Home » » Dari Eksistensialisme Menuju Narsisme

Dari Eksistensialisme Menuju Narsisme

Written By Amoe Hirata on Jumat, 21 November 2014 | 17.09

                        Sore hari kondisi desa Jumeneng begitu cerah. Pelataran rumah Sarikhuluk terlihat bersih. Di depan pendopo al-Ikhlas terjejer dengan rapi beberapa sandal dan sepatu. Suasana begitu khidmat. Di pendopo al-Ikhlas sedang diadakan simposium kecil-kecilan yang sengaja diselenggarakan Sarikhuluk untuk menyambut sahabatnya yang baru saja mendapat gelar doktor filsafat dari Harvard. Namanya, Sugiono Pangerten. Sebenarnya dia datang ke rumah Sarikhuluk untuk temu kangen, karena sudah sepuluh tahun lamanya keduanya tidak bertemu. Lantaran Sarikhuluk yang meminta, ia tidak bisa menolak, apa lagi yang akan jadi topik pembicaraan adalah terkait dengan aliran filsafat, ‘eksistensialisme’.
            Sugiono diberi kesempatan menyampaikan simposiumnya maksimal, lima belas menit, lalu kemudian Sarikhuluk akan mengelaborasinya dengan fenomena yang ada di sekitar desa Jumeneng. Berdirilah Sugiono dengan mantap. Ia memulai: “Assalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Para bapak, ibu dan adek-adek sekalian, sebelumnya saya minta maaf kalau tidak begitu mempersiapkan, karena saya diminta langsung oleh sahabat saya, Sarikhuluk. Tema yang akan saya sampaikan ialah tentang salah satu aliran filsafat yang dikenal dengan, eksistensialisme”.
“Eksistensi secara etimologi berarti: ada, atau keberadaan. Sedangkan secara terminologis berarti aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Kata kunci dari eksistensialisme ialah: Individu sebagai pusat, kebebasan mutlak, tak mengindahkan nilai, dan relativisme kebenaran. Salah satuh pengusungnya yang terkenal adalah, Jean Paul Sartre, yang terkenal dengan diktumnya: “human is condemned to be free”.
            Para audiens mendengarnya dengan saksama. Mengerti atau tidak mengerti mereka tetap menyimaknya dengan baik. Cuma ada satu yang terlihat ngantuk, namanya Ishomudin. Ishomudin paling tidak kuat kalau mendengarkan orang yang sangat serius minus guyon. Dia baru cocok dan ga ngantuk kalau Sarikhuluk yang berbicara. Setelah lima belas menit Sugiono menyampaikan simposiumnya, sekarang tiba saatnya giliran Sarikhuluk mengelaborasinya. “Sebelum aku bicara, aku meminta terlebih dulu Ishomudin dibangunkan, setelah bangun langsung saja diberi kesempatan bertanya”. Dibangunkanlah Ishomudin oleh teman-temannya, tanpa merasa kaget ia bertanya: “Cak, apa hubungannya eksistensialisme dengan gejala narsisme dan selfie, yang sedang melanda orang-orang kampung kita akhir-akhir ini? Sekian terimakasih.” Pungkas Ishomudin.
            “Ini yang aku suka dari Ishomudin. Kelihatannya saja tidur. Tapi ketika disuruh bertanya langsung menukik dan berkaitan erat dengan realita. Apa yang disampaikan oleh Sugiono tadi memang sangat erat kaitannya dengan budaya narsisme dan selfie di kampung kita. Kata kunci dari narsis dan selfie ialah memposisikan diri melebehi kadarnya. Orang yang narsis itu mempunyai kadar berlebihan dalam mencintai dirinya. Ia akan merasa bahagia jika eksistensinya bisa diakui oleh orang lain. Orang-orang yang selfie pun sebenarnya terinspirasi dari imbas media yang bermuatan eksistensialisme. Orang selfie kebanyakan bukan sekadar selfie, pasti dia akan meng-aplaud fotonya di fb, twitter, instragam dan lain sebagainya. Ia merasa sangat bahagia jika mendapatkan banyak komentar dari rekan-rekannya, karena eksistensinya bergantung pada penilaian orang lain atas dirinya, maka dia butuh narsis dan selfie. Pada kadar tertentu sebenarnya boleh, asal tidak mengalahkan yang subtansial” tutup Sarikhuluk. Ishomudin bertanya: “Cak boleh minta fotonya dengan Dr. Sugiono?”. Sarikhuluk membatin: “Asem tenan bocah ini rupanya dia mau selfie. Hehehe”.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan