Home » » Melawan Mitos Sejarah dengan Ilmu, Iman dan Cinta

Melawan Mitos Sejarah dengan Ilmu, Iman dan Cinta

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 17 Mei 2014 | 11.06


Data Buku :
Judul Buku                  : Against The Myth of Hulagu(Ain Jalut, Melawan mitos Hulagu)
Kategori                      : Fiksi Sejarah.
Pengarang                   : Indra Gunawan, Lc.
Penerbit                       : PT Elex Media Komputindo Kompas-Gramedia
Alamat Penerbit           : Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270
Edisi Cetakan              : Pertama
Tahun Terbit               : Februari 2014
Tebal Buku                 : 398 Halaman
Tipe                             : Soft Cover
Harga Buku                 : 62.800

Ketika disebut tema sejarah Islam, kira-kira apa yang terbayang dalam benak anda? Apakah sekadar kumpulan kejayaan masa lalu; sekadar deretan panjang mengenai ruang, waktu dan manusia muslim dengan segenap sisi positif dan negatifnya, atau sekadar konflik-konflik internal-eksternal politik yang selalu berakhir tragis? Apapun persepsi anda dan bagaimanapun sejarah islam dipandang, semua tak lepas dari kesalahkaprahan dalam memandang dan menyajikan sejarah. Bila sejarah hanya dipandang sebagai masa lalu, maka masa lalu tak kan pernah kembali; ibarat makanan akan dianggap basi. Bila penyajian sejarah hanya sekadar berisi tentang rekaman tertulis mengenai tokoh-tokoh, nama tempat, angka-angka tahun, yang statis dan menjemukan, maka sejarah tidak akan bisa dinikmati. Dinikmati saja tak bisa apalagi mengambil manfaat, merekonstruksi, dan menghikmahinya. Karena itulah, supaya sejarah islam atau sejarah pada umumnya bisa diambil manfaatnya dengan semaksimal mungkin, maka pandangan tentang sejarah harus direkonstruksi ulang. Sejarah bukan lagi dipandang sebagai kumpulan peristiwa yang usang, tapi lebih dari itu sejarah adalah merupakan entitas antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dengan demikian belajar sejarah itu bisa juga dimaknai untuk mempelajari masa kini dan masa depan. Kemudian supaya sejarah islam tak terkesan menjemukan dan garing, pakar sejarah dituntut untuk menyajikannya dengan sajian yang senikmat mungkin dan senyaman mungkin bagi para pembaca. Karena itulah menulis sejarah dalam bentuk sastra yang dalam hal ini fiksi sejarah merupakan tantangan tersendiri bagi pakar sejarah. Mengapa tantangan? Karena penulis tak hanya dituntut untuk menguasai detail-detail pengetahuan sejarah, pada waktu yang sama ia juga dituntut untuk menyajikannya dengan indah, renyah dan layak baca. Di sisi lain penulis juga dituntut untuk menjaga orisinilitas sejarah yang diangkat. Pada sudut pandang ini lah anda akan bisa menikmati novel fiksi-sejarah yang berjudul: Ain Jalut, Melawan Mitos Hulagu, karya: Indra San Meazza, Lc.
Buku novel fiksi sejarah  ini dicetak oleh penerbit buku: “PT Elex Media Komputindo Kompas-Gramedia, Jakarta”. Pengarang adalah mahasiswa Al-Azhar yang konsentrasi studi S2-nya di bidang sejarah dan peradaban Islam. Penulis merupakan alumni pondok pesantren modern Gontor,  Ponorogo Jawa Timur. Di Mesir penulis tergolong mahasiswa yang aktif dan organisatoris. Aktif di berbagai organisasi, produktif dalam menulis, dan kerapkali menjuarai berbagai perlombaan karya tulis yang diadakan organisasi kemahasiswaan di Mesir. Diantara karya-karya yang ditulisnya diantaranya: Fiksi(Kidung Doa di Taman Kurma, Kado untuk Mujahid, Apa Kabarmu di Alam Sana, dan Novel Takdir Cinta), Non Fiksi(Timur Tengah dalam Lintas & Pascakemerdekaan,dan Laskae Syuhada`). Novel fiksi-sejarah ini merupakan novel kedua, dwilogi dari novel sebelumnya yang berjudul, ‘The Downfall of the Dynasti Khianat di Tanah Baghdad’. Seting, dan latar sejarahnya masih sama-sama menceritakan keganasan dan kedikdayaan bangsa Mongol dalam menginvasi negara-negara islam secara khusus, dan negara-negara di dunia pada umumnya. Hanya saja, kalau pada novel pertama membicarakan secara khusus tentang keruntuhan dinasti Abbasiyah, yang ditandai oleh jatuhnya khalifah terakhirnya yaitu Al-Musta`shim Billah, akibat makar dan penghianatan wazir syi`ah, ibnu Al-qami, beserta faktor diterminan lainnya. Sejak saat itu, sebagai bangsa, Mongol seolah menjadi momok raksasa bagi seantero penduduk dunia. Mongol dan kaum tartar bukan saja ditakuti, bahkan akibat kekejaman, keganasan, kemengan yang selaluh diraih, timbullah mitos di kalangan penduduk kala itu, bahwa Mongol tak kan terkalahkan, sampai ada yang menganggap kalau ada bangsa Mongool menyerang maka menyerah saja daripada menyetor nyawa secara percuma, sebab sudah dipastikan mereka akan menang. Nah, dalam novel kedua ini, Indra Gunawan atau Indra San Meazza melanjutkan kisah sejarah invasi Mongol pada negeri-negeri Islam, yang pada puncaknya ternyata mitos tentang tidak terkalahkannya Mongol bisa dilawan. Mitos bahwa Hulagu tak terkalahkan nantinya akan terjawab pada pertempuran Ainun Jalut, pada bulan Ramadhan, yaitu ketika pasukan mamalik di Mesir dengan mantap menyatukan suara untuk berjihad melawan mongol yang dikomandoi Saifudin Quthus.
Dalam novel ini, di samping dilengkapi dengan ensiklopedi mini sejarah islam, para pembaca akan mendapat suguhan menarik mengenai sejarah Islam. Di samping kita bisa mendapatkan fakta sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, kita juga mendapat suguhan-suguhan yang tak membikin bosan, bahkan semakin memperkuat karakter novelnya. Di antara tokoh sejara yang diangkat adalah Sultan Alaudin Muhammad Al-Khawarizmi, Jalâludin, Aisyah Khatun, Mamdud, Jihan Khatun, Dhahir Bybars, Izz bin Abdissalam dan lain sebagainya. Sedangkan tokoh imaginer bisa kita baca melalui sosok, Said, Wael, Jakfar, Fadhil, Zubaidah Zilan, dan Syekh Usamah. Kita akan dibuat kagum oleh ungkapan istri shalihah yang romantis, Jihan Khatun istri Mamdud: “ Aku ingin menjadi permata hatimu, suamiku. Aku ingin menghapus letihmu dengan senyumku,...(hal:16)’. Kita akan terkesima dengan cinta antara Jihad(Julanar) dan Mamduh(Saifudin Quthus), meski gelombang derita sempat memisahkan jarak dan ruang mereka, namun takdir mempertemukan mereka kembali ketika Mamduh menjadi Panglima Mamalik, dengan nama Saifudin Quths. Kita juga bisa melihat sosok Said, pemuda yang sebelumnya sukses dalam bisnis, lantaran kedengkian saudara tiri akhirnya ia jatuh miskin sampai akhirnya ia putus asa, ingin bunuh diri di sungai. Demikian pula sosok Fadhil, pemuda yang tampan dan dimanjakan oleh keberlimpahan harta tuannya, sampai akhirnya kandas akibat ulah perompak gurun yang menghabisi tuan dan keluarganya, hingga ia pun hampir menjadi gila. Soso Syekh Usamah lah (syekh imaginer yang pakar dalam bidang kedokteran dan sejarah) yang pada akhirnya membesarkan hati Said dan Fadhil hingga menemukan kepercayaan dirinya kembali bahkan nantinya turut serta dalam perang Ainun Jalut. Kita juga akan dibuat berdecak kagum oleh ungkapan humanis syekh Usamah: “Dalam menolong orang lain, jangan lihat siapa dia...Siapa saja yang butuh pertolongan, ulurkan tanganmu secepatnya, meski pada orang gila ini(hal 271)”. Kita juga dibuat kagum oleh kegigihan ulama sekaliber Izz bin Abdussalam yang tak hentinya memberikan motivasi dan nasihat untuk meninggikan spirit kaum muslim yang sedang jatuh.

Ibarat kain, penulis mampu menjahit dengan indah antara kisah nyata dengan penguatan kisah tokoh imaginer, sehingga menyerupa baju yang indah dilihat dan nyaman untuk dipakai. Penulis berhasil mengangkat kisah sejarah umat Islam masa lalu dengan balutan sastra yang indah. Dalam buku ini kita bisa mengambil banyak pelajaran dari sejarah. Sejarah bukanlah monumen yang mati, tapi ‘pelajaran hidup’ yang bisa digunakan untuk melihat masa kini dan masa depan. Sejarah dimaknai bukan sebagai ‘kata benda’(yang statis dan mati), tetapi dipahami sebagai ‘kata kerja’(yang dinamis dan selalu dapat diambil pelajarannya di sepanjang waktu). Sepongah-pongah manusia, sekuasa-kuasa manusia yang sombong, seperti Hulagu pasti pada akhirnya mengalami kekalahan. Selama muslim bersatu maka kemenangan kan kan dituju. Perpecahan, kedengkian, ambisi duniawilah yang membuat muslim kalah sepanjang sejarah. Seburuk apapun kondisi manusia, di sana masih ada harapan jika memiliki cahaya keimanan. Novel ini bukan sekadar membahas tentang konflik sejarah umat Islam menghadapi tentara Mongol, ia juga membahas tentang romantisme cinta, motivasi kehidupan, humanisme, dan pentingnya ilmu pengetahuan dan sejarah sebagai piranti membangun peradaban. Walaupu demikian –terlepas dari kelebihan buku-, tetap saja ada beberapa kesalahan dalam penulisan; misalnya: pada hal 15(yang semestinya Mamdud ditulis menjadi Mandud), pada hal 23 paragraf kesatu(Mamduh ditulis Mamdud), dan kalau kita membaca literasi sejarah sebenarnya anak Mamdud adalah Mahmud, bukan Mamduh. Secara umum novel fiksi-sejarah ini sangat bagus dan layak untuk dibaca oleh mereka yang gemar sejarah. Cocok dibaca bagi siapa saja yang memandang sejarah bukan sekadar rekaman masa lalu, tapi sebagai kompas untuk menuju masa depan gemilang. Dengan sejarah kita akan mengerti betapa sejarah akan terulang. Sangat tidak berlebihan sepertiga al-Qur`an berisi tentang kisah, yang mengindikasikan bahwa sejarah sangat urgen bagi kehidupan manusia.


Sumengko, Sabtu 17 Mei 2014/10:51
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan