Home » » Mencari Jati Diri

Mencari Jati Diri

Written By Amoe Hirata on Selasa, 25 November 2014 | 04.52

       Matahari dengan gagah bangkit dari ufuk timur. Pancaran sinarnya menyeber luas ke segala penjuru. Dedaunan dan tetumbuhan selalu kangen akan cahayanya. Udara begitu sejuk. Awan begitu cerah. Dengan sepoi angin yang lembut, rerumputan menari-nari dengan sangat lenturnya bagai penari balet. Deretan hijau persawahan terhampar luas sejauh mata memandang. Burung-burung Emprit berkicau kompak sambil mencari makanan untuk anak-anaknya. Deru suara aliran sungai begitu khas menampakkan sungai yang masih jernih tak terkontaminasi. “Ternyata desa ini masih seperti dulu. Tidak ada perubahan berarti. Kondisi alam masih murni. Tidak seperti desa-desa lain yang sudah mulai tercemari limbah-limbah industri.” Demikian gumam Muhammad Ulin Nuha dalam nuansa rekreasi bersama teman-temannya yang sedang merayakan kelulusan sekolah SMA di desa Rembelu yang merupakan desa yang masih asri, bersih dan indah.
            Selagi teman-temannya asyik menikmati suasana desa Rembelu, Nuha termangu seorang diri di pinggiran sungai. Hatinya diliputi kejemuan yang luar biasa. Apakah hidup hanya untuk foya-foya. Terlahir dari keluarga yang kaya-raya, segala fasilitas mewah sudah biasa ia rasakan, tapi dalam ruang hatinya selalu ada kesunyian dan kesepian yang membuatnya selalu ingin mencari jawabannya. “Apakah aku akan terus seperti ini?” batinnya memberontak. Ia selalu bertanya seperti itu ketika dalam kesendirian, namun dia belum juga menemukan jawabannya. Ia memang terlahir dalam keluarga kaya, namun kekayaan tak menghilangkan kesunyian dalam hatinya. Ia mencoba mengisi ruang hatinya dengan cinta, namun berkali-kali berganti pacar tak jua membuat hatinya yang sepi menjadi ramai. Inilah saat dimana kepala  dirundung bingung, hati gelisah tertimpa masalah. Ia mau mengadu pada Tuhan, namun ia malu sendiri dengan kondisi dirinya. Seingatnya, terakhir shalat ketika usianya masih tujuh tahun.
            Di sebrang sungai secara tak sengaja ia melihat bapak paruh baya bersama anaknya yang sedang mancing. Sudah setengah jam ia memperhatikan mereka berdua. Sungguh ia merasa iri dengan raut kebahagiaan mereka berdua. Meski terlihat tak begitu kaya, namun aura kebahagiaan di wajah mereka berdua tak bisa dipungkiri. Hanya dengan mancing saja seolah mereka berdua tidak dihinggapi kesepian. Lain halnya dengan dirinya yang amat kesepian. Orang tuanya memang masih lengkap dan kaya-raya, tapi ia jarang bertemu mereka. Ia jarang bercengkrama dengan kedua orang tuanya. Di sekolah, meski temannya sangat banyak, tetap saja ia merasa sepi. Ia memang siswa cerdas, tapi kecerdasannya tak mampu menemani kesunyiannya. Ia merasakan dalam batinnya seolah ada suara yang menghardik dengan keras dirinya: “Apa untuk ini kamu diciptakan?”. Namun sekali lagi ia tetap tak menemukan jawabannya.
            Bertahun-tahun ia hidup dalam kefoya-foyaan. Segenap potensi yang dimiliki terbuang begitu saja. Sebagai siwa yang cerdas, potensi itu tak digunakan untuk menjadi siswa berprestasi. Selama ini ia tidak peduli dengan kecerdasan. Hari-harinya diliputi dengan kesia-siaan. Yang penting hatinya bahagia dan senang, maka segala sesuatu pasti akan diusahakan. Kalau sejak SD dia langganan menjadi ‘bintang kelas’, namun sejak SMP hingga SMA ia selalu menjadi masalah di kelas. Berbagai pelanggaran sudah ia lakukan. Bahkan berkali-kali ia terancam dikeluarkan dari sekolah, namun tak jua membuatnya sadar. Ia selalu bersenang-senang dan berfoya-foya. Ia menjadi seperti ini bukan tanpa alasan. Kedua orang tuanya memang super sibuk sehingga hampir tak bisa bertemu kecuali waktu pagi dan malam. Hari-harinya di rumah hanya ditemani oleh bibiknya yang bernama Sanipah, yang diminta ibunya untuk membantu mendidik Nuha di rumah. Kalau di rumah, ia mungkin selalu dikontrol dengan baik oleh Bu Sanipah, namun ketika sekolah ia lepas kontrol, dan bergaul bebas dengan teman-temannya.
            Hampir saja ia tidak lulus dari SMA. Guru-guru yang sudah muak dengan pelanggaran yang rajin dilakukannya secara terpaksa meluluskannya juga daripada terus membuat masalah. Meski begitu ia sangat disayang oleh teman-temannya. Sebagai orang kaya ia tidak pelit dan sering mentraktir teman-temannya. Pergaulannya luas dan tak berbatas. Semua orang yang ada di sekolah pasti dikenalnya. Dan tak ada seorang pun di sekolah yang tidak mengenalnya. Ia kerap menjadi rebutan cewek-cewek di sekolahnya. Kondisi demikian sering dijadikan olehnya sebagai momen untuk mengisi kesunyian dan kesepian hatinya dengan foya-foya. Namun setiap malam ia tetap dirundung kesepian yang luar biasa. Pada momen rekreasi kelulusan inilah, di pinggir sungai ia sejenak mencoba membuat jarak dengan teman-temannya dan kebiasaan buruknya untuk evaluasi sejenak, kenapa selama ini ia tak juga menemukan kebahagian di tengah keserbacukupan materi yang melimpah ruah. Di sela-sela evaluasi diri di pinggir sungai inilah, ia merasa iri dengan kemesraan antara bapak dan anak yang sedang mancing di sebrang sungai di hadapannya.
            
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan