Sore
hari kondisi desa Jumeneng begitu cerah. Pelataran rumah Sarikhuluk terlihat
bersih. Di depan pendopo al-Ikhlas terjejer dengan rapi beberapa sandal dan
sepatu. Suasana begitu khidmat. Di pendopo al-Ikhlas sedang diadakan simposium
kecil-kecilan yang sengaja diselenggarakan Sarikhuluk untuk menyambut
sahabatnya yang baru saja mendapat gelar doktor filsafat dari Harvard. Namanya,
Sugiono Pangerten. Sebenarnya dia datang ke rumah Sarikhuluk untuk temu kangen,
karena sudah sepuluh tahun lamanya keduanya tidak bertemu. Lantaran Sarikhuluk yang meminta, ia tidak bisa menolak, apa lagi yang akan jadi topik pembicaraan
adalah terkait dengan aliran filsafat, ‘eksistensialisme’.
Sugiono
diberi kesempatan menyampaikan simposiumnya maksimal, lima belas menit, lalu
kemudian Sarikhuluk akan mengelaborasinya dengan fenomena yang ada di sekitar
desa Jumeneng. Berdirilah Sugiono dengan mantap. Ia memulai: “Assalamu`alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh. Para bapak, ibu dan adek-adek sekalian,
sebelumnya saya minta maaf kalau tidak begitu mempersiapkan, karena saya
diminta langsung oleh sahabat saya, Sarikhuluk. Tema yang akan saya sampaikan
ialah tentang salah satu aliran filsafat yang dikenal dengan, eksistensialisme”.
“Eksistensi
secara etimologi berarti: ada, atau keberadaan. Sedangkan secara terminologis
berarti aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang
bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam
mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui
mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar
bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas
menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Kata kunci dari eksistensialisme
ialah: Individu sebagai pusat, kebebasan mutlak, tak mengindahkan nilai, dan relativisme
kebenaran. Salah satuh pengusungnya yang terkenal adalah, Jean Paul Sartre,
yang terkenal dengan diktumnya: “human is condemned to be free”.
Para
audiens mendengarnya dengan saksama. Mengerti atau tidak mengerti mereka tetap
menyimaknya dengan baik. Cuma ada satu yang terlihat ngantuk, namanya
Ishomudin. Ishomudin paling tidak kuat kalau mendengarkan orang yang sangat
serius minus guyon. Dia baru cocok dan ga ngantuk kalau Sarikhuluk yang
berbicara. Setelah lima belas menit Sugiono menyampaikan simposiumnya, sekarang
tiba saatnya giliran Sarikhuluk mengelaborasinya. “Sebelum aku bicara, aku
meminta terlebih dulu Ishomudin dibangunkan, setelah bangun langsung saja
diberi kesempatan bertanya”. Dibangunkanlah Ishomudin oleh teman-temannya, tanpa
merasa kaget ia bertanya: “Cak, apa hubungannya eksistensialisme dengan gejala
narsisme dan selfie, yang sedang melanda orang-orang kampung kita akhir-akhir
ini? Sekian terimakasih.” Pungkas Ishomudin.
“Ini
yang aku suka dari Ishomudin. Kelihatannya saja tidur. Tapi ketika disuruh
bertanya langsung menukik dan berkaitan erat dengan realita. Apa yang
disampaikan oleh Sugiono tadi memang sangat erat kaitannya dengan budaya
narsisme dan selfie di kampung kita. Kata kunci dari narsis dan selfie ialah
memposisikan diri melebehi kadarnya. Orang yang narsis itu mempunyai kadar
berlebihan dalam mencintai dirinya. Ia akan merasa bahagia jika eksistensinya
bisa diakui oleh orang lain. Orang-orang yang selfie pun sebenarnya
terinspirasi dari imbas media yang bermuatan eksistensialisme. Orang selfie kebanyakan bukan sekadar selfie, pasti dia akan meng-aplaud
fotonya di fb, twitter, instragam dan lain sebagainya. Ia merasa sangat bahagia
jika mendapatkan banyak komentar dari rekan-rekannya, karena eksistensinya
bergantung pada penilaian orang lain atas dirinya, maka dia butuh narsis dan selfie.
Pada kadar tertentu sebenarnya boleh, asal tidak mengalahkan yang subtansial”
tutup Sarikhuluk. Ishomudin bertanya: “Cak boleh minta fotonya dengan Dr.
Sugiono?”. Sarikhuluk membatin: “Asem tenan bocah ini rupanya dia mau selfie.
Hehehe”.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !