Data
Buku :
Judul Buku : Against The Myth of Hulagu(Ain Jalut,
Melawan mitos Hulagu)
Kategori :
Fiksi Sejarah.
Pengarang :
Indra Gunawan, Lc.
Penerbit :
PT Elex Media Komputindo Kompas-Gramedia
Alamat
Penerbit : Jl. Palmerah Barat
29-37, Jakarta 10270
Edisi Cetakan :
Pertama
Tahun Terbit :
Februari 2014
Tebal Buku :
398 Halaman
Tipe : Soft Cover
Harga Buku :
62.800
Ketika disebut
tema sejarah Islam, kira-kira apa yang terbayang dalam benak anda? Apakah sekadar
kumpulan kejayaan masa lalu; sekadar deretan panjang mengenai ruang, waktu dan
manusia muslim dengan segenap sisi positif dan negatifnya, atau sekadar
konflik-konflik internal-eksternal politik yang selalu berakhir tragis? Apapun
persepsi anda dan bagaimanapun sejarah islam dipandang, semua tak lepas dari
kesalahkaprahan dalam memandang dan menyajikan sejarah. Bila sejarah hanya
dipandang sebagai masa lalu, maka masa lalu tak kan pernah kembali; ibarat
makanan akan dianggap basi. Bila penyajian sejarah hanya sekadar berisi tentang
rekaman tertulis mengenai tokoh-tokoh, nama tempat, angka-angka tahun, yang
statis dan menjemukan, maka sejarah tidak akan bisa dinikmati. Dinikmati saja
tak bisa apalagi mengambil manfaat, merekonstruksi, dan menghikmahinya. Karena
itulah, supaya sejarah islam atau sejarah pada umumnya bisa diambil manfaatnya
dengan semaksimal mungkin, maka pandangan tentang sejarah harus direkonstruksi
ulang. Sejarah bukan lagi dipandang sebagai kumpulan peristiwa yang usang, tapi
lebih dari itu sejarah adalah merupakan entitas antara masa lalu, masa kini,
dan masa depan. Dengan demikian belajar sejarah itu bisa juga dimaknai untuk
mempelajari masa kini dan masa depan. Kemudian supaya sejarah islam tak
terkesan menjemukan dan garing, pakar sejarah dituntut untuk menyajikannya
dengan sajian yang senikmat mungkin dan senyaman mungkin bagi para pembaca.
Karena itulah menulis sejarah dalam bentuk sastra yang dalam hal ini fiksi
sejarah merupakan tantangan tersendiri bagi pakar sejarah. Mengapa tantangan? Karena
penulis tak hanya dituntut untuk menguasai detail-detail pengetahuan sejarah,
pada waktu yang sama ia juga dituntut untuk menyajikannya dengan indah, renyah
dan layak baca. Di sisi lain penulis juga dituntut untuk menjaga orisinilitas
sejarah yang diangkat. Pada sudut pandang ini lah anda akan bisa menikmati
novel fiksi-sejarah yang berjudul: Ain Jalut, Melawan Mitos Hulagu, karya:
Indra San Meazza, Lc.
Buku novel
fiksi sejarah ini dicetak oleh penerbit
buku: “PT Elex Media Komputindo Kompas-Gramedia, Jakarta”. Pengarang adalah mahasiswa
Al-Azhar yang konsentrasi studi S2-nya di bidang sejarah dan peradaban Islam.
Penulis merupakan alumni pondok pesantren modern Gontor, Ponorogo Jawa Timur. Di Mesir penulis
tergolong mahasiswa yang aktif dan organisatoris. Aktif di berbagai organisasi,
produktif dalam menulis, dan kerapkali menjuarai berbagai perlombaan karya tulis
yang diadakan organisasi kemahasiswaan di Mesir. Diantara karya-karya yang
ditulisnya diantaranya: Fiksi(Kidung Doa di Taman Kurma, Kado untuk Mujahid,
Apa Kabarmu di Alam Sana, dan Novel Takdir Cinta), Non Fiksi(Timur
Tengah dalam Lintas & Pascakemerdekaan,dan Laskae Syuhada`).
Novel fiksi-sejarah ini merupakan novel kedua, dwilogi dari novel sebelumnya
yang berjudul, ‘The Downfall of the Dynasti Khianat di Tanah Baghdad’.
Seting, dan latar sejarahnya masih sama-sama menceritakan keganasan dan
kedikdayaan bangsa Mongol dalam menginvasi negara-negara islam secara khusus,
dan negara-negara di dunia pada umumnya. Hanya saja, kalau pada novel pertama
membicarakan secara khusus tentang keruntuhan dinasti Abbasiyah, yang ditandai
oleh jatuhnya khalifah terakhirnya yaitu Al-Musta`shim Billah, akibat makar dan
penghianatan wazir syi`ah, ibnu Al-qami, beserta faktor diterminan lainnya.
Sejak saat itu, sebagai bangsa, Mongol seolah menjadi momok raksasa bagi
seantero penduduk dunia. Mongol dan kaum tartar bukan saja ditakuti, bahkan akibat
kekejaman, keganasan, kemengan yang selaluh diraih, timbullah mitos di kalangan
penduduk kala itu, bahwa Mongol tak kan terkalahkan, sampai ada yang menganggap
kalau ada bangsa Mongool menyerang maka menyerah saja daripada menyetor nyawa
secara percuma, sebab sudah dipastikan mereka akan menang. Nah, dalam novel
kedua ini, Indra Gunawan atau Indra San Meazza melanjutkan kisah sejarah invasi
Mongol pada negeri-negeri Islam, yang pada puncaknya ternyata mitos tentang
tidak terkalahkannya Mongol bisa dilawan. Mitos bahwa Hulagu tak terkalahkan
nantinya akan terjawab pada pertempuran Ainun Jalut, pada bulan Ramadhan, yaitu
ketika pasukan mamalik di Mesir dengan mantap menyatukan suara untuk berjihad
melawan mongol yang dikomandoi Saifudin Quthus.
Dalam
novel ini, di samping dilengkapi dengan ensiklopedi mini sejarah islam, para
pembaca akan mendapat suguhan menarik mengenai sejarah Islam. Di samping
kita bisa mendapatkan fakta sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan secara
ilmiah, kita juga mendapat suguhan-suguhan yang tak membikin bosan, bahkan
semakin memperkuat karakter novelnya. Di antara tokoh sejara yang diangkat
adalah Sultan Alaudin Muhammad Al-Khawarizmi, Jalâludin, Aisyah Khatun, Mamdud,
Jihan Khatun, Dhahir Bybars, Izz bin Abdissalam dan lain sebagainya. Sedangkan
tokoh imaginer bisa kita baca melalui sosok, Said, Wael, Jakfar, Fadhil,
Zubaidah Zilan, dan Syekh Usamah. Kita akan dibuat kagum oleh ungkapan istri
shalihah yang romantis, Jihan Khatun istri Mamdud: “ Aku ingin menjadi permata
hatimu, suamiku. Aku ingin menghapus letihmu dengan senyumku,...(hal:16)’. Kita
akan terkesima dengan cinta antara Jihad(Julanar) dan Mamduh(Saifudin Quthus),
meski gelombang derita sempat memisahkan jarak dan ruang mereka, namun takdir
mempertemukan mereka kembali ketika Mamduh menjadi Panglima Mamalik, dengan
nama Saifudin Quths. Kita juga bisa melihat sosok Said, pemuda yang sebelumnya
sukses dalam bisnis, lantaran kedengkian saudara tiri akhirnya ia jatuh miskin
sampai akhirnya ia putus asa, ingin bunuh diri di sungai. Demikian pula sosok
Fadhil, pemuda yang tampan dan dimanjakan oleh keberlimpahan harta tuannya,
sampai akhirnya kandas akibat ulah perompak gurun yang menghabisi tuan dan
keluarganya, hingga ia pun hampir menjadi gila. Soso Syekh Usamah lah (syekh imaginer
yang pakar dalam bidang kedokteran dan sejarah) yang pada akhirnya membesarkan
hati Said dan Fadhil hingga menemukan kepercayaan dirinya kembali bahkan
nantinya turut serta dalam perang Ainun Jalut. Kita juga akan dibuat berdecak
kagum oleh ungkapan humanis syekh Usamah: “Dalam menolong orang lain, jangan
lihat siapa dia...Siapa saja yang butuh pertolongan, ulurkan tanganmu
secepatnya, meski pada orang gila ini(hal 271)”. Kita juga dibuat kagum oleh
kegigihan ulama sekaliber Izz bin Abdussalam yang tak hentinya memberikan
motivasi dan nasihat untuk meninggikan spirit kaum muslim yang sedang jatuh.
Ibarat kain,
penulis mampu menjahit dengan indah antara kisah nyata dengan penguatan kisah
tokoh imaginer, sehingga menyerupa baju yang indah dilihat dan nyaman
untuk dipakai. Penulis berhasil mengangkat kisah sejarah umat Islam masa lalu
dengan balutan sastra yang indah. Dalam buku ini kita bisa mengambil banyak
pelajaran dari sejarah. Sejarah bukanlah monumen yang mati, tapi ‘pelajaran
hidup’ yang bisa digunakan untuk melihat masa kini dan masa depan. Sejarah
dimaknai bukan sebagai ‘kata benda’(yang statis dan mati), tetapi dipahami
sebagai ‘kata kerja’(yang dinamis dan selalu dapat diambil pelajarannya di
sepanjang waktu). Sepongah-pongah manusia, sekuasa-kuasa manusia yang sombong,
seperti Hulagu pasti pada akhirnya mengalami kekalahan. Selama muslim bersatu
maka kemenangan kan kan dituju. Perpecahan, kedengkian, ambisi duniawilah yang
membuat muslim kalah sepanjang sejarah. Seburuk apapun kondisi manusia, di sana
masih ada harapan jika memiliki cahaya keimanan. Novel ini bukan sekadar
membahas tentang konflik sejarah umat Islam menghadapi tentara Mongol, ia juga
membahas tentang romantisme cinta, motivasi kehidupan, humanisme, dan
pentingnya ilmu pengetahuan dan sejarah sebagai piranti membangun peradaban.
Walaupu demikian –terlepas dari kelebihan buku-, tetap saja ada beberapa kesalahan
dalam penulisan; misalnya: pada hal 15(yang semestinya Mamdud ditulis menjadi
Mandud), pada hal 23 paragraf kesatu(Mamduh ditulis Mamdud), dan kalau kita
membaca literasi sejarah sebenarnya anak Mamdud adalah Mahmud, bukan Mamduh.
Secara umum novel fiksi-sejarah ini sangat bagus dan layak untuk dibaca oleh
mereka yang gemar sejarah. Cocok dibaca bagi siapa saja yang memandang sejarah
bukan sekadar rekaman masa lalu, tapi sebagai kompas untuk menuju masa depan
gemilang. Dengan sejarah kita akan mengerti betapa sejarah akan terulang.
Sangat tidak berlebihan sepertiga al-Qur`an berisi tentang kisah, yang
mengindikasikan bahwa sejarah sangat urgen bagi kehidupan manusia.
Sumengko,
Sabtu 17 Mei 2014/10:51
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !