Home » » Filosofi TANDHUR

Filosofi TANDHUR

Written By Amoe Hirata on Selasa, 14 April 2015 | 12.46

Tandhur” sebagai sebuah kata, memiliki filosofi yang tidak sederhana. Paling tidak ada beberapa penjelasan yang mewakilinya: Pertama, sebagai kata yang lahir dari bahasa Jawa, ia berarti: menanam. Ada beberapa contoh pribahasa Jawa yang menggunakan kata-kata ini seperti: “Opo seng mbug tandur yo iku bakale seng mbug unduh”(Apa yang kamu tanam, yaitu yang bakal kamu panen). Kedua, dalam bahasa Arab “tandhur” diistilahkan: “zara`”. Karenanya, ada pribahasa: “man zara`a hashada”(barangsiapa menanam, pasti mengetam). Kedua pribahasa ini –baik dari Jawa maupun Arab- menggambarkan bahwa “tandhur” adalah hakikat hidup manusia. Di dalamnya ada usaha serius, perencanaan, penentuan bibit pilihan, pengetahuan mendalam tentang tanah, penguasaan musim, sinergi petani, penguasaan air, dan lain sebagainya. Karena unsur ‘tandhur’ yang begitu kompleks, maka sebagai petani, harus memiliki sifat-sifat luhur: kesabaran, keuletan, ketelatenan, kecepatan, kepekaan dan sifat-sifat lainnya. Ia menghadapi tanaman dan tanah bukan sebaga pengeksploitir, tapi sebagai sahabat. Boleh juga “tandhur” berasal dari kata Arab: تَنْظُرُ tandhur. Artinya memandang sesuatu dengan pemikiran mendalam, bukan parsial, superfisial dan wadak. Dalam bahasa jawa ada hewan bernama undhur-undhur jalannya sangat pelan dan ke belakang. Kalau dikaitkan dengan kata tandhur dalam bahasa Arab, maka ada relevansinya yaitu: memandang sesuatu yang diiringi pemikiran yang mendalam(berasas historis), pelan-pelan, hati-hati supaya menghasilkan konklusi yang benar.
Uniknya, dalam al-Qur`an keberuntungan diistilahkan dengan kata: “al-falāh”. Kata ini pada asalnya berarti: “Membelah”, yang merupakan salah satu proses penting yang dilakukan petani untuk mengolah tanah. Makanya tidak mengherankan pula bahwa, bahasa Arabnya ‘petani’ ialah ‘Fallāhun’. Mungkin kita akan bertanya-tanya, ‘mengapa dalam al-Qur`an keberuntungan diistilahkan dengan petani atau dunia pertanian?’. Bayangkan! Betapa beruntungnya, petani misalkan hanya menanam satu bulir padi, kemudian coba hasilnya berapa? Beratus-ratus padi. Bukankah ini keberuntungan yang luar biasa? Makanya tidak heran jika amal seseorang dilipatgandakan sebagaimana biji tanaman(yang mempunyai daya lipat ganda), sebagaimana ayat berikut:
مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتۡ سَبۡعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنۢبُلَةٖ مِّاْئَةُ حَبَّةٖۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ ٢٦١
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui(Qs. Al-Baqarah: 261).
            Maka meminjam istilah ‘petani’ atau wong kang tandhur, kita akan bisa menjelaskan filosofi tandhur. Dalam hidup ini, sejatinya manusia sedangan menanam, baik kebaikan maupun keburukan. Namun, sebagai orang Islam, serta manusia pada umumnya –yang masih murni kemanusiaannya-, pasti menanam kebaikan. Dalam sebuah pertanian, ada beberapa unsur penting yang harus ada: petani, tanaman atau bibit, tanah, alat pertanian, dan pengalaman sekaligus ilmu pertanian. Sebagai contoh kecil misalkan: kita mendirikan sebuah organisasi sosial, harus jelas penanamnya siapa, apa yang ditanam, kapan menanam, bagaimana menanam, untuk apa menanam. Semuanya harus jelas. Bila regulasinya salah, maka akan terjadi kesalahan pula terhadap hasil tanaman. Manusia yang tidak menanam bagaimana mungkin akan mendapatkan tanaman. Manusia menanam jauh lebih mulia daripada orang yang berpangku tangan dan hanya menerima tanaman.
Karena pentingnya menanam, sampai-sampai Rasulullah menyuruh umatnya tetap menanam, meskipun kiamat sudah semakin dekat:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنْ قَامَتْ عَلَى أَحَدِكُمُ الْقِيَامَةُ، وَفِي يَدِهِ فَسِيلَةٌ فَلْيَغْرِسْهَا "

Jika datang hari kiamat dan ditangan salah seorang kalian ada fasiilah (bibit kurma) maka tanamlah.” [HR Ahmad dan Bukhari dalam adabul mufrad. Syu’aib Al-Arnauth mengatakan sanadnya sahih sesuai syarat Muslim]. Bayangkan! Ketika menjelang kiamat pun, kita jika memiliki kesempatan untuk menanam kebaikan, maka tetaplah menanam. Pada hadits tersebut contohnya adalah bibit kurma. Jadi filosofi penting “tandhur” ialah kesadaran mendalam manusia untuk selalu menanam, bukan sekadar menanam, tetapi menanam kebaikan. Tapi yang namanya penanam, harus tetap sadar bahwa ia hanya bisa menanam. Masalah hasil, paka sepenuhnya hak prerogatif Tuhan. Tidak boleh sok dan sombong terhadap tanaman. Ingat betul-betul kejadian yang terjadi pada pemilik kebun yang dengan PD-nya pasti menanam tanpa melibatkan peran Tuhan, sehingga tanamannya hangus(Qs. Al-Qalam: 18-25); atau seperti pemilik kebun yang bangga dengan perkebunannya sehingga merendahkan orang lain dan merasa PD masuk surga dengan harta yang dimiliki sehingga tanamannya ludes(Qs. Al-Kahfi: 32-44). Di dunia ini kita terus menanam, hasil kita serahkan pada Allah. Itulah filosofi tandhur.
Share this article :

2 komentar:

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan