Home » » Perusahaan NKRI

Perusahaan NKRI

Written By Amoe Hirata on Senin, 05 Mei 2014 | 20.34



            Jam menunjukkan pukul 21.00 WIB. Sarikhlukuk beserta anaknya sedang asyik berdiskusi di teras depan rumah. Diskusi yang sedang berlangsung awalnya menyangkut masalah pribadi anaknya yang bernama, Satria Pinandita. Namun, di sela-sela diskusi, di embong (jalan depan rumah) ada tetangga rumah yang sedang berdiri -katanya sih cari angin-, namanya Adi Kusuma. Adi Kusuma berprofesi sebagai pekerja proyek, yang secara khusus mengemudikan alat-alat berat, untuk proyek pengurukan sawah yang akan dijadikan pabrik. Dilihat dari riwayat akademisnya, memang Adi Kusuma terlihat tidak begitu menonjol dan hanya tamatan SMK, namun malam itu sekat-sekat akademis seolah menjadi lebur. Adi seolah menjadi ‘sarjana kehidupan’, yang ditempa langsung dengan pendidikan alam nyata. Yang paling tinggi waktu itu secara titel akademis ya cuma Satria Pinandita yang sudah S1. Meski begitu dialog sangat cair dan mencerahkan, dari masalah yang sederhana berkaitan dengan proyek, watak masyarakat kampung hingga membahas rakyat dan negara. Sarikhuluk pun menyapa Adi: ‘Ad gimana kabar proyeknya? Lancar kan?’. “Al-hamdulillah pak. Meski sebenarnya bigonya cuma satu, tapi masih lancar”Jawab Adi sambil berdiri. “Aku jadi teringat ketika kerja di Kalimantan, borongan urukan tanah memang sangat menjajikan. Tapi tempat urukan dengan jalan raya memang jaraknya sangat jauh” sambung Sarikhuluk sekenanya. Akhirnya Adi Kusuma yang tadinya berdiri, ikut duduk di teras rumah bersama Sarikhuluk dan Satria untuk sekadar mengobrol atau mendiskusikan tema yang lagi trend dan sangat aktual.
            “Bangsa Indonesia sebenarnya adalah bangsa pintar dan hebat” kata Satria Pinandita membuka diskusi. “Lha kalau memang hebat kenapa rakyat Indonesia tidak maju-maju? Menurutku sih bagaimanapun juga yang pinter ya tetap orang luar negeri. Buktinya motor, HP, pesawat, dan masih banyak lagi itu buatan luar negeri. Undang-undang aja konon kabarnya yang namanya KUHP itu copy-paste (njiplak) dari hukum belanda. Lalu di mana letak kepintaran bangsa kita?” komentar Adi dengan nada tidak setuju. “ Apa yang aku bicarakan berkaitan dengan kepintaran dan kehebatan bangsa Indonesia itu dalam taraf potensi (kemampuan) sekaligus realita. Artinya secara kemampuan sebenarnya anak Indonesia tak kalah hebat dengan anak luar negeri. Buktinya dalam even-even perlombaan internasional masih bisa bersaing, dan tak sedikit yang bahkan menjuarainya. Cuma ya itu, ada karakter yang sulit dirubah dari rata-rata penduduk negara besar ini, yaitu karakter inferior(minder/rendah diri). Bisa jadi karena warisan nenek moyang yang dijajah begitu lama oleh Belanda, atau ada upaya serius, terukur, dan sistematis dari luar Indonesia untuk menghambat pertumbuhan potensi bangsa Indonesia. Ibarat tumbuhan, strategi yang mereka gunakan itu persis seperti membonsai tanaman. Tanaman yang seharusnya besar –karena tujuan tertentu- dibonsai sedemikian rupa sehingga menghambat laju kembangnya. Kita bisa melihat pada realitanya, kenapa orang-orang pintar yang sukses lebih suka kerja di luar negeri dari pada di Indonesia, itu karena di samping kurang dihargai dan difasilitasi, secara kesejahteraan juga tak begitu diperhatikan, jadi sangat wajar kalau mereka memilih di luar negeri. Kalaupun tetap memaksa diri di Indonesia, sudah barang tentu tidak akan berkembang” papar Satria sedikit berapologi.
            “Secara realita, bangsa Indonesia sampai sekarang kan tak bangikit-bangkit. Kalau diprosentasikan mungkin jadi paling buncit. Kebesaran masa lalu diungkit-ungkit, sedang untuk masa sekarang dan yang akan datang serasa sempit dan terhimpit.  Pontensi seperti yang kamu ucapkan itu kan bahasa gampangannya berarti kempampuan yang memungkinkan untuk dikembangkan. Lha kalau dibonsai terus, mana bisa bangkit dan berkembang Satria? Kemudian pernah kah diadakan penelitian secara serius mengenai berapa anak bangsa sendiri yang tergolong sukses dibanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 246,9 juta. Emang lebih banyak mana? Yang berpotensi apa yang tak berpontensi; banyak yang sukses apa yang ngenas?” tambah Sarikhuluk. “Wah kalau acuannya seperti itu, memang sangat sedikit sekali prosentasinya. Maksud saya Pak, lebih mendasar bahwa bangsa ini sangat potensial sekali untuk menjadi bangsa besar karena mempunyai kemampuan besar. Masalahnya di lapangan kan banyak yang menghalang-halanginya. Ada semacam karakter jegal menjegal; tidak senang melihat temannya bahagia; adu gengsi dan banyak lagi sifat yang turut menghambat perkembangannya” tambah Satria. “Mimpi orang Indonesia itu dari segenap strata dan levelnya satu, yaitu pingin menjadi kaya. Apapun profesinya rata-rata ujung-ujungnya pingin jadi kaya. Ga ulama`, ustadz, guru, dokter, dan lain sebagainya semua ingin kaya. Yang kaya sungguh dihormati, yang tak punya selalu disakiti dan ditinggal pergi” komentar Adi dengan mimik serius. “Itu benar. Jangankan orang kaya, anjingnya saja juga turut dihormati kalau si anjing milik orang kaya” ucap Sarikhuluk menguatkan.
            “Korupsi kian menjamur. Orang jujur semakin terkubur. Mereka sudah tak malu-malu lagi korupsi, karena sudah menganggapnya sebagai profesi. Aku nek ngarani(aku kalau mengistilahkan: red) Indonesia tak lagi bisa disebut negara. Ini bukan negara NKRI tapi Perusaan NKRI” celetuk Adi. “Wus jangan ngawur gitu Ad, bagaimanapun juga kan sebagai warga yang baik kita tetap menjaga etika kita” nasihat Satria. “Menurutku dari sudut pandang bisnis, sebagaimana pandangan Adi, memang sangat layak untuk dikatakan sebagai perusahaan. Lha gimana coba, yang banyak menentukan bukan lagi rakyat dalam menentukan presiden. Hanya orang-orang elit dan berduit yang mampu untuk menjadi presiden. Minimal walaupun tidak kaya, `kan yang mendukung dibelakangnya harus orang kaya. Kamu juga bisa melihat `kan di desa kita, untuk menjadi kepala desa saja harus mengeluarkan kocek 1 milyar lebih, lha bagaimana jika mau jadi bupati, gubernur hingga presiden. Kalau untuk menjadi saja harus mengeluarkan biaya banyak, nanti kalau sudah jadi pasti akan mencari laba, seperti orang kulak. Makanya, dalam prespektif realita sekarang ini, aku sangat setuju kalau negara ini lebih mirip perusahaan daripada negara kedaulatan” tambah Sarikhuluk menguatkan. “Ad, berapa gajimu perhari?” tanya Satria. “Sekitar 150 ribu” jawab Adi. “Wah lumayan ya ketimbang gajiku sebagai guru” komentar Satria. “Bagaimanapun juga sebesar-besar gaji guru, masih tak bisa mengalahkan gaji pebisnis. Sebenarnya kalau orang kerja di proyek dengan jujur, pasti hidupnya mujur. Tapi kebanyakan tidak jujur, jadinya meski banyak, uang cepat kabur tak jelas arahnya, entah untuk main judi, main cewek dan lain sebagainya” pungkas Adi. Karena Adi lapar, pas ada orang jualan Tahu Thek, akhirnya pamit undur diri. Selesailah diskusi malam ini. Satriapun , kembali menerukan curhat ke Sarikhuluk.




Share this article :

2 komentar:

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan