Home » » Memilih ‘Kepala Negara’ Apa ‘Kaki Negara’?

Memilih ‘Kepala Negara’ Apa ‘Kaki Negara’?

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 24 Mei 2014 | 06.02


            Sekitar tanggal  9 Juli 2014, akan diadakan pesta demokrasi sepesial rakyat lima tahunan yang biasanya diselenggarakan pemerintah Indonesia untuk menentukan secara demokratis siapa yang layak menjadi presiden. Kali ini pemilihan presiden di Indonesia dilaksanakan dengan mengangkat dua calon sebagai capres dan cawapres. Terbatasnya calon hanya pada dua pasangan sebenarnya dapat meminimalisir terjadinya pembengkakan dana atau anggaran pemilu sehingga dapat digunakan untuk keperluan yang lebih bermanfaat untuk rakyat. Di sisi lain juga akan mengurangi tindak kecurangan-kecurangan seperti mony politic(politik uang) dan praktik perjudian masal -yang biasa berbentuk taruhan dan lain sebagainya-, agar terselenggara pemilihan umum yang benar-benar fair, demokratis dan akuntabel(bertanggung jawab). Meski juga harus diakui keminiman calon akan membuat pesta demokrasi kurang begitu meriah. Minimnya calon akan terlihat menggelikan juga di sisi lain karena negara yang begitu besar ini yang memiliki penduduk sekitar 240 juta lebih hanya mencalonkan dua pasangan capres dan cawapres. Dengan demikian sangat wajar jika ada yang bertanya: Apa negara yang begitu besar ini mengalami kelangkaan pemimpin yang adil, handal dan tepercaya sehingga calon hanya mengerucut pada dua pasangan.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai pemilihan presiden(Kepala Negara), ada baiknya kita memperkaya konsep linguistik mengenai kepemimpinan dalam bahasa Indonesia dan Arab. Mengapa memilih Indonesia dan Arab? Ini sangat beralasan karena bahasa Indonesia adalah bahasa kita sendiri dan khazanah kebahasaannya perlu diungkap di sini. Sedangkan bahasa Arab adalah bahasa yang sangat kaya kosakata sehingga layak untuk dijadikan sebagai acuan dalam hal ini. Bahasa Indonesia memiliki beberapa kosakata dalam pemakaian idiom kepemimpinan. Ada ketua, atasan, pemimpin, penguasa, kepala, sampai pada camat, bupati, gubernur, hingga presiden. Ketua adalah jenis kepemimpinan yang titik tekannya ialah berlandaskan pada kesepuhan, ketuaan, atau senioritas seseorang; berpijak dari suatu pemikiran dimana semakin tua seseorang maka pengalaman makin banyak. Karena pengalaman banyak, maka akan sangat efektif jika dijadikan sebagai ketua. Atasan ialah salah kata yang dipakai untuk menyebut orang yang jabatannya di atas para pekerja biasa. Biasanya ini berkaitan erat dengan kepegawaian dan urusan pekerjaan dan bisnis. Pemimpin merupakan salah satu idiom yang digunakan untuk seseorang yang mempunyai karakter membimbing, mengarahkan orang lain; efek sosialnya begitu banyak dan masif sehingga dia mempunyai kekuatan untuk membimbing dan menggerakkan masa. Penguasa ialah jenis kepemimpinan yang dilatari oleh kuasa(kemampuan, kesanggupan, kekuatan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: orang yg menguasai; orang yg berkuasa (untuk menyelenggarakan sesuatu, memerintah, dsb). Sedangkan ‘Kepala’ merupakan derivasi biologis dari anggota badan manusia yang paling atas. Kepala merupakan salah satu bentuk kepimpinan model vertikal yang keberadaannya bisa mengatasi, memenej dan menggerakkan organisasi-organisasi yang ada di bawahnya. Kepala merupakan wadah tempat otak dan pikiran untuk menggerakkan organ tubuh. Ciri khas model kepemimpinan kepala ialah selalu ada jarak dan tingkatan dengan anak buah. Adapun kades, camat(Kepala Pemerintahan Daerah di bawah Bupati), bupati(Kepala Daerah Kabupaten), gubernur(Kepala Pemerintah Tingkat Provinsi) sampai presiden(Kepala Negara) maknanya tak jauh berbeda sebagaimana kata ‘kepala’, hanya saja yang membedakan ialah dalam hal kuantitas, skala dan volume wilayah kekuasaannya.
            Bahasa Arab juga memiliki beberapa idiom kepemimpinan. Diantaranya ialah: al-Rôi, al-Ro`îs, al-Za`îm, al-Imâm, al-Qôid, al-Amîr hingga khalîfah. Al-Rôi merupakan model kepemimpinan yang dianalogikan(disepadankan) dengan penggembala kambing. Karakternya: membaur, perhatian, peduli, telaten, sabar, dan ulet. Dalam bahasa kita tipe kepemimpinan ini bisa dikatakan sebagai pemimpin yang merakyat dan peduli pada kepentingan rakyat. Pemimpin model ini tidak membuat jawak dengan rakyat, karena hubungannya sangat dekat. Al-Ro`îs statusnya relatif sama dengan kata “kepala” dalam bahasa indonesia. Al- Za`îm merupakan tipe kepemimpinan yang secara spesifik memiliki kemampuan menanggung dan menyokong kebutuhan yang dipimpin dan memiliki progesivitas yang tinggi. Ia memiliki daya duga, dan prediksi bagi kemungkinan-kemungkinan masa depan. Al-Imâm memiliki dua ciri paling mendasar, yang pertama: letaknya dalam aksi dan sikap selalu terdepan sebagaimana ungkapan Ki Hajar Dewantoro, “Ing ngarso sung tulodho(di depan memberi keteladanan)”, kedua: dia memiliki sifat sayang dan perhatian laksana ibu. Tingkat kasih sayang dan kepeduliannya bagaikan seorang ibu. Ia rela menderita, susah payah supaya anaknya bisa tumbuh berkembang. Intinya kepemimpinan jenis ini menomersatukan dan memprioritaskan kepentingan rakyat yang dipimpin walau dirinya merasakan penderitaan. Al-Qôid gaya kepemimpinan yang sifatnya teknis dan aplikatif. Diibaratkan pengendara mobil yang menyetir jalannya kendaraan. Biasanya juga digunakan dalam pemimpin jenis kemiliteran, sekup kepemimpinannya terbilang relatif sempit dari pada jenis yang lainnya. Al-Amîr merupakan tipe kepemimpinan yang mengedepankan otoritas yang dimiliki, suka memerintah, dan secara karakter kepribadian lebih dekat pada kepribadian koleris. Al-Amîr juga bisa dikaitkan dengan kepemimpian model pemerintah dalam suatu negara. Yang terakhir dan mencakup semua tadi ialah kata khalîfah. Khalîfah bermakna: Pemimpin, pengganti, pengatur, pengasuh, pembimbing, wakil, pemakmur, pengelola yang mempunyai tugas kompleks dan bersifat mengembangkan. Kata khalîfah sendiri dalam al-Qur`an disebut sebagai profesi atau fungsi manusia di bumi. Masing-masing manusia memiliki kadar kekhalifaannya sendiri-sendiri.
            Kaitannya dengan idiom “Kepala Negara(Presiden)” secara jelas, eksplisit menggunakan idiom “kepala”. Kepala merupakan wadah diantara organ tervital dalam mengoprasikan gerak seluruh anggota badan setelah hati. Di dalam kepala – kalau kita menggunakan istilah komputer - tersimpan seperangkat alat keras(hard ware)bernama otak yang berfungsi sebagai penggerak dan motor berupa seperangkat alat lunak(soft ware), akal. Kerusakan kepala bisa berakibat fatal. Jika kepala tidak berfungsi dengan baik maka akan mempengaruhi kinerja organ-organ atau bagian-bagian tubuh yang lain secara total. Letak kepala yang di atas ini sebagai suatu istilah di mana pemimpin mampu mengatasi, mengontrol dan menguasai laju gerak dan dinamika organisasi. Pemimpin bertipe “kepala” lebih tepatnya mempunyai kemampuan organisatorial yang sangat tinggi. Mampu mengatur, mengatasi, memenej dan menginstruksikan kerja-kerja organisasi secara dinamis, harmonis dan penuh sinegi yang tinggi. Meskipun perlu diakui juga bahwa kepemimpinan model ini bercirikan dengan adanya jarak tertentu antara pemimpin dengan yang dipimpin.
            Dalam pemilihan Kepala Negara(presiden), teknis pemilihan dari tahun ke tahun mengalami perkembangan pesat. Kalau dahulu Kepala Negara dipilih lantaran kemampuan, dan kecakapannya dalam mengatasi dan mengatur organisasi rakyat, sedangkan sekarang –melalui mekanisme demokrasi- yang ada bukannya dipilih tapi mengajukan diri dan membiayai diri untuk menjadi Kepala Negara. Urusan kecakapan, kepiawaian, keahlian secara subtansial sudah menjadi sedemikian sekunder. Kemenangan kebanyakan sudah tidak ditentukan oleh seberapa besar ‘output (kontribusi) sosial’ yang dihasilkan, tetapi lebih pada hal yang sangat pragmatis dan egoistis berkaitan dengan kepentingan yang pribadi. Walaupun secara formal visi-misi terkesan pro rakyat, tapi kebanyakan yang ada ialah untuk kepentingan pribadi dan kelompok serta aliran tertentu. Yang banyak uang dialah pemenang; yang banyak duit dialah yang bangkit; Yang punya harta dialah yang mengatur masa; yang kaya raya dialah yang dipuja.
            Melihat dinamika dan dialektika bursa pemilihan Kepala Negara yang semakin mengarah pada formalitas kepentingan individu yang dibungkus dengan jargon kepentingan sosial, maka pada gilirannya peran dari Kepala Negara semakin tereduksi dan terdistorsi. Sadar atau tidak sadar, jika tidak ada perubahan teknik pemilihan yang lebih demokratis, jujur dan tepercaya maka kualitas pemimpin yang bertaraf, “KEPALA” akan semakin luntur dan pudar. Ini menggambarkan kerusakan kepala. Rusaknya kepala sebagaimana diungkap tadi merupakan faktor kerusakan total bagi seluruh anggota badan. Tanpa ada upaya kritis dan nasehat-nasehat kolektif maka secara tidak langsung rakyat telah merancang kehancurannya sendiri. Karena itulah supaya sistem kepemimpinan model kepala ini semakin komplit maka perlu dipadukan dengan corak kepemimpinan yang lain seperti pemimpin, ketua, al-Rôi, al-Ro`îs, al-Za`îm, al-Imâm, al-Qôid, al-Amîr dan khalîfah supaya kepemimpinan lebih produktif, adil dan bermartabat.
            Kalau kepentingan sosial-komunal sudah menjadi sekunder sedangkan kepentingan pribadi menjadi primer, maka bisa dijamin bahwa pemimpin yang tadinya statusnya menjadi, “KEPALA” berubah menjadi “BADAN”. Kepemimpinan jenis ini ialah kepemimpinan yang dalam formalitas sosialnya mengumbar janji-janji muluk untuk kepentingan rakyat padahal sejatinya untuk kepentingan perut sendiri. Belum lagi persaingan-persaingan kepentingan ini akan menimbulkan dapak negatif yang masif berupa konflik antar rakyat yang tak bisa dielakkan. Rakyat pasti mendukung calonnya masing-masing bila perlu konflik pun diadakan demi membela kemenangan ‘Sang Calon’. Demikian lah jika sudah salah kaprah dalam menentukan pemimpin. Kerancuannya mengingatkan kita pada salah satu nyanyian: “Kaki di kepala, Kepala di kaki” karya Paterpen. Sangat absurd (tidak masuk akal), membuat kepala pening dan tidak berfungsi dengan baik dan efisien.
            Di sisi lain untuk meloloskan hasrat dan keinginan menjadi Kepala Negara, acap kali bukan hanya menggunakan cara-cara fisik namun juga metafisik. Pada masa ini – yang sedikit ironis dan lucu – tak sedikit dari mereka menggunakan jasa para dukun yang dianggap ahli dalam memenangkan calon Kepala Negara. Dukun akan menjadi semakin laris dan ngetop. Atas anjuran mbah dukun biasanya para calon Kepala Kepala Negara hinga berbagai bentuk Kepala dalam skala paling bawah, mengirim tim suksesnya meletakkan kembang-kembang keramat atau apapun yang berkaitan dengannya yang berfungsi ‘spritual strategis’ dalam menggagalkan musuh dan rival calon Kepala Negara(Presiden). Padahal kalau mau berpikir jeli dan logis, kalau sekiranya dukun-paranormal itu mampu membuat orang jadi sukses, kenapa bukan dia dulu yang disukseskan, malah orang lain, itu pun juga meminta imbalan. Ada juga yang mendatangi makam-makam wali atau leluhur yang dianggap mempunyai kesaktian tinggi untuk dimintai pertolongan. Praktik-praktik semacam ini agaknya sudah menggejala dan fenomenal baik dalam kepemimpinan paling bawah hingga paling atas kecuali hanya sedikit.
            Di negara Indonesia tercinta, kedepan ada dua calon yang bakal menjadi Kepala Negara Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Harapan besar tertumpu pada keduanya. Kedua pasangan capres dan cawapres tersebut menggambarkan kepemimpinan model, kepala, ketua, penguasa, atasan, pemimpin, al-Rôi, al-Ro`îs, al-Za`îm, al-Imâm, al-Qôid, al-Amîr atau khalîfah? Siapa saja yang akan menjadi Kepala Negara(Presiden) semoga benar-benar mengerti, paham, dan mengaktualisasikan kepemimpinan kualitas “kepala” yang mampu mengatasi, menguasai dinamika pengorganisasian rakyat pada segenap levelnya yang penuh kejujuran dan tanggung jawab. Di samping itu upaya untuk naik pada level kepemimpinan yang lebih tinggi juga harus tetap diusahakan. Bila tidak, maka tak akan terjadi perubahan berarti. Akan terjadi pembalikan-pembalikan nilai yang rancu dan membuat bingung. Orang semakin bingung, semakin jauh dari kesejatian demokrasi dan kejujuran. Yang asalanya “KEPALA” berfungsi mengepalai, mengatasi, menjadi “KAKI” berfungsi dibuat jalan, disetir, dikontrol, diarahkan oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan individu belaka. Jadinya bukan Kepala Negara tapi menjadi Kaki Negara. Kalau ini terjadi siapkan saja tumpeng kesengsaraan nasional. Na`udzubillah min dzaalik(semoga saja tidak demikian kita berlindung saja pada Allah).


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan