Tragedi Penundaan
Written By Amoe Hirata on Minggu, 30 November 2014 | 00.23
Salah
satu ciri yang sangat inheren pada orang-orang besar ialah kesanggupan untuk
tidak menunda-nunda pekerjaan. Bagi mereka, penundaan adalah tragedi. Apa
jadinya jika Rasul menunda dakwahnya hingga semua keluarganya masuk Islam, apa
jadinya jika Abu Bakar menangguhkan Usamah bin Zaid ke negeri Syam, apa jadinya
jika Shalahudin Al-Ayyubi menunda misi sucinya membebaskan Al-Quds, apa jadinya
jika Soekarno-Hatta menunda proklamasi kemerdekaan Indonesia, apa jadinya jika
para pahlawan nasional berleha-leha menunda perjuangan untuk merebut
kemerdekaan? Satu detik waktu yang tersia, sangat berpengaruh terhadap kesuksesan
yang didamba. Karena itulah, penundaan sekecil apapun akan berdampak buruk bagi
kesuksesan.
Penundaan
berdampak buruk bukan terletak pada besar kecilnya pekerjaan, tapi pada cara
pandang yang salah terhadap pekerjaan. Pekerjaan yang semestinya harus
diselesaikan tepat waktu, kemudian diselesaikan seperti yang dimau. Inilah
mengapa dalam al-Qur`an ada ungkapan: Faidza faraghta fanshab(maka
apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain). Ayat ini sangat jelas tidak memberi ruang
untuk penundaan, meskipun tidak menafikan jeda untuk istirahat. Pada ayat lain
digambarkan betapa penundaan selalu berbuah penyesalan. Sering disebutkan kata ‘ya
laitani’ sebagai gambaran penyesalan yang sangat luar biasa ketika gagal di
akhirat. Mereka menyesal karena sewaktu di dunia tidak melakukan amal dengan
sebaik-baiknya. Orang yang masuk surga saja menyesal karena tidak maksimal
beramal, apa lagi yang masuk neraka, pasti penyesalannya berkali-kali lipat. So,
penundaan adalah tragedi, bagi yang tidak mau menyesal di kemudian hari, maka
mulai detik ini segera melakukan sesuatu yang berarti.
Tanpa Sadar Berfikir Sekuler
Written By Amoe Hirata on Jumat, 28 November 2014 | 19.35
Pernahkah
anda mendengar ungkapan-ungkapan berikut: “Ini masjid, kalau mau pacaran di
luar masjid saja. Jangan mengotori
masjid dengan perbuatan maksiat”. “Ini bulan Ramadhan, jangan sekali-kali
berkata kotor”. “Ini masjid bukan pasar. Kalau mau berpolitik di luar masjid
saja”. “Kalau dana pribadi sih tidak apa-apa, ini dana umat maka dhalim kalau
sampai menyia-nyiakan dana umat”. Pernyataan-pernyataan tadi sekilas benar,
namun setelah dicermati ada kejanggalan-kejanggalan ketika dihadapkan dengan
pertanyaan-pertanyaan berikut: “Kalau pacaran memang haram, memang apa hanya
haram ketika di masjid? Perbuatan maksiat memangnya hanya dilarang ketika di
masjid”. “Emang boleh berkata kotor di luar bulan Ramadhan?”. “Emang Rasul
memisah-misahkan antara urusan masjid dan negara. Padahal menurut sejarahnya
masjid menjadi pusat kegiatan?”. “Emang kalau dana pribadi tidak dhalim kalau
disia-siakan?”. Itu hanya sekadar contoh. Karena masih banyak lagi contoh dari
pernyataan berpola fikir sekuler. Maka jangan heran jika didapati orang yang
ber-casing muslim, tapi cara pandangnya sekuler. Ini sangat halus, tapi
jarang yang bisa lolos.
Bila Tak Ikhlas Tak Bakal Jadi Daging
Di
depan terminal bus Ponorogo, saat menunggu bus jurusan Surabaya, ada seorang duduk
di sampingku. Dilihat dari gaya pakaiannya, terlihat seperti guru. Ia tiba-tiba
berbicara menyoal kenaikan tarif angkutan yang sangat melambung tinggi, padahal
BBM hanya naik dua ribu rupiah. Biasanya ongkos dari Ponorogo ke Madiun hanya
delapan ribu, sekarang naik jadi tiga belas ribu. Di sela-sela obrolan itulah
dia berkata: “Bila orang yang bayar tak ikhlas, maka tak akan jadi daging”. Apa
yang diucapkan orang ini seakan terdengar sederhana, namun ketika diresapi
secara mendalam, sangat sarat makna. Dari ucapannya tergambar suatu sikap
religius. Ia sangat peduli akan makna yang terkandung dalam agama, yaitu makna
keberkahan. Makna yang kian hari makin tercerabut dari orang-orang Indonesia.
Nilai perdagangan liberal telah menceraikan manusia dari akhlak. Keuntungan
menjadi muara tujuan. Akibatnya jelas, betapapun besar keuntungan yang didapat –karena
dihasilkan dengan cara mengeksploitasi orang lain-, maka hasil didapatkan tidak
akan berkah. “Tidak akan jadi daging” adalah gambaran nyata dari perbuatan yang
anti nilai, dan mendewakan keuntungan materi sehingga apa yang dihasilkan tidak
akan berkah dan berarti.
Menyibak Pesona MII Camplong
Para pembaca yang budiman, kita
sekalian mungkin pernah mendengar bait lagu yang dinyanyikan oleh Chrisye,
“masa-masa paling indah, masa-masa di sekolah”. Bila dicermati secara mendalam
ada benarnya juga bait lagu tersebut. Di antara masa-masa paling indah memang
pada masa di sekolah. Keindahan pada masa sekolah bisa dilihat dari proses kegiatan
akademis yang membentuk karakter keilmuan para siswa; komunikasi intensif antarsiswa
yang membangun kesadaran berkomunikasi-sosial; dan pengalaman-pengalaman tak
terlupakan sebagai proses penemuan jati diri. Beberapa hal itulah yang
menjadikan masa di sekolah adalah masa paling indah.
Jika bait lagu itu diganti menjadi
seperti ini, ‘masa-masa paling indah, masa-masa di ma`had(baca: pondok)’, maka
keindahannya bukan hanya paling indah, tapi paling paling dan paling indah.
Kenapa bisa demikian? Jawabannya –menurut hemat penulis- adalah sebagai
berikut: Pertama, berbeda dengan sistem sekolah di luar, di pondok
interaksi antar siswa(baca: santri) lebih banyak. Kalau diluar hanya enam
sampai tujuh jam, maka di pondok bisa ketemu sampai dua puluh empat jam. Hal
ini memungkinkan para santri mengenal lebih dalam, berinteraksi lebih intens, dan
berkomunikasi secara aktif untuk berbagi pengalaman, sehingga jika ada kenangan
indah, maka kenangan itu menjadi berlipat ganda dibandingkan dengan siswa di
sekolah luar.
Kedua, dari segi
pendisiplinan dan pengenalan potensi siswa, maka di pondok jauh lebih besar
peluangnya. Di sekolah luar mereka berdisiplin hanya sebatas ketika di sekolah,
adapun ketika sudah keluar dari sekolah, maka mereka sudah sangat bebas untuk memilih antara
disiplin atau tidak disiplin. Sedangkan di pondok, aturan berlaku bukan hanya
ketika masih di sekolah, tapi terus berlaku
sampai dua puluh empat jam. Ketiga, waktu untuk belajar di
sekolah luar, jauh lebih sedikit dibanding dengan di pondok. Kesempatan yang
begitu berharga ini, bila dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, maka akan lebih
unggul yang di pondok lantaran keberlimpahan waktu yang tidak dijumpai di
sekolah luar.
Bertolak dari statemen(pernyataan) di atas, ada satu pertanyaan
besar yang mengusik hati penulis selama menjadi santri di MII( dari tahun
2002-2006): “Apa kira-kira kelebihan, keindahan, pesona dari MII?”. Waktu itu, setiap teman yang ditanya penulis,
kalau tidak menjawab, ‘bingung’ pasti menjawab, ‘tidak tahu’. Ternyata jawaban
itu masih belum juga bisa ditemukan
selama penulis berada di MII. Sampai akhirnya, ketika kuliah -melalui beberapa
perenungan-, mulai terjawablah pertanyaan tersebut dengan beberapa jawaban yang penulis kira
penting dan bisa dibagikan kepada para pembaca sekalian. Apa yang ditulis di
sini bisa jadi sangat berbeda dengan apa yang dirasakan dan dialami oleh santri
lain, tapi paling tidak tulisan ini bisa mengantarkan para pembaca untuk
menggali lebih dalam pesona MII.
KEBEBASAN
MENGEKSPLORASI POTENSI DIRI
Pendidikan yang baik adalah
pendidikan yang bisa mengarahkan anak didiknya sesuai dengan potensi yang
dimilikinya. Ini benar-benar ada dan saya alami ketika di MII. Karena tidak
diharuskan atau difokuskan kepada satu bentuk capaian-capain tertentu, maka
setiap santri bisa mengeksplorasi potensi yang ada. Bagi yang suka dalam bidang
olah raga, maka bisa mengembangkan potensinya dalam bidang olah raga. Bagi yang
suka kegiatan akademis keilmuan, maka bisa membuat tim diskusi untuk mengasah
potensi intelektualnya. Saya pikir ini adalah potensi besar yang dimiliki MII.
Santri-santri yang terlihat biasa, bahkan yang tak masuk lima besar dalam
prestasi akademis, ternyata ketika di luar bisa jauh lebih sukses sesuai dengan
potensi yang dimiliki. Tidak mengherankan, meskipun ketika di MII jurusan
ilmu-ilmu keagamaan, namun setelah keluar malah masuk jurusan yang
berbeda-beda. Uniknya, mereka bisa adaptasi dengan cepat. Jadi, kata kunci
pertama untuk menyibak pesona MII ialah lingkungannya yang memudahkan para
santri untuk mengeksplorasi potensi diri.
KEMANDIRIAN
DALAM BERKARYA
Kemandirian adalah merupakan di
antara tonggak dasar nilai yang diajarkan dalam ma`had. Di setiap pesantren,
nilai kemandirian pasti selalu dijumpai dan diajarkan. Namun, yang saya rasakan
ketika di MII, lebih dari sekadar kemandirian. Banyak sekali teman yang
walaupun tidak secara intensif dilatih oleh ustadz, namun karena kemandirian
dan ketekunannya, mereka mampu berkarya secara mandiri, bahkan kerap kali
memenangkan berbagai macam perlombaan ketika yang diadakan di luar pesantren.
Sebut saja misalkan lomba teater, baca kitab kuning, pidato, cerdas cermat, dan
lain sebagainya. Kemandirian dalam berkarya juga bisa disebut sebagai
kreativitas santri yang berbasis kemandirian.
MEMILIKI VISI
YANG SANGAT BAGUS
Yang tidak pernah terlupakan dari
MII sampai sekarang di benak penulis ialah terkait dengan visi ma`had yang
berbunyi, “Islami, tepercaya dan kompetitif”. Kata ‘islami’ menggambarkan bahwa
apa yang diajarkan di MII sangat islami. Islam menjadi shibgah(identitas)
utamanya. Kata ‘tepercaya’ membuat orang tua dan masyarakat luar akan merasa
aman dan nyaman ketika memondokkan anaknya di MII. Kepercayaan adalah modal
yang sangat berharga yang dimiliki MII. Meski tidak mempromosikan ma`had secara
besar-besaran, namun MII tidak pernah sepi dengan yang namanya santri. Kata
‘kompetitif’ menggambarkan bahwa MII
memacu santri dan lembaga untuk fastabiqul khairāt(kompetisi dalam kebaikan).
Kompetisi adalah stimulus yang memacu santri untuk mengoptimalkan segenap
potensinya menujuh arah yang lebih baik.
KEPEMIMPINAN
Di mana-mana, yang namanya pondok
–dari elemen terkecilnya- pasti tidak pernah lepas dengan yang namanya latihan
kepemimpinan. Di sadari atau tidak kepemimpinan sudah menjadi bagian yang
integral dari diri santri. Uniknya, meskipun kepemimpinan adalah bagian yang
sangat tidak terpisahkan dari santri, semua itu bersifat cair dan tidak ada
unsur eksploitatif. Semua bergerak sesuai dengan irama kepemimpinan pada skup
masing-masing. Dari pengalaman-pengalaman organisatorial kepemimpinan di MII,
rata-rata para alumni ketika keluar sudah di luar MII biasanya menempati
posisi-posisi penting dalam ranah kepemimpinan. Saya menjumpai sendiri fenomena
tersebut di luar.
KOMUNIKASI
YANG CAIR ANTARA SANTRI DAN ASATIDZ
Berbeda dari pondok-pondok
salaf(baca: tradisional) pada umumnya yang memperlakukan seorang yai dan
asatidz dengan begitu ta`dzimnya, di MII malah sebaliknya. Bukan berarti tidak
menghormati ustadz sama sekali, semua tetap menghormati ustadz, namun
komunikasi antara santri dan ustadz begitu cair, sehingga membuat santri tidak
canggung dalam menggali ilmu dari asatidz di luar waktu pelajaran formal. Fenomena
asatidz duduk sejajar dengan para santri di serambi masjid, atau bahkan
bersama-sama main sepak bola, voly dan olah raga lainnya merupakan hal yang
biasa dijumpai di MII. Waktu penulis masih di MII, penulis merasa sangat
beruntung karena di luar pelajaran formal, banyak sekali mendapat
pelajaran-pelajaran tambahan dari asatidz, baik melalui diskusi-diskusi ringan,
sampai pada kursus kecil-kecilan.
Komunikasi yang cair antara santri dan asatidz ini dampaknya sungguh
besar. Melieu(lingkungan) seperti ini memungkinkan santri berkembang
secara optimal karena didukung oleh para asatidz yang tidak membatasi
komunikasi secara struktural. Potensi-potensi santri yang sebelumnya masih
belum nampak, atau nampak tapi masih belum begitu dikembangkan, bisa dioptimalkan
dengan baik dalam suasana seperti ini.
SISTEM
PENDIDIKAN MODERN
Berbeda dari pondok salaf, sistem
yang dipakai di MII adalah sistem pondok modern. Para santri tidak melulu hanya
diajari membaca kitab kuning(baca: kitab arab gundul), tapi porsi keilmuan yang
notabene disebut ilmu Umum, juga diberikan. Sistem pendidikan yang proporsional
dan tak dikotomis seperti ini memungkinkan santri mendapatkan ilmu secara
integral. Karena pada dasarnya keduanya sama-sama penting. Tidak ada yang
namanya pemisahan ilmu, karena baik ilmu yang dianggap sebagai ilmu agama atau
dunia, jika diarahkan untuk kepentingan akhirat, maka namanya ilmu syar`i. Di
MII semua ilmu itu bisa didapat.
Itulah beberapa pesona yang dapat
disibak dari Ma`had Al itihat Al Islami Camplong Sampang Madura. Apa yang telah
penulis sebutkan ini hanya permulaan. Sangat tidak menutup kemungkinan dari
santri-santri lain banyak yang memiliki pengalaman-pengalaman yang luar biasa
ketika di MII dan bisa di-share(dibagi) di sini pada kesempatan yang
lain. Semua itu bisa ditulis sebagai upaya untuk mendukung dan mendorong agar
MII menjadi semakin baik. Penulis yakin
dan optimis, jika masing-masing di antara asatidz, santri dan para alumni
saling berpartisipasi dan mendukung MII(dengan berbagai bentuknya) maka ke
depan MII akan menjadi lebih baik. Ini tidak berlebihan karena jika dilihat
dari pesona-pesona yang ada tadi, MII sangat berpotensi melahirkan
generasi-generasi emas. Tinggal siapa yang mau menjemput momentum itu. Kalau bukan
sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi? Hidup MII, semoga menjadi
yang terbaik di antara yang baik-baik.
Wallahu a`lam
bi al-Shawāb
Siman, Selasa
18 November 2014/05:00
Kesetaraan Gender Berujung Kesengsaraan Gender
Written By Amoe Hirata on Kamis, 27 November 2014 | 10.36
Ide
kesetaraan gender yang diimpor dari Barat, semakin hari mengalami perkembangan
pesat, khususnya di negara Islam. Ide ini bisa sedemikian cepat berkembang
karena didukung oleh media massa yang begitu canggih, kajian-kajian seputarnya
yang begitu intensif, hingga pembentukan-pembentukan instansi yang secara
khusus sebagai wadah gerakan.
Gerakan
ini sudah masuk pada ranah perkulian, bahkan secara politis diperjuangkan dalam
undang-undang negara. Yang ironis ialah ketika sampai pada ranah studi Islam.
Melalui cendekiawan Muslim yang sudah terkontaminasi dengan pemikiran
kesetaraan gender, akhirnya ide ini tidak bisa dibendung lagi penyebarannya.
Banyak buku bermunculan untuk menguatkan ide ini.
Kajian-kajian
keislaman mengenai hubungan pria wanita, dikaji berdasarkan basis teori
kesetaraan gender. Padahal Islam telah memiliki konstruk bangunan keilmuan
tersendiri. Islam tidak mengenal kesetaraan wanita dan pria dalam segala
bidang, Islam mengenal konsep keserasian. Masing-masing dari pria dan wanita,
memiliki peranannya tersendiri. Sehingga usaha untuk mewujudkan kesetaraan
gender pada segenap sisi adalah usaha yang sangat destruktif.
Paling
tidak ada beberapa alasan yang perlu dikritisi dari ide kesetaraan gender.
Pertama, secara historis, ide ini lahir dari feminis Barat yang berusaha
mengatasi problem hubungan wanita-pria dan agama. Namun sampai sekarang, masih gagal mewujudkan
kesetaraan. Kedua, anehnya, sudah tahu gagal, ide ini dikembangbiakkan
di negara-negara yang notabene berkembang, termasuk Islam. Ketiga,
produk gagal ini jelas akan merusak tatanan sosial masyarakat terkait hubungan
pria-wanita, bahkan ajaran agama.
Coba
kita buktikan dalam kehidupan nyata. Dari segi fisik, wanita dan pria sudah
berbeda, jadi usaha untuk menyetarakannya adalah tindakan yang absurd
dan konyol. Dalam dunia hewan saja, yang tidak memiliki akal, mereka tahu
persis peran dan fungsinya, mana yang jantan dan mana yang betina. Karena
mereka diciptakan memiliki peran masing-masing. Belum lagi kenyataan secara
psikologis, yang menunjukkan bahwa wanita terlalu menitikberatkan perasaan
daripada akal budi dalam menghadapi masalah, itu semua semakin membuktikan
bahwa penyetaraan sejatinya penyengsaraan.
Islam
datang sebagai agama yang menghargai hak-hak wanita. Bukan berarti, menyamakan
fungsi antara pria dan wanita. Mereka diperlakukan sama di hadapan Allah,
karena yang paling mulia adalah yang paling takwa, tapi keduanya memiliki peran
dan tugas masing-masing yang saling melengkapi. Nabi sendiri –dalam sejarahnya-
telah memberikan contoh terbaik terkait hubungan pria-wanita. Mereka diberi hak
waris, pendidikan, berpendapat, berdagang dan lain sebagainya namun mereka
tidak pernah melupakan peran mulianya, yaitu sebagai seorang ibu. Jika
kesetaraan gender tetap diperjuangkan, maka akan berujung pada kesengsaraan.
Ekor Besar atau Kepala Kecil?
Written By Amoe Hirata on Rabu, 26 November 2014 | 07.59
Bagi yang mendewa-dewakan ilmuan
Barat dalam segala bidangnya, ada baiknya membaca biografi secara detail
bagaimana mereka menjalani kehidupan. Apakah orang seperti Emmanuel Kant, J.S
Mile, Roger Bacon, Martin Luther, Emile Durkhaim, Nietzsche, Hume, F. Engle,
Karl Marx, Derida, dan lain sebagainya bisa menjalani kehidupanya dengan
sukses. Ternyata kehebatan mereka hanya dalam tataran berfikir, tapi secara
umum mereka gagal dalam menjalankan institusi kecil rumah tangga. Tak jarang
juga yang gila dan terkena penyakit-penyakit aneh. Worldvew yang dikotomis
tidak memungkinkan mereka mengharmonikan antara kebutuhan jiwa dan raga. Orang
yang tidak bisa mengurusi kehidupannya dengan baik, apa pantas dijadikan
panutan? Mengurusi diri sendiri saja tidak bisa, bagaimana bisa mengurisi orang
lain. Dalam Islam, yang disebut ulama adalah mereka yang cerdas baik intelektual
maupun spiritual. Di dalamnya tidak ada istilah dikotomi. Sehingga mereka bisa
mengatasi diri sebelum mengatasi orang lain. Kehidupan mereka sangat berimbang.
Adapun ilmuan Barat secara umum –kalau tidak boleh dikatakan semua- hidupnya
penuh bimbang. Sekarang kita mau jadi ekor ilmuan Barat, meski besar, atau
menegakkan kepala sendiri meski kecil?.
'Membunuh dengan Cinta'
Di suatu majlis ilmu seorang ustadz
menyampaikan kata-kata menarik: “Kalau pun harus membunuh orang kafir maka
bunuhlah dengan cinta”. Seisi majlis jelas merasa heran dengan kata-kata
tersebut. Ada yang memahaminya secara dzahir, ada juga yang memahaminya secara
majazi. Yang paham dzahir mempersoalkan kata ‘membunuh’, bagaimanapun membunuh
`kan salah satu bentuk kekerasan, bukankah antara cinta dengan kekerasan
bertentangan?. Yang paham majazi masih sekadar menebak tapi belum bisa
menjelaskannya. Akhirnya ustadz pun menjawab:
“Kalimat tersebut bisa dimaknai secara dzahir sekaligus majazi. Secara
dzahir berarti ketika kita terdesak perang dengan orang kafir, maka ketika harus
membunuh maka bunuhlah dengan cinta. Maksudnya bunuh dengan cepat tanpa
menyiksa atau memutilasinya. Apa yang kita lakukan itu sebagai wujud rasa cinta
kita padanya agar siksanya di akhirat diringankan. Antara kekerasan dan cinta
terkadang tidak bertentangan. Contohnya kadang-kadang `kan perlu seorang ayah
bertindak keras pada anaknya yang nakal sebagai wujud kecintaannya agar tidak
terjerumus pada jalan yang salah. Adapun yang dimaksud dengan makna majazi
ialah persis seperti yang dilakukan Rasulullah s.a.w. Ketika ada orang-orang
kafir Qurays mau membunuh citranya dengan mengejek, menyakiti, bahkan membunuh,
beliau sama sekali tak membalas dan membenci. Beliau malah memperlakukan dan
membalas mereka dengan cinta. Salah satu contoh menarik ialah ketika ada orang
kafir yang kerjaannya suka membuang kotoran di depan rumah Nabi. Suatu saat
orang ini sakit, Nabi bukan mensyukurkannya tapi malah menjenguknya. Akhlak
Nabi yang mulia diliputi cinta ini pada akhirnya membunuh kebencian orang kafir
ini sehingga mengantarkannya pada Islam. Kebencian dan kekerasan hatinya luluh
dengan samudera cinta Nabi”.
Oase:
Asas dakwah ialah cinta. Kalaupun dalam perjalanan dakwah kita dihadapkan dalam
posisi harus membunuh, maka membunuh pun –baik dalam pengertian dzahir maupun
batin-tidak boleh dengan kebencian. Bunuhlah ia dengan cinta agar meringankan
siksanya(jika bermakna dzahir). Bunuhlah ia dengan cinta agar kebenciannya mati
dan berubah menjadi cinta(jika bermakna majazi). Intinya, keduanya tak bisa
dilepaskan dari CINTA.
Nenek Penjual Rengginang
Di
saat asyik menikmati sedukan kopi bersama teman, datanglah nenek yang sedang menjual
beberapa makanan termasuk di dalamnya ada rengginang. Ia menawarkan beberapa
dagangannya kepada kami. Hati ini tak tega jika membiarkannya pergi. Akhirnya
kami membeli satu sampai dua dari dagangannya itu. Yang tidak habis pikir
ialah: nenek setua itu berjual malam-malam sendirian dengan bawaan yang lumayan
berat. Di mana suaminya, di mana anak-anaknya?. Betapa teganya keluarganya yang
membiarkannya berjualan di tengah malam. Beberapa saat kami sempat diliputi
rasa iba dan kasihan. Tapi aku tidak mau hanya berhenti sampai di situ. Aku
teringat kata-kata Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya yang berjudul ‘Bumi
Manusia’ bahwa kasihan adalah tanda kelemahan. Karena itulah aku mencoba
memaknainya. Barangkali ini adalah satu pelajaran dari Allah untuk diambil
pelajaran. Sederhananya: “Nenek yang begitu tua itu begitu semangat dalam
menjalani kehidupan, lalu bagaimana dengan kamu yang sering bermalas-malasan. Jadikanlah
nenek itu sebagai cermin dalam mengarungi kehidupan. Hidup itu bukan seberapa
panjang, tapi seberapa berjuang. Hidup itu bukan seberapa lama, tapi seberapa
bermakna. Tidak ada lagi alasan untuk berleha-leha, karena semu akan
dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya”.
Konsistensi Semut
Written By Amoe Hirata on Selasa, 25 November 2014 | 17.26
Seorang
anak cerdas bertanya kepada bapaknya: “Pak kalau dipikir-pikir dibanding
manusia `kan semut lebih lambat. Coba diadu balap sama manusia pasti kalah
meskipun manusia hanya dengan melangkah. Lalu apa gunanya Allah menciptakan
semut Pak?”. Mendapat pertanyaan tersebut bapaknya agak kaget, belum pernah ia
menemukan anak kecil bertanya seperti itu. Pertanyaan itu akhirnya dia jawab: “Nak,
memang benar semut kalau diadu dengan manusia lebih lambat. Tapi ingat
kecepatan akan kalah dengan yang namanya keistiqamahan. Meski manusia lebih
cepat, tapi mereka rentan tidak istiqamah. Coba kamu perhatikan bangsa semut.
Mereka bergerak siang-malam secara berkesinambungan. Kalau diadu pasti semut
menang kalau ukurannya keistiqamahan. Kamu juga lihat `kan kalau semut ketemu
semut selalu bertegur sapa. Kalau manusia belum tentu seperti itu.
Kadang-kadang kedengkian membuat manusia bermusuhan sesama saudara. Semut juga
dalam bekerja menerapkan sistem gotong royong. Lha manusia kebanyakan
egois menuruti hawa nafsu masing-masing. Bukan berarti semut lebih mulia dari
manusia, cuman melalui semut Allah ingin memberikan pembelajaran berharga untuk
manusia di antaranya mengenai pentingnya istiqamah”. Mendengar jawaban itu
anaknya hanya manggut-manggut sambil senyum. Entah mengerti atau tidak
penjelasan dari ayahnya, yang jelas dari raut wajahnya tersirat kebahagiaan.
Meneropong Sejarah
A. Pengertian Sejarah:
Pengertian Secara Bahasa: Berasal dari kata: شَجَرَةُ yang artinya pohon. Maksudnya ialah asal-usul (keturunan)
silsilah. Dalam bahasa Arab ada istilah: Tarikh( Peristiwa yang ditulis berdasarkan tanggal/waktu terjadinya peristiwa),
Qissah(Peristiwa yang disajaikan terfokus pada kejadian penting dan benar-benar terjadi), Sirah( Peristiwa khusus mengenai biografi seseorang), Hikaayah(Peristiwa yang diceritakan secara verbal).
Pengertian Sejarah Menurut Istilah: Uraian tentang peristiwa dan kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau atau silam.
B. Prioritas Belajar Sejarah: 1. Sirah Nabi Muhammad 2. Sejarah Para Nabi 3. Sejarah Kebudayaan Umat Islam 4. Sejarah Umum.
C. Hukum Belajar Sejarah: Fardu Kifayah.
D. Hikmah Belajar sejarah:
1. Media berfikir
2. Hiburan yang mendidik.
3. Diambil pelajaran dan diteladani.
4. Memprediksi dan mempelajari masa depan.
5. Mengenang masa silam.
6. Meraih kesuksesan.
7. Terhindar dari kegagalan.
8. Media dakwah.
9. Media Instrospeksi dan evaluasi diri.
10. Mengetahui dan mengkaji sunnah-sunnah(hukum-hukum) Allah yang tetap pada alam.
E. Cara belajar sejarah yang asik dan gampang:
1. Dimulai dari peristiwa penting.
2. Membaca secara acak.
3. Menyertakan media visual.
4. Peta bergambar.
5. Prioritas pertama kejadian nyata dan penting, baru kemudia tanggal dan nama pelaku sejarah.
F. Catatan Penting Perihal Sejarah:
1. Sepertiga Al-Qur`an berisi kisah-kisah.
2. Sejarah kembali terulang.
3. Sejarah bagaikan memori.
4. Sejarah ditulis oleh para pemenang.
5. Ada hukum-hukum Allah yang tetap dalam sejarah.
G. Tambahan:
Pelajarilah sejarah! Temukan kebijaksanaan dan kearifan yang terkandung di dalamnya. Pelajarilah Sejarah! Temukan kesuksesan.
"Belajar Sejarah" Momok kah?
“Kenapa kalian males belajar sejarah?”, Ada yang menjawab: “Begini, di samping sangat menjemukan, selama ini pelajaran yang disampaikan hanya sebatas doktrinal formal, yang ada hanya pengungkapan peristiwa masa lalu, sejarah malah menjadi momok menakutakan, setiap kali mendengar kata “sejarah” yang terlintas pada pikiran hanya kumpulan nama-nama orang dan sederetan tanggal yang berjejer panjang”.
Pernyataan di atas barangkali sudah tidak asing di telinga kita. Namun, benarkah sejarah itu sedemikian menakutkan sehingga tak relevan lagi untuk dipelajari; sebegitu mengerikan sehingga tak layak lagi untuk dikaji. Apa ada pihak tertentu yang sengaja mencitrakan sejarah sedemikian rupa sehingga kesan yang ada hanya negatif melulu; bahkan mungkin mengeksploitir nilai-nilai positifnya untuk kepentingan pihak/individu tertentu.
Pernyataan di atas ada benarnya jika selama ini sejarah hanya dijadikan rekaman peristiwa masa silam; hanya di jadikan barang keramat yang tidak ada relevansinya dengan kehidupan kontemporer. Karena itu, tidaklah mengherankan jika mendengar saja orang akan malas dan tidak tertarik sama sekali. Padahal subtansi belajar sejarah ialah mengambil pelajaran di dalamnya; memprediksi masa depan; mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk dari peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau. Lalu apa signifikansi pernyataan "sejarah kembali terulang", "kejadian semalam sama persis dengan kejadian hari ini" kalau sejarah tidak begitu penting dan sangat remeh. Jangan-jangan ada yang salah dalam metodologi pengajaranya, atau sebaliknya pihak yang diajari sudah antipati dan men-talak bain sejarah sehingga tak bisa kembali lagi.
Kedahsyatan Akidah Yang Benar
Salah satu elemen penting yang disebutkan dalam surat al-`Ashr sebagai pengecualian terhadap orang yang rugi ialah: orang-orang beriman. Beriman berarti orang yang memiliki iman, keyakinan dan akidah yang kuat. Kemudian amal shalih, saling berpesan pada kebenaran dan kesabaran.Nah kalau kita amati dari sisi sejarah kehidupan Rasulullah ada kenyataanpenting bahwa: Dakwah Rasulullah selama 13 tahun di Makkah terfokus pada akidah dan pembinaan akhlak. Akidah merupakan elemen inti yang darinya nanti akan lahir amal yang shalih. Akidah yang salah hanya akan melahirkan amalan yang salah pula.
Pembinaan dalam bidang akidah terhitung lebih lama dibanding fase Madinah karena akidah laksana fondasi bangunan. Untuk membangun bangunan Islam yang kuat perlu adanya fondasi yang kuat. Bila fondasi tidak kuat maka bangunan yang dibina di atasnya rawan hancur dan rusak. Jadi secara marhaliyah(kebertahapan) danaulawiyah(prioritas)pembinaan akidah merupakan faktor penting untuk menciptakan umat Islam yangtangguh.
Beliau membangun fondasi akidah ini dimulai dari keluarga, kerabat dekat, teman dekat, orang pilihan dan siapa saja yang mau masuk Islam. Dari segi hasil, sampai dengan waktu hijrah, secara jumlah memang tidak terlalu signifikan dibanding dengan hasil dakwah di Madinah yang sangat cepat. Jumlah orang yang ikut dakwah Rasul ketika fase Makkah hanya sekitar 300 lebih. Perjalanan fase Makkah ini kalau hanya dilihat dari jumlah pengikut memang terkesan lamban, namun dari sisi lain akan kita jumpai kenyataan-kenyataan berikut: 1. Generasi yang lahir pada fase ini, kelak kebanyakan akan menjadi mujahid-mujahid besar yang terdepan di medan tempur. 2.Kualitas kesabaran yang dimiliki generasi ini sangat luar biasa. Mereka tak putus asa meski siksaan demi siksaan mendera. 3. Sangat loyal dan komitmen terhadap Islam. 4. Khalifah ar-Raasyidin yang empat itu lahir dari fase ini. 5. Memiliki ketangguhan mental dan spirityang luar biasa dalam perjuangan. Dan masih banyak lagi kenyataan-kenyataan sejarah yang tidak bisa disampaikan pada tulisan singkat ini.
Akidah yang benar akan membuahkan amal shalih dan akhlak mulia. Begitulah kira-kira yang bisa digambarkan pada dakwah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam pada bidang akidah. Walau kesusahan menimpa; kesengsaraan menerpa tidak membuat mereka surut sedikitpun untuk berjuang. Kitabisa melihat bagaimana keteguhan ibnu Mas`ud membaca al-Qur`an di depan Ka`bah sampai babak belur dipukuli orang kafir Qurays. Bagaimana gigih dan sabarnyabilal disiksa tuanya di tengah terik matahari seraya berkata ahad ahad ahad. Betapa kuat pendirian Utsman bin Affan walau sampai dikurung di rumah karena memeluk Islam. Betapa kuat pendirian Ammaar bin Yasir dalam memegang teguh Islam walaupun pada akhirnya bapak dan ibunya meninggal dalam siksaan. Masih banyak kenyataan sejarah yang serupa.Namun yang perlu digaris bawahi disini ialah kenyataan sejarah yang sangatdahsyat dan mengagumkan itu ternyata lahir dari akidah yang kuat dan kokoh.
Sebagai Rasulullah, Muhammad shallallahu alaihi wasallam diutus untuk mengembalikan kembali manusia yang telah menyimpang dari akidah yang tidak benar menuju akidah yang benar. Dengan penjalesan yang jelas, gamblang dan sederhana dakwah dalam bidang akidah ini bisa diterima dengan baik oleh orang-orang yang jernih hatinya. Dengan bekalakidah yang kuat dan kokoh ini Rasulullah beserta umatnya mampu melakukan perubahan besar dan dahsyat ketika di Madinah, baik dari segi capain kuantitas pemeluk juga capaian-capaian kualitatif yang mencengangkan. Pada gilirannya,agama yang hanif ini bisa tersebar dengan massif dan luas melalui tangan-tangan dingin para pengikut Nabi yang memiliki akidah yang kuat. Akidah merupakan fondamen utama dan mendasar. Akidah yang benar akan mendatangkan rahmat dan pertolongan Allah ta`ala. Akidah yang benar akan berpengaruh positif bagi pemiliknya. Kesuksesan-kesuksesan besar dan monoumental hanya akan diraih dengan akidah yang benar.
Pesona Sirah Nabawiyah
Sirah nabawiyah adalah rekaman sejarah paling agung
sepanjang masa. Belum ada -sebelum dan sesudahnya- biografi anak manusia yang
ditulis secara lengkap dari kelahiran sampai kematian seperti yang ditulis
dalamnya.
Siapapun
yang membacanya dengan hati bersih, pikiran jernih dan akal sehat, pasti akan
terpesona membacanya. Pesonanya tidak hanya terhenti dari sisi kelengkapan, ia
memesona karena isinya juga bisa dijadikan pelajaran untuk mengarungi
kehidupan.
Belum
ada di dunia ini orang yang paling banyak disebut namanya melebihi sosok sentral yang
digambarkan di dalamnya. Coba baca biografi besar tokoh-tokoh dunia. Pasti akan
lebur ketika disandingkan dengan sirah nabawiyah.
Pesonanya
yang begitu memikat hati, tidak akan bisa disibak oleh orang-orang yang
mempunyai penyakit hati. Ia bagaikan cahaya yang mampu menyinari
kegelapan-kegelapan jiwa yang mau merubah diri.
Siapapun
tidak akan mampu memetik hikmahnya, jika memperlakukannya hanya sebagai rekaman
sejarah. Ia akan nampak jelas jika digali kandungan maknanya untuk kemudian
direalisasikan dalam kehidupan nyata.
Begitulah
pesona sirah nabawiyah. Sebuah kisah nyata manusia pilihan yang diberi
karunia luar biasa. Dialah Muhammad s.a.w Nabi akhir zaman yang kehadirannya
diibaratkan sebagai sirājan
munīra(pelita
yang menyinari).
Kalau
al-Qur`an dan Hadits adalah merupakan sumber nilai yang diamanahkan Allah
padanya, maka sirah nabawiyah adalah perwujudan nyata dari kumpulan
nilai-nilai yang ada dalam keduanya.
Ketika
anda bahagia, di dalamnya akan menemukan apa sejatinya kebahagiaan dan
bagaimana menyikapi kebahagiaan. Bukan kebahagian semu yang membuat orang
semaki kalut dan ragu. Kebahagiaan yang hakiki menuju Sang Maha Penyayang.
Ketika
anda sedih, di dalamnya akan ditemukan bagaimana menyikapi kesedihan. Kesedihan
yang tidak sampai membuat manusia bunuh diri, tapi semakin meneguhkannya menuju
kesuksesan ujian ilahi.
Karena
sirah nabawiyah multi pesona, maka merupakan keniscayaan bagi orang yang
ingin menyibaknya, mempelajari jenak-jenak kisah yang ada di dalamnya. Suatu
jenis pembelajaran yang bukan dengan cara biasa.
Kalau
anda membaca sirah nabawiyah hanya sekadar cari hiburan, maka ia tidak
akan memantulkan pesona yang begitu dalam. Bagaimana mungkin anda akan
menyusuri luasnya samudra, jika hanya memandangnya di tepian pantai.
Dengan
demikian, perlu adanya upaya serius untuk menggali lebih dalam maknanya. Dengan
sebuah cara yang diilhami al-Qur`an ketika menyajikan kisah-kisahnya. Kata
kuncinya ialah untuk dicari pelajaran dan diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari.
Tulisan
ini hanya sebagai pengantar menuju pembacaan sirah nabawiyah yang lebih
dalam dan bermakna. Sebuah pembacaan yang tidak sekadar mengenal angka-angka
dan nama-nama, tapi suatu sudut pandang baru yang membuat pesonanya terkuak.
Kita
tentu pernah mendengar ayat ini: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”(Qs. Al-Ahzab:
21).
Ayat
itu begitu jelas menyatakan bahwa pada diri Rasulullah ada suri
tauladan yang baik bagi pengharap rahmat, akhirat dan tak hentinya mengingat
Allah. Melalui sirah nabawiyah mutiara tauladan akan ditemukan.
Tiba
saatnya bagi setiap pecinta Nabi Muhammad s.a.w untuk mengenal lebih jauh
melalui sirah nabawiyah. Bersama kita menggali makna di dalamnya, untuk
mewujudkan kehidupan yang terbaik menuju keridhaan-Nya.
Menilai Sesuatu dengan ‘Kaca Mata Pribadi’
Suatu saat di negeri ‘perdamaian
antar-hewan’ diadakan sebuah pertemuan besar-besaran. Pertemuan ini diinisiasi
oleh KSH(Kelompok Singa dan Harimau). Tujuannya ialah untuk memperingati hari
jadi perdamaian hewan. Diselenggarakanlah lomba adu kekuatan ala KSH, dari
lomba lari, panjat pohon, memburu buruan dan lain sebagainya. Para anggota KSH
terlihat sangat antusias dan begitu semangat. Namun, setelah lomba dimulai
beberapa menit terjadi beberapa kendala dan keanehan. Banyak peserta yang
tiba-tiba mandek saat pertandingan dimulai. Anggota KSH pun keheranan, bahkan
ada yang salah paham bahwa mereka melakukan itu sebagai bentuk penghinaan
terhadap KSH. Konflik hampir saja terjadi.
Untung saja waktu itu ada ketua gajah yang menjelaskan kepada anggota
KSH: “Sebelumnya minta maaf dan jangan tersinggung. Mereka berhenti bukan
karena menghina kalian, tapi masalahnya lomba yang kalian buat ini tidak cocok
dengan mereka. Lomba yang kalian adakan ini lebih cocok untuk anggota KSH.
Bayangkan, masak semut, siput, ular, burung, dan hewan lainnya harus mengikuti
gaya kalian, `kan mereka pasti kesusahan. Aku akui niat dan ajakanmu baik, tapi
harus melihat kondisi juga. Jangan sampai melihat orang dengan ‘kaca mata
pribadi’ saja. Apa yang menerut kalian gampang, belum tentu menurut yang lain
gampang. So kalian harus pandai-pandai melihat sesuatu secara
proporsional” pungkas gajah. “Mathor suwon(terimakasih) lho Mr. G,
untung sampean ingatkan, kalau tidak pasti tadi salah paham”. “Ya sama-sama.
Habis ini kalau mau mengadakan sesuatu apapun tolong dikomunikasikan terlebih
dahulu, biar kebersamaan ini bisa tetap terjaga”.
Mencari Jati Diri
Matahari
dengan gagah bangkit dari ufuk timur. Pancaran sinarnya menyeber luas ke segala
penjuru. Dedaunan dan tetumbuhan selalu kangen akan cahayanya. Udara begitu
sejuk. Awan begitu cerah. Dengan sepoi angin yang lembut, rerumputan menari-nari
dengan sangat lenturnya bagai penari balet. Deretan hijau persawahan terhampar
luas sejauh mata memandang. Burung-burung Emprit berkicau kompak sambil mencari
makanan untuk anak-anaknya. Deru suara aliran sungai begitu khas menampakkan
sungai yang masih jernih tak terkontaminasi. “Ternyata desa ini masih seperti
dulu. Tidak ada perubahan berarti. Kondisi alam masih murni. Tidak seperti
desa-desa lain yang sudah mulai tercemari limbah-limbah industri.” Demikian
gumam Muhammad Ulin Nuha dalam nuansa rekreasi bersama teman-temannya yang
sedang merayakan kelulusan sekolah SMA di desa Rembelu yang merupakan desa yang
masih asri, bersih dan indah.
Selagi
teman-temannya asyik menikmati suasana desa Rembelu, Nuha termangu seorang diri
di pinggiran sungai. Hatinya diliputi kejemuan yang luar biasa. Apakah hidup
hanya untuk foya-foya. Terlahir dari keluarga yang kaya-raya, segala fasilitas
mewah sudah biasa ia rasakan, tapi dalam ruang hatinya selalu ada kesunyian dan
kesepian yang membuatnya selalu ingin mencari jawabannya. “Apakah aku akan
terus seperti ini?” batinnya memberontak. Ia selalu bertanya seperti itu ketika
dalam kesendirian, namun dia belum juga menemukan jawabannya. Ia memang
terlahir dalam keluarga kaya, namun kekayaan tak menghilangkan kesunyian dalam
hatinya. Ia mencoba mengisi ruang hatinya dengan cinta, namun berkali-kali
berganti pacar tak jua membuat hatinya yang sepi menjadi ramai. Inilah saat
dimana kepala dirundung bingung, hati gelisah tertimpa masalah. Ia mau
mengadu pada Tuhan, namun ia malu sendiri dengan kondisi dirinya. Seingatnya,
terakhir shalat ketika usianya masih tujuh tahun.
Di
sebrang sungai secara tak sengaja ia melihat bapak paruh baya bersama anaknya
yang sedang mancing. Sudah setengah jam ia memperhatikan mereka berdua. Sungguh
ia merasa iri dengan raut kebahagiaan mereka berdua. Meski terlihat tak begitu
kaya, namun aura kebahagiaan di wajah mereka berdua tak bisa dipungkiri. Hanya
dengan mancing saja seolah mereka berdua tidak dihinggapi kesepian. Lain halnya
dengan dirinya yang amat kesepian. Orang tuanya memang masih lengkap dan
kaya-raya, tapi ia jarang bertemu mereka. Ia jarang bercengkrama dengan kedua
orang tuanya. Di sekolah, meski temannya sangat banyak, tetap saja ia merasa
sepi. Ia memang siswa cerdas, tapi kecerdasannya tak mampu menemani
kesunyiannya. Ia merasakan dalam batinnya seolah ada suara yang menghardik
dengan keras dirinya: “Apa untuk ini kamu diciptakan?”. Namun sekali lagi ia
tetap tak menemukan jawabannya.
Bertahun-tahun
ia hidup dalam kefoya-foyaan. Segenap potensi yang dimiliki terbuang begitu
saja. Sebagai siwa yang cerdas, potensi itu tak digunakan untuk menjadi siswa
berprestasi. Selama ini ia tidak peduli dengan kecerdasan. Hari-harinya
diliputi dengan kesia-siaan. Yang penting hatinya bahagia dan senang, maka
segala sesuatu pasti akan diusahakan. Kalau sejak SD dia langganan menjadi ‘bintang
kelas’, namun sejak SMP hingga SMA ia selalu menjadi masalah di kelas. Berbagai
pelanggaran sudah ia lakukan. Bahkan berkali-kali ia terancam dikeluarkan dari
sekolah, namun tak jua membuatnya sadar. Ia selalu bersenang-senang dan
berfoya-foya. Ia menjadi seperti ini bukan tanpa alasan. Kedua orang tuanya
memang super sibuk sehingga hampir tak bisa bertemu kecuali waktu pagi dan
malam. Hari-harinya di rumah hanya ditemani oleh bibiknya yang bernama Sanipah,
yang diminta ibunya untuk membantu mendidik Nuha di rumah. Kalau di rumah, ia
mungkin selalu dikontrol dengan baik oleh Bu Sanipah, namun ketika sekolah ia
lepas kontrol, dan bergaul bebas dengan teman-temannya.
Hampir
saja ia tidak lulus dari SMA. Guru-guru yang sudah muak dengan pelanggaran yang
rajin dilakukannya secara terpaksa meluluskannya juga daripada terus membuat
masalah. Meski begitu ia sangat disayang oleh teman-temannya. Sebagai orang
kaya ia tidak pelit dan sering mentraktir teman-temannya. Pergaulannya luas dan
tak berbatas. Semua orang yang ada di sekolah pasti dikenalnya. Dan tak ada
seorang pun di sekolah yang tidak mengenalnya. Ia kerap menjadi rebutan
cewek-cewek di sekolahnya. Kondisi demikian sering dijadikan olehnya sebagai
momen untuk mengisi kesunyian dan kesepian hatinya dengan foya-foya. Namun
setiap malam ia tetap dirundung kesepian yang luar biasa. Pada momen rekreasi
kelulusan inilah, di pinggir sungai ia sejenak mencoba membuat jarak dengan
teman-temannya dan kebiasaan buruknya untuk evaluasi sejenak, kenapa selama ini
ia tak juga menemukan kebahagian di tengah keserbacukupan materi yang melimpah
ruah. Di sela-sela evaluasi diri di pinggir sungai inilah, ia merasa iri dengan
kemesraan antara bapak dan anak yang sedang mancing di sebrang sungai di
hadapannya.
Filosofi Pohon Pisang
Sembilan tahun
lalu, ketika aku mengikuti tour dakwah di kota Blitar, ada perkataan
menarik yang sampai sekarang masih aku ingat dari perkataan tuan rumah, Bapak
Sukardi. Waktu itu beliau berkata: “Belajarlah pada pohon pisang!.” Karena belum mengerti maksudnya, aku pun
bertanya: “Lho, belajar tentang masalah apa pak?”. “Pohon pisang walaupun kamu
potong berkali-kali, dia akan tetap tumbuh lagi sebelum dia menghasilkan buah. Ketika
ia sudah berbuah, maka ia akan mati. Filosofi pohon pisang sebenarnya sederhana
tapi dalam maknanya. Pohon pisang mengajarkan sebuah nilai bahwa manusia sejati
adalah manusia yang mampu memberikan manfaat pada sekelilingnya sebelum ia
meninggalkan dunia. Bisa jadi banyak sekali tantangan dan halangan yang
menghalangi jalannya, namun bermanfaat adalah keniscayaan bagi dirinya ketika
ia mengaku sebagai manusia. Atau bisa dimaknai: apapun ujian dan rintangan yang
dihadapi manusia di dunia ini tidak membuatnya berputus asa, ia merasa tidak
bernilai sebelum menghasilkan karya yang memberi manfaat secara sosial”.
Ketika Mahar Dianggap 'Eksploitasi Saudagar'
Written By Amoe Hirata on Senin, 24 November 2014 | 19.35
Ada yang berkata
Mahar dalam pernikahan
Sebagi suatu fakta
Eksploitasi laki-laki atas perempuan
Premisnya sederhana
Uang diberikan
Barang diterima
Begitu mahar disangka
Padahal sejatinya
Mahar sebagai kesungguhan
Hubungan keluarga
Yang disebut pernikahan
Mahar sebagai nilai agama
Islam yang memuliakan
Wanita sepanjang masa
Demi mencapai kemuliaan
Mana yang lebih mulia
Perempuan dipermainkan
atas nama cinta
Tanpa ikatan hubungan?
Atau dengan istimewa
Islam melanggengkan
Hubungan wanita dan pria
Melalui mahar yang ditentukan?
Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim
Masalah mengucapkan salam kepada
non-muslim sebenarnya sudah sangat jelas hukumnya haram. Tapi pada kenyataannya
ada segolongan orang yang mengaku dirinya muslim(baca buku: Fiqih Lintas Agama)
menganggap bahwa hukumnya tidak haram. Adapun hadits-hadits yang menjelaskan
keharamannya, dianggap sebagai hadits yang bermasalah baik secara sanad maupun
matan. Hadits-hadits yang dijadikan sasaran biasanya seperti berikut ini:
صحيح
مسلم (7/ 5)
5789
– حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ – يَعْنِى الدَّرَاوَرْدِىَّ
– عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ –صلى الله
عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ فَإِذَا
لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِى طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ ».
Telah menceritakan
kepada kami Qutaibah bin Sa`id, telah menceritakan kepada kamu Abdul Aziz-yaitu
Al-Darawardi- bersumber dari Suhail dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwasanya
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda: “jangan memulai
salam pada orang yahudi dan nashrani. Jika salah seorang dari kalian bertemu
mereka di jalan, maka desaklah ke pinggir”(Hr. Muslim)
سنن
الترمذي –طبعة بشار –ومعها حواشي (4/ 357)
12-
بَابُ مَا جَاءَ فِي التَّسْلِيمِ عَلَى أَهْلِ الذِّمَّةِ
2700-
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ ، قَالَ : حَدَّثَنَا عَبْدُ العَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ ، عَنْ
سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنَّ رَسُولَ
اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ تَبْدَأُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى
بِالسَّلاَمِ ، وَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ.
هَذَا
حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
Telah menceritakan
kepada kami Qutaibah, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Abdul `Aziz
bin Muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih, dari bapaknya, dari Abu Hurairah,
bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wassallam bersabda: “Jangan
memulai salam pada orang yahudi dan nashrani. Sedangkan jika kalian menjumpai
salah seorang dari antara mereka di jalan, maka paksalah mereka ke pinggir”(Hr.
Tirmidzi).
صحيح
البخاري (الطبعة الهندية) (ص: 3042)
6024
- حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللهِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ
عَنْ صَالِحٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهَا زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ دَخَلَ رَهْطٌ
مِنَ الْيَهُودِ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا السَّامُ
عَلَيْكُمْ قَالَتْ عَائِشَةُ فَفَهِمْتُهَا فَقُلْتُ وَعَلَيْكُمُ السَّامُ وَاللَّعْنَةُ
قَالَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَهْلًا يَا عَائِشَةُ
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَوَلَمْ
تَسْمَعْ مَا قَالُوا قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ قُلْتُ
وَعَلَيْكُمْ
Sesungguhnya
A’isyah RA istri nabi SAW berkata, “Sekelompok kaum dari Yahudi memasuki
ruangan Rasulillah SAW untuk berkata ‘assaamu alaikum’. A’isyah berkata, “Saya
memahami kalimat itu. Sontak saya menjawab ‘wa alaikumussaamu wallanah’,”
artinya: Semoga kalian juga dilanda kematian dan laknat.Sontak Rasulillah SAW
bersabda, “ (Menjawabnya) yang lembut ya A’isyah, sungguh Allah cinta
kelembutan dalam perkara semuanya.” A’isyah berkata, “Saya sontak menjawab
‘ya Rasulallah, apa baginda tidak mendengar yang mereka katakan?’. Rasulillah SAW bersabda, “Sungguh saya
tadi telah mengucapkan ‘wa alaikum’ kok.”(Hr. Bukhari).
Beberapa
catatan penghujat hadits:
Pertama,
salam yang diucapkan oleh orang-orang Yahudi adalah salam penghinaan, yaitu “assāmu `alaikum” bukan salam
perdamaian “assalamu`alaikum”. Kedua, yang memulai mengucapkan salam
penghinaan adalah orang-orang Yahudi, bukan Nabi. Ketiga, sikap para
tamu Yahudi kepada Nabi adalah sikap kebencian. Keempat, Nabi menegur
Aisyah agar tidak bertindak kasar pada tamu Yahudi. Karena Allah mencintai
keramahan dan kelembuta. Kelima, karena itu, cukup bagi Nabi untuk
menjawab salam orang-orang Yahudi itu dengan “wa`alaikum”.
Hadits-hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sering dipersoalkan karena beberapa alasan.
Pertama, ia terlalu sering
meriwayatkan apa yang sebenarnya tidak pasti diucapkan oleh Rasulullah s.a.w. Kedua,
diduga keras ia adalah orang yang pelupa dan dia mengakui sifat pelupa ini.
Ketiga, hadits yang diriwayatkan
Abu Hurairah terlalu banyak dalam waktu yang singkat. Ia meriwayatkan 5300 hadits
hanya dalam waktu tiga tahun. Keempat, ia adalah orang pemalas yang
tidak punya pekerjaan tetap selain mengikuti Rasulullah kemanapun pergi. Ia
pernah menolak pekerjaan yang ditawarkan oleh Umar. Kelima, banyak
hadits-hadit yang diriwayatkan Abu Hurairah bertentangan dengan hadits-hadits
yang diriwayatkan oleh para sahabat lain yang terpercaya, seperti Aisyah.
Hadits-hadits
yang diriwayatkan Abu Hurairah tersebut bertentangan dengan watak dasar Islam
yang menekankan kedamaian, keramahan dan kelembutan. Riwayatnya juga
bertentangan dengan riwayat lain yang menerangkan bahwa beliau mengucapkan
(memulai) mengucapkan salam pada Najasyi, Raja Ethiopia, melalui suratnya.
Intinya:
Secara sanad hadits di atas bermasalah karena dalam sanadnya terdapat sahabat
yang bernama Abu Hurairah. Secara matan, hadit tersebut bertentangan dengan
watak dasar Islam yang mengajarkan kedamaian.
Benarkah tuduhan
tersebut? Berikut ini akan disajikan beberapa jawaban:
Pertama: Kita
harus mengetahui terlebih dahulu makna hadits tersebut melalui syarah hadits
Muslim dan Tirmidzi:
Penjelasan Imam
Nawawi tentang hadits riwayat Muslim:
Menurut imam Nawawi mengenai pengharaman memulia salam pada Yahudi –meskipun
ada beberapa pendapat, hukumnya menurut madzhab Syafi`i ialah haram, karena
argumentasi orang yang membolehkan sangat lemah. Sebagai penjelasan berikut:
شرح
النووي على مسلم (14/ 145)
واختلف
العلماء فى رد السلام على الكفار وابتدائهم به فمذهبنا تحريم ابتدائهم به ووجوب
رده عليهم بأن يقول وعليكم أو عليكم فقط ودليلنا فى الابتداء قوله صلى الله
عليه و سلم لاتبدأوا اليهود ولاالنصارى بالسلام وفى الرد قوله صلى الله عليه
و سلم فقولوا وعليكم وبهذا الذى ذكرناه عن مذهبنا قال أكثر العلماء وعامة السلف وذهبت
طائفة إلى جواز ابتدائنا لهم بالسلام روى ذلك عن بن عباس وأبي أمامة وبن أبى
محيريز وهو وجه لبعض أصحابنا حكاه الماوردى لكنه قال يقول السلام عليك ولايقول عليكم
بالجمع واحتج هؤلاء بعموم الأحاديث وبافشاء السلام وهى حجة باطلة
لأنه عام مخصوص بحديث لاتبدأو اليهود ولاالنصارى بالسلام وقال بعض أصحابنا يكره
ابتداؤهم بالسلام ولايحرم وهذا ضعيف أيضا لأن النهى للتحريم فالصواب
تحريم ابتدائهم وحكى القاضي عن جماعة أنه يجوز ابتداؤهم به للضرورة والحاجة
أو سبب وهو قول علقمة والنخعى وعن الأوزاعى أنه قال ان سلمت فقد سلم الصالحون وان تركت
فقد ترك الصالحون وقالت طائفة من العلماء لايرد عليهم السلام ورواه بن وهب وأشهب
عن مالك وقال بعض أصحابنا يجوز أن يقول فى الرد عليهم وعليكم السلام ولكن لايقول ورحمة
الله حكاه الماوردى وهو ضعيف مخالف للأحاديث والله أعلم ويجوز الابتداء بالسلام
على جمع فيهم مسلمون وكفار أو مسلم وكفار ويقصد المسلمين للحديث السابق أنه صلى
الله عليه و سلم سلم على مجلس فيه اخلاط من المسلمين والمشركين قوله صلى الله عليه
و سلم ياعائشة ان الله يحب الرفق فى الأمر كله هذا من عظيم خلقه صلى الله عليه و سلم
وكمال حلمه وفيه حث على الرفق والصبر والحلم وملاطفة الناس ما لم تدع حاجة إلى المخاشنة
قولها عليكم السام والذام هو بالذال المعجمة وتخفيف الميم وهو الذم ويقال بالهمزة أيضا
والأشهر ترك الهمز وألفه منقلبة عن واو والذام والذيم والذم بمعنى العيب وروى الدام
بالدال المهملة ومعناه الدائم وممن ذكر أنه روى بالمهملة بن الأثير ونقل القاضي الاتفاق
على أنه بالمعجمة قال ولو روى بالمهملة لكان له وجه والله أعلم
Penjelasan tentang desaklah mereka (orang kafir dzimmi) ke pinggir
berarti ketika ada sekumpulan orang muslim sedang berjalan kemudian ada orang
kafir berjalan, maka disuruh minggir, kalau sampai membuat jalan padat dan
sesak maka tidak masalah. Kalaupun disuruh mendesak kepinggir maka tidak sampai
membuat mereka jatuh ke got atau dibenturkan ke tembok. Sebagaimana penjelasan
berikut:
شرح
النووي على مسلم (14/ 147)
قوله
صلى الله عليه و سلم واذا لقيتم أحدهم فى طريق فاضطروه إلى أضيقة قال أصحابنا لايترك
للذمى صدر الطريق بل يضطر إلى أضيقه اذا كان المسلمون يطرقون فان خلت الطريق عن الزحمة فلاحرج قالوا وليكن التضييق بحيث
لايقع فى وهدة ولايصدمه جدار ونحوه والله أعلم
Penjelasan ustadz Mubarakfuri terhadap hadits tersebut sebagaimana imam Nawawi.
hanya saja beliau menerangkan yang dimaksud dengan desaklah ialah jika ada
tembok maka suruh bersandar di tembok, adapun jika tidak ada, maka mereka
disuruh berpaling dari tengah jalan menuju pinggir jalan. Penjelasannya sebagaimana
berikut:
تحفة
الأحوذي (5/ 188)
(
فاضطروه ) أي ألجئوه ( إلى أضيقه ) أي أضيق الطريق بحيث لو كان في الطريق جدار يلتصق
بالجدار وإلا فيأمره ليعدل عن وسط الطريق إلى أحد طرفيه
الإصابة
في تمييز الصحابة (7/ 512)
Dari penjelasan kedua pensyarah hadits tersebut, sama sekali tidak
menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan desaklah pada hadits tersebut bukanlah
menyakiti. Karena kalau menyakiti, akan bertentangan dengan hadits yang
berbunyi:
سنن
أبى داود-ن (3/ 136)
3054
- حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْمَهْرِىُّ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ حَدَّثَنِى
أَبُو صَخْرٍ الْمَدِينِىُّ أَنَّ صَفْوَانَ بْنَ سُلَيْمٍ أَخْبَرَهُ عَنْ عِدَّةٍ
مِنْ أَبْنَاءِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ آبَائِهِمْ دِنْيَةً
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَلاَ مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوِ
انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ
طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ».
Hadits ini
secara tegas menunjukkan bahwa kita dilarang mendzalimi orang kafir dzimmi.
Kedua:
Beberapa tuduhan mengenai Abu Hurairah bisa dijawab sebagai berikut:
Pertama, tidak benar jika
dikatakan ia terlalu sering meriwayatkan apa yang sebenarnya tidak pasti
diucapkan oleh Rasulullah s.a.w. karena si penghujat tidak menunjukkan bukti. Kedua,
tidak benar jika Abu Hurairah diduga keras sebagai orang yang pelupa dan
dia mengakui sifat pelupa ini. Memang awalnya dia lupa tapi setelah Rasulullah
mendoakannya, hafalannya jadi kuat sebagaimana hadits tersebut:
صحيح
البخاري (الطبعة الهندية) (ص: 77)
119
- حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ أَبِي بَكْرٍ أَبُو مُصْعَبٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ دِينَارٍ عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَسْمَعُ مِنْكَ حَدِيثًا
كَثِيرًا أَنْسَاهُ قَالَ ابْسُطْ رِدَاءَكَ فَبَسَطْتُهُ قَالَ فَغَرَفَ بِيَدَيْهِ
ثُمَّ قَالَ ضُمَّهُ فَضَمَمْتُهُ فَمَا نَسِيتُ شَيْئًا بَعْدَهُ
Ketiga, hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah terlalu
banyak dalam waktu yang singkat. Ia meriwayatkan 5300 hadits hanya dalam waktu
tiga tahun. Waktu tiga tahun menghafal Cuma 5300 hadit adalah hal yang sangat
mudah. Apalagi sanad yang dihafal langsung ke Rasulullah, tidak serumit sanad
hadits belakangan. Kemudian Abu Hurairah juga bermulazamah dengan Rasulullah,
maka sekali lagi menghafal hadits dengan jumlah tersebut tidaklah mustahil.
Al-Qur`an saja yang jumlahnya enam ribu lebih ayatnya bisa dihafal selama
setahun(bahkan kerang dari setahun) apaligi hadits yang Cuma 5300. Keempat,
sangat tidak benar dan cendrung emosional jika dikatakan bahwa Abu Hurairah
adalah orang pemalas yang tidak punya pekerjaan tetap selain mengikuti
Rasulullah kemanapun pergi. Karena beliau memang potensinya dalam bidang
tersebut. Ada banyak sahabat yang seperti Abu Hurairah yang disebut Ahli
Shuffah, yang kebiasaannya adalah mengikuti pengajian yang diadakan Nabi.
Adapun tuduhan yang menyatakan bahwa ia pernah menolak pekerjaan yang
ditawarkan oleh Umar, barangkali bersandarkan hadits yang disebut oleh Ibnu
Hajar dalam kitab al-Ishōbah
yang berbunyi demikian:
الإصابة
في تمييز الصحابة (7/ 512)
عن محمد بن سيرين عن أبي هريرة
أن عمر بن الخطاب دعاه ليستعمله فأبى أن يعمل له فقال أتكره العمل وقد طلبه من كان
خيرا منك قال من قال يوسف بن يعقوب عليهما السلام فقال أبو هريرة يوسف نبي بن نبي وأنا
أبو هريرة بن أميمة أخشى ثلاثا واثنين فقال عمر ألا قلت خمسا قال أخشى أن أقول بغير
علم أو أقضى بغير حق وأن يضرب ظهري ويشتم عرضي وينزع مالي قلت سنده ضعيف جدا
Hadits ini jelas-jelas dikomentari oleh Imam Ibnu Hajar sebagai hadits
yang sangat lemah. Kemudian yang kelima, dikatakan bahwa hadits-hadit
yang diriwayatkan Abu Hurairah bertentangan dengan hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh para sahabat lain yang terpercaya, seperti Aisyah. Tuduhan
ini tidak berdasar, karena kebanyakan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah itu
disalah pahami oleh penghujat.
Dari beberapa
jawaban di atas jelaslah bahwa alasan yang dipakai oleh penghujat hadits ini
sangat lemah. Kelemahan yang paling nampak dari penghujat ialah ketika memahami
hadits selalu berangkat dari pemahaman yang sudah ada. Hadits hanya sebagai justifikasi
dari pendapat yang diyakini, tanpa mengindahkan dan memperhatikan hadits-hadits
lain. Kemudian, ketika mengutip hadits biasanya hanya dimaknai
sepotong-sepotong sesuai dengan keinginannya.
Kesimpulan:
Hadits tersebut shahih baik secara sanad maupun matan. Beberapa tuduhan yang
disematkan pada Abu Hurairah sangat lemah dan tak berdasar kuat. Hukum
memulai(mengucapkan) salam adalah haram. Adapun yang dimaksud dengan mendesak
orang kafir ke pinggir jalan bukan berarti mencelakai, dan hanya pada kondisi
tertentu. Mempertentangkan potongan hadits tersebut dengan watak Islam yang
menekankan kedamaian adalah kesembronoan.
Wallahu a`lam
bi al-shawāb