Aku
hidup dalam keluarga yang bisa dibilang ‘taat beragama’, bahkan pada taraf
tertentu bisa juga dikatakan oleh kebanyakan orang sebagai sikap yang fanatik.
Bapakku adalah seorang yang juga berprofesi sebagai pedagang sepatu. Meski
bukan seorang Ustadz, beliau sangat rajin membaca dan mengaji, Ia juga
mempunyai banyak teman yang sepaham dengannya. Ibuku merupakan ibu rumah tangga
yang berprofesi sebagai tukang jahit. Sejak kecil aku dididik sedemikian rupa
mengenai pentingnya memegang teguh prinsip, pentingnya menjaga nilai-nilai
agama di tengah masyarakat modern yang kian menjauh dari nilai-nilai agama.
Sebagai muslimah tentu saja sejak kecil aku sudah dibiasakan untuk berjilbab,
taat dan patuh kepada kedua orang tua, dan yang sampai sekarang diwanti-wanti
oleh kedua orangtuaku ialah mengenai hubungan lawan jenis, atau interaksi
dengan cowok yang bukan mahram. Aku sendiri sangat patuh dan menikmati apa saja
yang selama ini didoktrinkan orangtua kepadaku - aku sangat sayang dan patuh
pada mereka berdua, bagiku setelah cinta Allah dan Rasul-Nya, cinta pada kedua
orang tua adalah yang utama-. Dengan sikap keluargaku yang sangat ketat dalam
memegang prinsip, tentunya banyak reaksi diantara masyarakat yang tinggal
berdampingan dengan kami. Kadang malah banyak stigma-stigma negatif yang
disematkan tetangga pada keluarga kami: dibilang kolot, fanatik, kurang ramah,
tak toleran, keras kepala, dan yang paling menyakitkan kadang kami dibilang
sebagai aliran sesat, bahkan beda agama.
Apa
yang aku rasakan saat di rumah dan di lingkungan desa, juga aku rasakan ketika
aku di sekolah. Banyak di antara teman-teman yang memandang perilakuku ini
terbilang kolot, puritan, eksklusif dan kurang gaul. Aku memang paling menjaga
mengenai masalah busana, dan hubungan lawan jenis. Sesuai dengan apa yang aku
dapat dan pahami dari kedua orangtuaku: bagi muslimah yang sudah baligh
diwajibkan untuk menutup semua auratnya dengan jilbab kecuali muka dan telapak
tangan. Sedangkan dengan masalah hubungan lawan jenis, jangankan bersalaman, wong
pandang-memandang saja tidak boleh kok, apalagi kalau sampai ngobrol berduan, nge-date,
makan bareng, berboncengan dan yang semisalnya. Untuk masalah bersalaman ada
hadits yang seingatku intinya demikian: bahwa ditikam dengan besi itu lebih
baik, daripada bersentuhan dengan seseorang yang bukan mahramnya. Sedangkan
anjuran untuk mengandalikan pandangan itu seingatku terdapat dalam surat An-Nûr
ayat: 32/33, yang diistilahkan oleh para ahli dengan ghaddhul bashar(mengendalikan
pandangan). Dengan prinsip-prinsip inilah selama ini aku dan keluargaku
berusaha menjaga betul-betul dengan rintangan yang tak sedikit. Tak jarang di
berbagai kalangan, kami terkesan dikucilkan, dicuekin, dianggap aneh, dan
disindir dengan sindiran yang tentunya membuat hati sakit.
Anggota
keluargaku semua berjumlah enam orang. Bapak, ibu, aku, dua adik cowok dan
cewek, serta satu lagi adik cowok yang masih berusia enam bulan. Secara singkat
namaku Aisyah Mutiara Qolbi, Bapakku; Shohibul
Khair, Ibuku; Syahidah, adikku; Ridho Muhammad, Sakinah Hilya Auliya, dan yang
terkecil bernama Imran Aflah A`ili. Kami terhitung keluarga yang cukup mampu
secara finansial, dan dikenal sebagai keluarga yang taat beragama. Tempat yang
kami tinggali sekarang terhitung baru, karena kami baru menempatinya sekitar 3
bulanan. Sebelumnya kami tinggal di rumah peninggalan nenek, karena faktor
profesi pekerjaan Bapak, akhirnya bapak dan ibu memutuskan untuk pindah membeli
rumah baru di lokasi yang lebih prospek untuk berjualan dan tak jauh dari
tempat kulakan. Di tempat inilah untuk pertama kali kami bersinggungan dengan
suasana, kondisi, tempat, tradisi, komunikasi, yang berbeda dengan yang
sebelumnya kami rasakan. Di lingkungan kami ini bisa dikatakan sangat kaya
corak, karakter dan tradisi pemikiran yang bermacam-macam. Rata-rata memang
muslim, meski juga ada yang Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, Kejawen. Meski
rata-rata muslim, masyarakat muslim dilingkunganku juga terdiri dari berbagai macam
aliran pemahaman. Ada yang mengaku muslim, tapi tak begitu mengaindahkan
nilai-nilai Islam, ada yang berjilbab, ada yang tak berjilbab, ada yang pakai
kerudung tapi hanya kerudung gaul, dan masih banyak keanekaragaman lain yang
tak mungkin disebut semua dalam tulisan ini. Intinya, lingkungan kami sangat
heterogen. Di lingkungan yang baru inilah kami merasakan banyak rintangan dan
stigma yang negatif, terutama dalam hal komunikasi sosial. Di sisi lain perlu
diakui juga, secara umum meskipun beterogen, penduduk sini pada umumnya sangat toleran,
baik dan supel.
Di
lingkungan yang baru kami mengalami kendala-kendala yang sangat serius terutama
tentang masalah komunikasi sosial. Awalnya mereka sebenarnya sangat terbuka
menyambut kehadiran kami, tapi lama-lama mereka mencueki dan menjauhi kami.
Bahkan ketika sampai kami tinggal tiga bulan di sini hubungan kami dengan
masyarakat sekitar semakin parah. Aku terkadang menyempatkan diri untuk
berpikir dan merenung, kenapa ya kok hubungan keluargaku dan masyarakat tak
begitu harmonis? Apa karena kegigihan keluargaku yang begitu ketat memegang
ajaran agama? Memang keluargaku sangat anti dengan yang namanya acara adat yang
berbau agama seperti kenduren, diba`an, tahlilan, mauludan, istighasah,
bancaan, ruwatan dan lain sebagainya, karena bagi bapak, semua itu tidak ada
tuntunannya dari Nabi. Makanya, setiap kali diundang di acara-acara ritual
seperti itu, sudah dipastikan bapak dan keluarga pasti tidak hadir. Kadang
kalau kami dikirim makanan-makanan dari masyarakat yang telah melakukan
acara-acara misalkan tahlilan, bapak selalu menyuruh untuk membuang karena
dinilai haram. Kami juga sangat ketat dalam menjaga hubungan lawan jenis.
Keluargaku tidak akan menyalami atau menjabat tangan orang yang bukan mahram.
Kalau ibu dari pasar, misalkan ada orang yang mau memberi bantuan mengantar ke
rumah selalu tak mau kalau yang menawarkan bukan mahramnya. Keteguhan prinsip
seperti inilah yang mungkin barangkali membuat kerenggangan antara keluarga
kami dengan masyarakat sekitar. Padahal sebenarnya kami sebagai manusia juga
ingin bertegursapa, saling membantu, bersosialisasi, namun terdapat jurang
pemahaman yang sedimikian dalam sehingga membuat berat untuk menjalin
komunikasi.
Suatu
ketika, ibu di rumah hanya bersama adik terkecil, Imran. Waktu itu ibu mau
membuang sampah ke belakang rumah, waktu itu suasana masih mendung, dan baru
saja hujan reda. Sewaktu membuang sampah, ibu terpeleset jatuh ke tempat
pembuangan sampah yang cukup dalam. Kaki ibu pun patah. Ia menjerit kesakitan,
sembari meminta tolong pada orang sekitar. Karena mendengar teriakan minta
tolong, akhirnya datang juga tetangga yang menolong. Waktu itu yang mau nolong
ibu ialah Pak Jumali, selaku Kepala Rt. Sewaktu mau ditolong, Ibu jelas menolak
karena yang akan menolong, mengangkatnya, bukanlah mahramnya, Ia akan meras
berdosa jika bersentuhan dengan orang yang bukan mahramnya. Ia sangat
mengharap, kalau yang menolongnya itu ialah ibu-ibu, namun mana kuat ibu-ibu
mengangkat badannya yang lumayan besar. Hatinya berkecamuk. Sesaat tertahan
dalam pikiran yang bimbang – kalau menerima tawaran pertolongan, merasa dosa
karena yang nolong bukan mahram, kalau ga diterima siapa lagi yang akan nolong,
wong kakinya patah dan membutuhkan segera pertolongan supaya tidak
terlalu parah – belum sempat berfikir panjang akhirnya dengan sigap dan lekas,
Pak Jumali langsung mengangkatnya –tanpa persetujuannya- sembari berkomentar
kesal: ‘Bu, meski bukan mahram, saya tidak akan ngapa-ngapain, saya ini murni
menolong, lagian kalau terpaksa kan ga apa-apa’. Ibu terdiam, Ia tidak bisa
membalasnya. Al-Hamdulillah, karena waktunya tepat, kaki ibu bisa diselamatkan,
dan segera dioperasi.
Yang
senada dengan kejadian itu, suatu saat sewaktu aku mau kuliah, waktu itu di
kampus akan diadakan UTS, dalam perjalanan aku menjumpai satu keluarga jatuh
dari sepeda dan masuk sawah –aku sendiri tidak tau penyebabnya, apa karena
ngantuk atau sebab lainnya-, anak dan istrinya tidak apa-apa hanya wajah dan
bajunya dipenuhi lumpur sawah; tapi suaminya sebelum jatuh ke sawah, kepalanya
sempat tertabrak pohon asam, sehingga kepalanya luka berdarah dan lumayan
parah. Melihat kejadian itu aku secara spontan berhenti membantu ibu dan anak
bangkit dari sawah –kebetulan waktu itu masih sangat pagi dan sepi belum
terlihat orang lalu-lalang-, alhamdulillah tidak apa-apa, yang membuat aku
bingung ialah bagaimana harus menolong suaminya, suaminya masih muda, dia bukan
mahramku, sedang waktu itu tidak ada orang yang, kalau ga segera ditolong orang
itu bisa meninggal lantaran luka kepalanya sangat parah. Kejadian itu begitu
dilematis. Istrinya dengan sangat memohon meminta bantuan aku untuk mengangkat
suaminya ke mobilku dan segera di bawa ke rumah sakit terdekat. “Maaf mbak,
bukannya aku tak mau menolong, tapi suami mbak mukan mahram saya” jawabku
sekenanya. “Aduh tolong mbak, ini darurat, kalau tidak suami saya bisa
meninggal, sampean tega kalau gara-gara bukan mahram kemudian tak menolong,
lantas suami saya meninggal dunia. Penting mana nyawa orang dengan menjaga diri
dari yang bukan mahram” sahut istri lelaki yang sedang kecelakaan. Serasa
ditampar kesadaran hatiku, akhirnya dengan lekas aku segera membopongnya dengan
bantuan istrinya, sampai aku antarkan ke rumah sakit terdekat. Waktu itu aku
merasa dosa, telah bersentuan dengan orang yang bukan mahram, tapi sekaligus
merasa bermanfaat pada orang lain karena telah membantunya pergi ke rumah sakit,
meski akhirnya aku tidak bisa mengikuti UTS di kampus karena terlambat.
Aku
juga punya teman cewek di kampus yang sepaham dan sealiran dengan pemahaman
yang aku pegang teguh dengan keluargaku, namanya Amel –bukan nama sebenarnya-,
di sudah bertunangan; sekitar tiga bulan lagi dia akan menikah. Apa yang
dialaminya sebenarnya juga masih bertalian erat dengan beberapa kisah yang baru
saja aku ceritakan tadi. Amel memang sangat anti dengan yang namanya pacaran,
ia membatasi pergaulan hanya sesama teman perempuan, dan cendrung menjauh kalau
ada laki-laki yang bukan mahramnya. Amel adalah mahasiswi yang sangat
pandai dalam bidang studi Matematika.
Waktu itu ada teman cowok yang minta bantuan untuk diberikan penjelasan
mengenai bab-bab tertentu mengenai matematika. Bukannya Ia tak mau membantu,
tapi karena teman cowok yang bernama Bagus itu bukan mahramnya, maka ia merasa
berdosa kalau dia membantunya, karena jelas nanti akan berhadap-hadapan dan
terjadi saling pandang memandang di antara keduanya. Di sisi lain, kalau Bagus
tidak dibantu maka resikonya kalau sampai tahun ini gagal lagi dalam ujian,
pasti Ia akan terkena DO dari kampus, karena sudah beberapa kali gagal,
lantaran ada kesibukan sosial di luar kampus. Akhirnya amel tetap menolak
membantu, tentunya dengan alasan bukan mahram. Tapi yang membuat Amel tersentak
ialah ketika ia mendengar teguran dari sahabatnya ,Rindi Antika(cewek ini meski
belum berjilbab tapi secara pakaian sangat sopan dan baik, Ia termasuk dari
sahabat Amel, bahkan sering curhat sama dia-, ‘Mel, maaf sebelumnya. Bukannya aku
ikut campur. Kenapa kamu ga mau bantu orang yang sedang kesusahan? Meski bukan
mahram dia kan ga bakal ngapa-ngapain. Sekarang aku tanya, tunangan itu mahram
apa bukan? Kalau bukan kenapa kamu sering telponan sama dia, chatting-ngan,
fb-an, tweeter-ran, dan kadang kalau ada perlu kalian juga
bertatap muka meski tak berjabat tangan, bukankah itu lebih parah? Bukankah kedudukannya
sama-sama bukan mahram? Kenapa kamu membeda-bedakannya, padahal Bagus itu
benar-benar membutuhkan bantuanmu’. Amel sangat tersentak dengan teguran
sahabatnya itu. Dalam hati Amel membatin, ‘betul juga kata Rindi, astaghfirullâh...selama
ini aku telah berbuat salah, meski sama tunangan kan belum halal’. Dengan
pikiran yang berkecamuk dan penuh dilema, akhirnya Amel mau bantu dengan syarat
teman-teman ceweknya mendampinginya.
Beberapa
kejadian itu membuat aku bingung. Mungkin gak ya, kita tetap berpegang teguh
dengan prinsip nilai yang kita anut, tetapi kita tetap bisa menjaga hubungan
yang harmonis dengan orang? Saling membantu, saling menolong, dengan tetap
menjaga prinsip. Berbulan-bulan aku berpikir serius mengenai jawaban
pertanyaanku itu. Pernah aku bertanya pada bapakku langsung, tentang
pertanyaanku tadi tentu saja aku iringi dengan kasus-kasus nyata yang bertentangan
dengan prinsip misalkan: “pak bagaimana ketika ada orang yang sedang mengadakan
tahlilan, kemudian terjadi kebakaran di rumah itu, apa kita perlu membantu,
mereka kan melakukan bid`ah, apa perlu ditolong? Bagaimana kalau ada orang yang
bukan mahram mengalami kecelakaan lantas butuh bantuan kita, dan waktu itu yang
ada hanya kita, apa harus kita tolong? Apakan menolong orang itu tidak boleh
jika orang yang kita tolong tak sejalan dengan pemahaman dan pemikiran kita? Apakah
ada pertentangan antara agama dan menolong orang yang tak seagama?” masih
banyak lagi sebenarnya yang aku tanyakan ke bapak, tapi jawabannya sama yaitu: “yang
berhak ditolong adalah yang tidak melanggar syari`at, kalau kamu menolong orang
yang melanggar syari`at, sama saja kamu menolong orang berbuat salah.
Kemungkaran itu jangan malah ditolong, tapi kewajiban kita adalah mencegahnya”.
Sebagai anak tentunya aku nurut dan takzim pada beliau, dan aku sama sekali tak
membantahnya. Tapi tetap saja masih ada yang mengganjal di hati, penjelasan
bapak memang benar, kemungkaran memang harus dicegah, tapi kok kurang pas
dengan pertanyaannya.
Berbulan-bulan
aku dirundung bingung, sembari berusaha mencari jawaban yang pas dan tepat
mengenai pertanyaan-pertanyaan tadi. Selama ini aku dan keluargaku memang
sangat memegang teguh prinsip, tapi mengapa kehidupan sosial kami dengan
masyarakat kok tak kunjung harmonis, semakin hari semakin senjang. Sampai
akhirnya sewaktu ada kegiatan kampus berupa penelitian ke kampung-kampung
mengenai kesadaran kesehatan masyarakat, di salah satu kampung aku
diperjumpakan dengan seorang yang bernama Sarikhuluk. Sarikhuluk bukan guru,
yai, dosen, pakar, kiai, ustadz atau sebutan formal lainnya. Ia mengaku bukan
siapa-siapa dan merasa seperti manusia biasa sebagaimana manusia yang lainnya.
Ia hanya mengenyam bangku sekolah formal sampai SD saja, namun yang membuat aku
heran, dia bukan siapa-siapa dan tak mempunya profesi dan title apa-apa, tapi
kenapa dia begitu bisa berpengaruh di kampungnya. Kampungnya termasuk kampung
sang sangat sigap dalam hal kesehatan, kebersihan dan lain sebagainya. Di
kampungnya pula, konflik-konflik aliran sangat bisa diminimalisir, meskipun di
kampungnya jauh lebih plural daripada kampungku. Aku sangat penasaran dan ingin
sekali bertanya-tanya tentang resep apa saja yang bisa membuat desa ini begitu
rukun, damai dan toleran. Al-hamdulillah akhirnya, aku bisa mewancarianya
bersama teman-temanku sewaktu dia lagi sibuk di kebun pisangnya. “Pak maaf
menganggu, apa bisa kami meminta waktunya sebentar. Ada teman saya yang mau
mewawanzarai bapak?” tanya Irma, temanku. “Ya monggo-monggo, tapi di
sini aja ga apa-apa kan mbak?” jawab Sarikhuluk. “Ya pak, ga papa, terimakasih
sebelumnya”.
Aku
mulai menyapanya: “Pak, perkenalkan nama saya Aisyah Mutiara Qolbi, panggil
saja Tiara. Jujur saya sangat kagum dengan kondisi di kampung bapak ini.
Warganya begitu heterogen dan plural, tapi kok bisa ya rukun dan damai dan
tetap saling tolong menolong. Lebih kagum lagi, bapak bukan siapa-siapa disini
dan tak mempunyai title dan kedudukan apa-apa tapi kok perannya sangat besar di
sini, bahkan tak sedikit orang yang meminta bantuan ke jenengan? Pertanyaan
saya sebenarnya singkat saja: Mungkin gak pak, kita tetap berpegang teguh
dengan prinsip nilai yang kita anut, tetapi kita tetap bisa menjaga hubungan
yang harmonis dengan orang?” pertanyaanku singkat.
“Wah mbok jangan-jangan
dibesar-besarkan gitu mbak, sebenarnya kampung di sini juga sama saja dengan
kampung yang lain, saya juga perannya biasa-biasa saja. Memang saya tak peduli
dengan status dan tak memiliki status apa-apa, kunci hidup itu satu mbak, yaitu
apa kita bisa bermanfaat dengan orang lain apa tidak. Walau jabatan tinggi,
title juga banyak, tapi kalau sedikit manfaat, bahkan banyak menyusahkan orang
itu nonsense(omong kosong) mbak. Kata ar-rahmân dan ar-rahîm
sebenarnya memberikan pelajaran berharga pada kita. Kalau ar-rahmân
skalanya horisontal dan sesama mahluk, artinya kita dalam berbuat baik tidak
memandang apakah yang kita tolong itu orang yang seagama sama kita, orang yang
sepaham dengan kita atau tidak, sebagaimana Tuhan yang tak membeda-bedakan
dalam memberikan sinar mentari kepada seluruh ciptaannya di bumi, baik itu
muslim maupun kafir. Kalau ar-rahîm skalanya itu vertikal dan
transenden, maksudnya hubungan dan manfaat khusus kita dengan Tuhan, artinya
masing-masing dari kitanmeski secara sosial dituntut baik, tapi kita tetap
mempunyai ruang privasi untuk mendekatkan atau mengintensifkan hubungan dengan
Tuhan. Gampanganya manfaat kedua ini memang lebih pribadi, dan khusus. Apakah
keduanya bisa dipadukan? Ya jelas bisa mbak. Buktinya Allah memadukannya gitu. Bismillahirrahmânirrahîm.
Sampean juga bisa melihat kerukunan yang terbina di kampung ini.
Bukannya mereka sepaham, seia, dan sekata, tapi mereka sama-sama sadar bahwa
masalah keyakinan itu memang masalah privasi dan tidak bisa dipaksakan ke orang
lain, namun sebagai manusia, apapun perbedaannya harus tetap bisa bermanfaat
pada orang lain. Dalam konsep Islam `kan ada konsep: rahmatan lil `âlamîn,
jadi kalau kedatangan agama Islam hanya membuat laknat bagi alam maka batallah
kehadiran agama. Agama ada itu untuk mencerahkan, bukan mengelamkan. Kebanyakan
konflik-konflik yang terjadi saat ini, khususnya umat Islam ialah ketika
perbedaan yang sifatnya tanawwu`(fariativ/cabang berkaitan dengan hukum)
dianggap sebagai keyakinan, sehingga yang tidak sepaham dengannya dibenci,
dijauhi bahkan diserang baik melalui lisan atau tulis. Padahal secara
prinsip(akidah) Tuhannya sama-sama Allah, Nabinya sama-sama Muhammad, Shalat,
Zakat, Puasanya juga sama. Yang menyebabkan konflik meluas ialah ketika
perbedaan cabang itu dibesar-besarkan sehingga berimplikasi negatif berupa
tidak menolong kalau bukan golongannya. Menolong kok dibeda-bedakan. Siapa saja
yang butuh pertolongan, asalkan memang benar-benar butuh dan tentunya bukan
dalam rangka maksiat maka harus ditolong. Mungkin juga mbak sudah hafal mengenai
hadits yang menurut saya bernilai universal yaitu intinya: tingkatan iman yang
paling rendah ialah membuang gangguan(duri atau yang lainnya) dari jalan. Coba
perhatikan di situ kata kuncinya ialah berusaha bermanfaat dengan menyingkirkan
gangguan dari jalan, padahal yang lewat jalan itu `kan bukan hanya orang Islam
saja. Makanya kami tidak pernah membeda-bedakan dalam hal menolong asal
pertolongannya tepat, dan tidak menggadaikan keyakinan masing-masing. Saya
sangat tau betul dengan pemahaman mbak, atau yang semisal dengan sampean,
karena saya juga banyak teman yang seperti mbak, bahkan di kampung ini tak
sedikit yang berpaham seperti mbak, tapi toh rukun-rukun aja. Kuncinya mereka
selalu menjalin komunikasi yang baik. Masalah keyakinan, itu memanga sangat
privat, kita tidak bisa memaksa orang untuk sepaham dengan kita, dan
masing-masing dari kita akan mempertanggunjawabkannya kelak di hadapan Allah;
tapi bahwa kita sebagai manusia harus tetap bermanfaat itu tidak bisa ditawar
lagi. Ada yang bilang: Allah butuh akidahmu, sedangkan manusia butuh akhlakmu.
Intinya maksudnya, kalau kita ‘dianggap baik’ dalam beragama tapi kok jelek
hubungan secara sosial, berarti ada yang tidak beres dengan pemahaman kita.
Bedakan antara ‘pemahaman’ kita mengenai al-Qur`an dan hadits dengan al-Qur`an
dan hadits itu sendiri” jawab Bapak. Sarikhuluk dengan mengalir tanpa henti,
seakan-akan yang sedang berbicara di hadapanku adalah Ustadz, kiai, dosen,
pakar sosial dan berbagai title yang lain. Setelah mendapat jawaban dari Pak
Sarikhuluk, akhirnya aku lumayan tercerahkan. Kita boleh saja memegang teguh
prinsip kita, tapi jangan sampai secara sosial kita menjadi tak bermanfaat
gara-gara pemahaman yang beda. Masalah keyakinan masing-masing akan
mempertanggungjawabkan sendiri di hadapan Tuhan. Manusia yang tak mau berbuat
baik pada orang lain, tak mau menolong orang yang tak sepaham dengannya, adalah
manusia yang belum lulus kemanusiannya. Thanks very much Bapak
Sarikhuluk, semoga pencerahan ini bisa aku bawa ke lingkungan keluarga dan
masyarakatku.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !