Jam
menunjukkan pukul 21.00 WIB. Sarikhlukuk beserta anaknya sedang asyik
berdiskusi di teras depan rumah. Diskusi yang sedang berlangsung awalnya
menyangkut masalah pribadi anaknya yang bernama, Satria Pinandita. Namun, di
sela-sela diskusi, di embong (jalan depan rumah) ada tetangga rumah yang
sedang berdiri -katanya sih cari angin-, namanya Adi Kusuma. Adi Kusuma
berprofesi sebagai pekerja proyek, yang secara khusus mengemudikan alat-alat
berat, untuk proyek pengurukan sawah yang akan dijadikan pabrik. Dilihat dari
riwayat akademisnya, memang Adi Kusuma terlihat tidak begitu menonjol dan hanya
tamatan SMK, namun malam itu sekat-sekat akademis seolah menjadi lebur. Adi
seolah menjadi ‘sarjana kehidupan’, yang ditempa langsung dengan pendidikan
alam nyata. Yang paling tinggi waktu itu secara titel akademis ya cuma Satria
Pinandita yang sudah S1. Meski begitu dialog sangat cair dan mencerahkan, dari
masalah yang sederhana berkaitan dengan proyek, watak masyarakat kampung hingga
membahas rakyat dan negara. Sarikhuluk pun menyapa Adi: ‘Ad gimana kabar
proyeknya? Lancar kan?’. “Al-hamdulillah pak. Meski sebenarnya bigonya cuma
satu, tapi masih lancar”Jawab Adi sambil berdiri. “Aku jadi teringat ketika
kerja di Kalimantan, borongan urukan tanah memang sangat menjajikan. Tapi
tempat urukan dengan jalan raya memang jaraknya sangat jauh” sambung Sarikhuluk
sekenanya. Akhirnya Adi Kusuma yang tadinya berdiri, ikut duduk di teras rumah
bersama Sarikhuluk dan Satria untuk sekadar mengobrol atau mendiskusikan tema
yang lagi trend dan sangat aktual.
“Bangsa
Indonesia sebenarnya adalah bangsa pintar dan hebat” kata Satria Pinandita
membuka diskusi. “Lha kalau memang hebat kenapa rakyat Indonesia tidak
maju-maju? Menurutku sih bagaimanapun juga yang pinter ya tetap orang luar
negeri. Buktinya motor, HP, pesawat, dan masih banyak lagi itu buatan luar
negeri. Undang-undang aja konon kabarnya yang namanya KUHP itu copy-paste (njiplak)
dari hukum belanda. Lalu di mana letak kepintaran bangsa kita?” komentar Adi
dengan nada tidak setuju. “ Apa yang aku bicarakan berkaitan dengan kepintaran
dan kehebatan bangsa Indonesia itu dalam taraf potensi (kemampuan) sekaligus
realita. Artinya secara kemampuan sebenarnya anak Indonesia tak kalah hebat
dengan anak luar negeri. Buktinya dalam even-even perlombaan internasional
masih bisa bersaing, dan tak sedikit yang bahkan menjuarainya. Cuma ya itu, ada
karakter yang sulit dirubah dari rata-rata penduduk negara besar ini, yaitu
karakter inferior(minder/rendah diri). Bisa jadi karena warisan nenek
moyang yang dijajah begitu lama oleh Belanda, atau ada upaya serius, terukur,
dan sistematis dari luar Indonesia untuk menghambat pertumbuhan potensi bangsa
Indonesia. Ibarat tumbuhan, strategi yang mereka gunakan itu persis seperti
membonsai tanaman. Tanaman yang seharusnya besar –karena tujuan tertentu-
dibonsai sedemikian rupa sehingga menghambat laju kembangnya. Kita bisa melihat
pada realitanya, kenapa orang-orang pintar yang sukses lebih suka kerja di luar
negeri dari pada di Indonesia, itu karena di samping kurang dihargai dan
difasilitasi, secara kesejahteraan juga tak begitu diperhatikan, jadi sangat
wajar kalau mereka memilih di luar negeri. Kalaupun tetap memaksa diri di
Indonesia, sudah barang tentu tidak akan berkembang” papar Satria sedikit
berapologi.
“Secara
realita, bangsa Indonesia sampai sekarang kan tak bangikit-bangkit. Kalau
diprosentasikan mungkin jadi paling buncit. Kebesaran masa lalu diungkit-ungkit,
sedang untuk masa sekarang dan yang akan datang serasa sempit dan terhimpit. Pontensi seperti yang kamu ucapkan itu kan
bahasa gampangannya berarti kempampuan yang memungkinkan untuk dikembangkan.
Lha kalau dibonsai terus, mana bisa bangkit dan berkembang Satria? Kemudian pernah
kah diadakan penelitian secara serius mengenai berapa anak bangsa sendiri yang
tergolong sukses dibanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah
sekitar 246,9 juta. Emang lebih banyak mana? Yang berpotensi apa yang tak
berpontensi; banyak yang sukses apa yang ngenas?” tambah Sarikhuluk. “Wah kalau
acuannya seperti itu, memang sangat sedikit sekali prosentasinya. Maksud saya Pak,
lebih mendasar bahwa bangsa ini sangat potensial sekali untuk menjadi bangsa
besar karena mempunyai kemampuan besar. Masalahnya di lapangan kan banyak yang
menghalang-halanginya. Ada semacam karakter jegal menjegal; tidak senang
melihat temannya bahagia; adu gengsi dan banyak lagi sifat yang turut
menghambat perkembangannya” tambah Satria. “Mimpi orang Indonesia itu dari
segenap strata dan levelnya satu, yaitu pingin menjadi kaya. Apapun profesinya
rata-rata ujung-ujungnya pingin jadi kaya. Ga ulama`, ustadz, guru, dokter, dan
lain sebagainya semua ingin kaya. Yang kaya sungguh dihormati, yang tak punya
selalu disakiti dan ditinggal pergi” komentar Adi dengan mimik serius. “Itu
benar. Jangankan orang kaya, anjingnya saja juga turut dihormati kalau si
anjing milik orang kaya” ucap Sarikhuluk menguatkan.
“Korupsi
kian menjamur. Orang jujur semakin terkubur. Mereka sudah tak malu-malu lagi
korupsi, karena sudah menganggapnya sebagai profesi. Aku nek ngarani(aku
kalau mengistilahkan: red) Indonesia tak lagi bisa disebut negara. Ini bukan
negara NKRI tapi Perusaan NKRI” celetuk Adi. “Wus jangan ngawur gitu Ad,
bagaimanapun juga kan sebagai warga yang baik kita tetap menjaga etika kita”
nasihat Satria. “Menurutku dari sudut pandang bisnis, sebagaimana pandangan
Adi, memang sangat layak untuk dikatakan sebagai perusahaan. Lha gimana coba,
yang banyak menentukan bukan lagi rakyat dalam menentukan presiden. Hanya
orang-orang elit dan berduit yang mampu untuk menjadi presiden. Minimal
walaupun tidak kaya, `kan yang mendukung dibelakangnya harus orang kaya. Kamu
juga bisa melihat `kan di desa kita, untuk menjadi kepala desa saja harus
mengeluarkan kocek 1 milyar lebih, lha bagaimana jika mau jadi bupati, gubernur
hingga presiden. Kalau untuk menjadi saja harus mengeluarkan biaya banyak,
nanti kalau sudah jadi pasti akan mencari laba, seperti orang kulak. Makanya,
dalam prespektif realita sekarang ini, aku sangat setuju kalau negara ini lebih
mirip perusahaan daripada negara kedaulatan” tambah Sarikhuluk menguatkan. “Ad,
berapa gajimu perhari?” tanya Satria. “Sekitar 150 ribu” jawab Adi. “Wah
lumayan ya ketimbang gajiku sebagai guru” komentar Satria. “Bagaimanapun juga
sebesar-besar gaji guru, masih tak bisa mengalahkan gaji pebisnis. Sebenarnya
kalau orang kerja di proyek dengan jujur, pasti hidupnya mujur. Tapi kebanyakan
tidak jujur, jadinya meski banyak, uang cepat kabur tak jelas arahnya, entah
untuk main judi, main cewek dan lain sebagainya” pungkas Adi. Karena Adi lapar,
pas ada orang jualan Tahu Thek, akhirnya pamit undur diri. Selesailah diskusi malam
ini. Satriapun , kembali menerukan curhat ke Sarikhuluk.
keren ustad,...
BalasHapusterimakasih
BalasHapus