan, kepiawaian, keahlian secara
subtansial sudah menjadi sedemikian sekunder. Kemenangan kebanyakan sudah tidak
ditentukan oleh seberapa besar ‘output (kontribusi) sosial’ yang
dihasilkan, tetapi lebih pada hal yang sangat pragmatis dan egoistis berkaitan
dengan kepentingan yang pribadi. Walaupun secara formal visi-misi terkesan pro
rakyat, tapi kebanyakan yang ada ialah untuk kepentingan pribadi dan kelompok
serta aliran tertentu. Yang banyak uang dialah pemenang; yang banyak duit dialah
yang bangkit; Yang punya harta dialah yang mengatur masa; yang kaya raya dialah
yang dipuja.
Melihat dinamika
dan dialektika bursa pemilihan Kepala Negara yang semakin mengarah pada
formalitas kepentingan individu yang dibungkus dengan jargon kepentingan sosial,
maka pada gilirannya peran dari Kepala Negara semakin tereduksi dan
terdistorsi. Sadar atau tidak sadar, jika tidak ada perubahan teknik pemilihan
yang lebih demokratis, jujur dan tepercaya maka kualitas pemimpin yang
bertaraf, “KEPALA” akan semakin luntur dan pudar. Ini menggambarkan kerusakan
kepala. Rusaknya kepala sebagaimana diungkap tadi merupakan faktor kerusakan
total bagi seluruh anggota badan. Tanpa ada upaya kritis dan nasehat-nasehat
kolektif maka secara tidak langsung rakyat telah merancang kehancurannya
sendiri. Karena itulah supaya sistem kepemimpinan model kepala ini semakin
komplit maka perlu dipadukan dengan corak kepemimpinan yang lain seperti
pemimpin, ketua, al-Rôi, al-Ro`îs, al-Za`îm, al-Imâm, al-Qôid, al-Amîr dan khalîfah supaya kepemimpinan lebih
produktif, adil dan bermartabat.
Kalau kepentingan sosial-komunal
sudah menjadi sekunder sedangkan kepentingan pribadi menjadi primer, maka bisa
dijamin bahwa pemimpin yang tadinya statusnya menjadi, “KEPALA” berubah menjadi
“BADAN”. Kepemimpinan jenis ini ialah kepemimpinan yang dalam formalitas
sosialnya mengumbar janji-janji muluk untuk kepentingan rakyat padahal
sejatinya untuk kepentingan perut sendiri. Belum lagi persaingan-persaingan
kepentingan ini akan menimbulkan dapak negatif yang masif berupa konflik antar rakyat
yang tak bisa dielakkan. Rakyat pasti mendukung calonnya masing-masing bila
perlu konflik pun diadakan demi membela kemenangan ‘Sang Calon’. Demikian lah
jika sudah salah kaprah dalam menentukan pemimpin. Kerancuannya mengingatkan
kita pada salah satu nyanyian: “Kaki di kepala, Kepala di kaki” karya Paterpen.
Sangat absurd (tidak masuk akal), membuat kepala pening dan tidak
berfungsi dengan baik dan efisien.
Di sisi lain untuk
meloloskan hasrat dan keinginan menjadi Kepala Negara, acap kali bukan hanya
menggunakan cara-cara fisik namun juga metafisik. Pada masa ini – yang sedikit
ironis dan lucu – tak sedikit dari mereka menggunakan jasa para dukun yang
dianggap ahli dalam memenangkan calon Kepala Negara. Dukun akan menjadi semakin
laris dan ngetop. Atas anjuran mbah dukun biasanya para calon Kepala Kepala
Negara hinga berbagai bentuk Kepala dalam skala paling bawah, mengirim tim
suksesnya meletakkan kembang-kembang keramat atau apapun yang berkaitan
dengannya yang berfungsi ‘spritual strategis’ dalam menggagalkan musuh dan
rival calon Kepala Negara(Presiden). Padahal kalau mau berpikir jeli dan logis,
kalau sekiranya dukun-paranormal itu mampu membuat orang jadi sukses, kenapa
bukan dia dulu yang disukseskan, malah orang lain, itu pun juga meminta
imbalan. Ada juga yang mendatangi makam-makam wali atau leluhur yang dianggap
mempunyai kesaktian tinggi untuk dimintai pertolongan. Praktik-praktik semacam
ini agaknya sudah menggejala dan fenomenal baik dalam kepemimpinan paling bawah
hingga paling atas kecuali hanya sedikit.
Di negara Indonesia
tercinta, kedepan ada dua calon yang bakal menjadi Kepala Negara Joko
Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Harapan besar tertumpu
pada keduanya. Kedua pasangan capres dan cawapres tersebut menggambarkan
kepemimpinan model, kepala, ketua, penguasa, atasan, pemimpin, al-Rôi, al-Ro`îs, al-Za`îm, al-Imâm, al-Qôid, al-Amîr atau khalîfah? Siapa saja yang akan menjadi
Kepala Negara(Presiden) semoga benar-benar mengerti, paham, dan mengaktualisasikan
kepemimpinan kualitas “kepala” yang mampu mengatasi, menguasai dinamika
pengorganisasian rakyat pada segenap levelnya yang penuh kejujuran dan tanggung
jawab. Di samping itu upaya untuk naik pada level kepemimpinan yang lebih
tinggi juga harus tetap diusahakan. Bila tidak, maka tak akan terjadi perubahan
berarti. Akan terjadi pembalikan-pembalikan nilai yang rancu dan membuat
bingung. Orang semakin bingung, semakin jauh dari kesejatian demokrasi dan
kejujuran. Yang asalanya “KEPALA” berfungsi mengepalai, mengatasi, menjadi
“KAKI” berfungsi dibuat jalan, disetir, dikontrol, diarahkan oleh pihak-pihak
yang mempunyai kepentingan individu belaka. Jadinya bukan Kepala Negara tapi
menjadi Kaki Negara. Kalau ini terjadi siapkan saja tumpeng kesengsaraan nasional. Na`udzubillah min dzaalik(semoga saja tidak demikian kita
berlindung saja pada Allah).
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !