Matahari
dengan gagah bangkit dari ufuk timur. Pancaran sinarnya menyeber luas ke segala
penjuru. Dedaunan dan tetumbuhan selalu kangen akan cahayanya. Udara begitu
sejuk. Awan begitu cerah. Dengan sepoi angin yang lembut, rerumputan menari-nari
dengan sangat lenturnya bagai penari balet. Deretan hijau persawahan terhampar
luas sejauh mata memandang. Burung-burung Emprit berkicau kompak sambil mencari
makanan untuk anak-anaknya. Deru suara aliran sungai begitu khas menampakkan
sungai yang masih jernih tak terkontaminasi. “Ternyata desa ini masih seperti
dulu. Tidak ada perubahan berarti. Kondisi alam masih murni. Tidak seperti
desa-desa lain yang sudah mulai tercemari limbah-limbah industri.” Demikian
gumam Muhammad Ulin Nuha dalam nuansa rekreasi bersama teman-temannya yang
sedang merayakan kelulusan sekolah SMA di desa Rembelu yang merupakan desa yang
masih asri, bersih dan indah.
Selagi
teman-temannya asyik menikmati suasana desa Rembelu, Nuha termangu seorang diri
di pinggiran sungai. Hatinya diliputi kejemuan yang luar biasa. Apakah hidup
hanya untuk foya-foya. Terlahir dari keluarga yang kaya-raya, segala fasilitas
mewah sudah biasa ia rasakan, tapi dalam ruang hatinya selalu ada kesunyian dan
kesepian yang membuatnya selalu ingin mencari jawabannya. “Apakah aku akan
terus seperti ini?” batinnya memberontak. Ia selalu bertanya seperti itu ketika
dalam kesendirian, namun dia belum juga menemukan jawabannya. Ia memang
terlahir dalam keluarga kaya, namun kekayaan tak menghilangkan kesunyian dalam
hatinya. Ia mencoba mengisi ruang hatinya dengan cinta, namun berkali-kali
berganti pacar tak jua membuat hatinya yang sepi menjadi ramai. Inilah saat
dimana kepala dirundung bingung, hati gelisah tertimpa masalah. Ia mau
mengadu pada Tuhan, namun ia malu sendiri dengan kondisi dirinya. Seingatnya,
terakhir shalat ketika usianya masih tujuh tahun.
Di
sebrang sungai secara tak sengaja ia melihat bapak paruh baya bersama anaknya
yang sedang mancing. Sudah setengah jam ia memperhatikan mereka berdua. Sungguh
ia merasa iri dengan raut kebahagiaan mereka berdua. Meski terlihat tak begitu
kaya, namun aura kebahagiaan di wajah mereka berdua tak bisa dipungkiri. Hanya
dengan mancing saja seolah mereka berdua tidak dihinggapi kesepian. Lain halnya
dengan dirinya yang amat kesepian. Orang tuanya memang masih lengkap dan
kaya-raya, tapi ia jarang bertemu mereka. Ia jarang bercengkrama dengan kedua
orang tuanya. Di sekolah, meski temannya sangat banyak, tetap saja ia merasa
sepi. Ia memang siswa cerdas, tapi kecerdasannya tak mampu menemani
kesunyiannya. Ia merasakan dalam batinnya seolah ada suara yang menghardik
dengan keras dirinya: “Apa untuk ini kamu diciptakan?”. Namun sekali lagi ia
tetap tak menemukan jawabannya.
Bertahun-tahun
ia hidup dalam kefoya-foyaan. Segenap potensi yang dimiliki terbuang begitu
saja. Sebagai siwa yang cerdas, potensi itu tak digunakan untuk menjadi siswa
berprestasi. Selama ini ia tidak peduli dengan kecerdasan. Hari-harinya
diliputi dengan kesia-siaan. Yang penting hatinya bahagia dan senang, maka
segala sesuatu pasti akan diusahakan. Kalau sejak SD dia langganan menjadi ‘bintang
kelas’, namun sejak SMP hingga SMA ia selalu menjadi masalah di kelas. Berbagai
pelanggaran sudah ia lakukan. Bahkan berkali-kali ia terancam dikeluarkan dari
sekolah, namun tak jua membuatnya sadar. Ia selalu bersenang-senang dan
berfoya-foya. Ia menjadi seperti ini bukan tanpa alasan. Kedua orang tuanya
memang super sibuk sehingga hampir tak bisa bertemu kecuali waktu pagi dan
malam. Hari-harinya di rumah hanya ditemani oleh bibiknya yang bernama Sanipah,
yang diminta ibunya untuk membantu mendidik Nuha di rumah. Kalau di rumah, ia
mungkin selalu dikontrol dengan baik oleh Bu Sanipah, namun ketika sekolah ia
lepas kontrol, dan bergaul bebas dengan teman-temannya.
Hampir
saja ia tidak lulus dari SMA. Guru-guru yang sudah muak dengan pelanggaran yang
rajin dilakukannya secara terpaksa meluluskannya juga daripada terus membuat
masalah. Meski begitu ia sangat disayang oleh teman-temannya. Sebagai orang
kaya ia tidak pelit dan sering mentraktir teman-temannya. Pergaulannya luas dan
tak berbatas. Semua orang yang ada di sekolah pasti dikenalnya. Dan tak ada
seorang pun di sekolah yang tidak mengenalnya. Ia kerap menjadi rebutan
cewek-cewek di sekolahnya. Kondisi demikian sering dijadikan olehnya sebagai
momen untuk mengisi kesunyian dan kesepian hatinya dengan foya-foya. Namun
setiap malam ia tetap dirundung kesepian yang luar biasa. Pada momen rekreasi
kelulusan inilah, di pinggir sungai ia sejenak mencoba membuat jarak dengan
teman-temannya dan kebiasaan buruknya untuk evaluasi sejenak, kenapa selama ini
ia tak juga menemukan kebahagian di tengah keserbacukupan materi yang melimpah
ruah. Di sela-sela evaluasi diri di pinggir sungai inilah, ia merasa iri dengan
kemesraan antara bapak dan anak yang sedang mancing di sebrang sungai di
hadapannya.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !